tirto.id - Pada Selasa (28/2) akhir Februari lalu, sedikitnya 1.000 siswi SMA melakukan serangkaian aksi protes menentang cara berdoa kelompok Women of the Wall di Tembok Ratapan Yerusalem.
Seperti dilansir The Forward, digambarkan adegan yang mencolok. Di satu sisi barikade polisi khusus terdapat kerumunan gadis-gadis remaja Yahudi Ortodoks dengan rok panjang, sweater dan kitab suci di tangan. Di sisi lain, sekitar 120 aktivis perempuan yang menamai Women of the Wall memakai syal doa dan tefilin, sebuah kotak kulit hitam bertali yang umum dipakai orang Yahudi dalam doa pagi, berkerumun menghadap Tembok Ratapan.
Meski jumlahnya tidak sebanding, apa yang diinginkan dan sedang diperjuangkan oleh kelompok Women of the Wall adalah kesetaraan dalam hal berdoa. Mereka menginginkan kebebasan yang sama seperti para laki-laki yang dapat lebih ekspresif dan lantang ketika melakukan doa-doa di Tembok Ratapan.
Para gadis remaja yang berdoa ini dibawa dan diselenggarakan oleh The Liba Center, sebuah koalisi kelompok nasionalis dan juga bagian dari Women of the Wall. Adapun para remaja Yahudi Ortodoks ingin tetap mempertahankan tradisi: perempuan dan laki-laki berdoa secara terpisah.
Suasana tegang ini terjadi di kalangan internal keagamaan Yahudi. Mereka sama-sama memiliki argumen, baik yang reformis maupun anti-reformis mengenai perlakuannya di hadapan Tembok Ratapan.
Bait Suci
Tembok Ratapan atau juga disebut Tembok Barat tidak lain adalah sisa dari bangunan besar Bait Suci Kedua yang dibangun Herodes. Bait Suci sendiri ialah tempat peribadatan paling sentral dan sakral dari puncak spiritualitas keyakinan Yahudi dan persatuan bangsanya.
Sejarah pembangunan Bait Suci tidak bisa dilepaskan dari konteks Kerajaan Israel kuno dan keyakinan akan keberadaan Tabut Perjanjian yang dibawa oleh Musa, sosok sentral dalam agama Yahudi.
Tabut Perjanjian berisi 10 Perintah Tuhan yang diturunkan kepada Musa ini dalam narasi keagamaan Yahudi kemudian secara berkala dipindahkan di beberapa tempat-tempat yang diyakini suci oleh para penerusnya.
Ensiklopedia Britannicamenyebut bahwa di masa kepemimpinan Raja Daud, Kerajaan Israel merasa perlu membangun tempat khusus untuk sebuah kuil atau bait, guna meletakkan Tabut Perjanjian warisan Musa tersebut. Daud kemudian memilih sebuah bukit bernama Gunung Moriah, tempat yang diyakini—dalam keyakinan Yahudi—sebagai lokasi Abraham membangun altar ketika hendak mengorbankan anaknya Ishak.
Namun, bukan Daud yang kemudian membangun sebuah kuil atau bait tempat Tabut Perjanjian diletakkan. Anaknya Salomo-lah yang membangun sebuah Bait Suci yang selesai pada 957 SM. Bait Suci yang pertama dibangun ini berfungsi utama sebagai tempat tinggal Tabut Perjanian dan perkumpulan seluruh rakyat.
Bangunan itu sendiri digambarkan tidak besar, tapi halamannya luas. Bangunan menghadap ke timur, berbentuk persegi panjang dan terdiri dari tiga kamar yaitu teras, ruang utama sebagai ibadah, dan ruang mahakudus tempat Tabut Perjanjian disimpan. Sebuah tempat penyimpanan berada mengelilingi area Bait Suci dengan pengecualian di bagian depan.
Bangunan Bait Suci pertama atau juga umum disebut Bait Suci Salomo ini hancur ketika Raja Nebukadnezar II dari Kekaisaran Babilonia menyerang Yerusalem. Kala itu, Raja Israel adalah Yoyakim. Peristiwa penghancuran kuil ini terutamanya dicatat oleh Kitab Ibrani ketika pasukan dari Nebukadnezar membakar Bait Suci tersebut pada 587 SM.
Narasi Kitab Ibrani menyebutkan masa restorasi Bait Suci Salomo yang hancur dilakukan ketika Koresh yang Agung dari Persia memasuki Yerusalem. Buku William Albirght berjudul The Biblical Period from Abraham to Ezra: An Historical Survey menyebut pada 559 SM Raja Koresh mulai menata kembali kota Yerusalem.
Pada 515 SM bangunan Bait Suci Kedua yang direstorasi ini selesai dilakukan. Ketika itu, Kekaisaran Babilonia telah jatuh dan mengizinkan para tawanan Yahudi yang selama ini dibawa ke Babilonia untuk membangun reruntuhan dari Bait Suci Salomo itu dengan versi yang lebih sederhana.
Apa yang disebut sebagai pembangunan Bait Suci Kedua justru datang ketika Herodes memerintah Kerajaan Israel. Dalam buku Leen Ritmeyer berjudul Secrets of Jerusalem's Temple Mount, pembangunan yang dimulai pada 20 SM ini memperluas wilayah dari Bait Suci Salomo hingga dua kali lipat dan menurut narasi Kitab Ibrani berlangsung selama 46 tahun.
Namun, beberapa laporan menyebut banyak dari benda-benda Kuil Pertama Salomo hilang, termasuk Tabut Perjanjian sehingga, tidak terdapat lagi dalam Bait Suci Kedua yang dibangun Herodes. Maka, fungsi utama yang tersisa adalah pusat peribadahan Yahudi beserta tradisi-tradisinya.
Alföldy Géza dalam bukunya berjudul A Building Inscription from the Colosseum menyebut pada tahun 66 Masehi banyak penduduk Yahudi memberontak terhadap Kekaisaran Romawi yang telah lama menduduki mereka, bahkan di era Herodes yang dianggap sebagai boneka Kekaisaran Romawi.
Empat tahun kemudian, legiun Romawi di bawah Kaisar Titus merebut kota Yerusalem dan banyak menghancurkan bangunan kota tersebut, termasuk Bait Suci Kedua. Gerbang Titus bahkan dibangun di Yudea untuk memperingati kemenangan Roma dan masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Beberapa artefak bersejarah dalam Bait Suci Kedua juga turut dijarah tentara Roma, termasuk Menorah yang kemudian digunakan untuk mendanai pembangunan Koloseum. Saat ini, yang tersisa dari kehancuran Bait Suci Kedua adalah bangunan dari Tembok Barat yang juga disebut sebagai Tembok Ratapan juga beberapa bagian lainnya.
Tahun 691 M, Masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah didirikan di bagian dalam dari Tembok Barat.
Dalam narasi kepercayaan Yahudi, Bait Suci Ketiga masih diyakini untuk dibangun di tempat yang sama menggantikan Bait Suci Pertama dan Kedua yang telah hancur seperti merujuk kembali pada kitab suci mereka. Moses Maimonides, filsuf Yahudi yang eksis di Andalusia adalah salah satu yang membenarkan tentang pembangunan Bait Suci Ketiga.
Meski begitu, kalangan kelompok-kelompok Yahudi masih memiliki perdebatan tentang kapan dan perlunya pembangunan kembali Bait Suci Ketiga sebagai wadah puncak tempat peribadatan. Berdirinya situs-situs Islam seperti Masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah di lokasi kompleks reruntuhan Bait Suci juga menjadi kendala pembangunan di masa sekarang.
Kekristenan sendiri juga memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat Bait Suci Ketiga yang umumnya tidak berupa bangunan fisik lagi.
Penggalian arkeologi di masa modern menemui kesulitan manakala kompleks tersebut telah menjadi bagian suci dari agama-agama Abrahamik seperti Kristen dan Islam. Ekspedisi dari Charles Warren dari tahun 1867-1870 hanya terbatas di permukaan dari kompleks Temple Mount atau dikenal dengan Kompleks al-Haram.
Beberapa penelitian arkeologi berikutnya masih menemukan bukti-bukti artefak tentang peradaban ketika masa Bait Suci Salomo berdiri. Tahun 2007 lalu misalnya, artefak yang menunjukkan umur abad ke 8 dan ke 6 SM kemungkinan menjadi bukti fisik pertama dari aktivitas manusia di area Bait Suci Salomo.
Batu Magdala yang ditemukan pada 2009 lalu juga dianggap sebagai representasi dari ukiran masa Bait Suci Kedua sebelum penghancuran.
Kini keberadaan Yerusalem sebagai kota tua lebih diakui sebagai kota suci bagi tiga agama Abrahamik lantaran baik Kekristenan dan Islam yang muncul setelah peradaban Yahudi memiliki riwayat dan wilayah sakral di Yerusalem.
Secara politik, status Yerusalem juga masih menjadi rebutan layaknya yang terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Selama Perang Arab-Israel 1948 misalnya, Yerusalem Barat menjadi daerah yang dikuasai Israel, sementara Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua dikuasai oleh Yordania.
Perebutan berlanjut saat Perang Enam Hari 1967 yang dimenangkan oleh Israel dan membawa wilayah besar Yerusalem bersama-sama dengan wilayah tambahan di sekitarnya. Saat ini, Yerusalem menjadi bagian dari konflik Israel dan Palestina.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani