tirto.id - Setelah tentara Jepang menyerah pada 1945 di Papua, sekolah penerjun payung (School Opleiding Parachutisten/SOP) dibuka militer Belanda di Hollandia (nama lawas dari Jayapura). Konsep pasukan payung akhirnya dikembangkan militer Belanda di tanah koloninya, yang kala itu sudah disebut Indonesia. Para pesertanya akan mendapatkan latihan militer kelas berat di Papua yang panas.
Sejak lama militer Belanda percaya akan daya tahan prajurit Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) di daerah tropis. Tak heran jika lebih dari separuh serdadu KNIL adalah orang Indonesia asli. Pasukan payung Belanda pun menerima serdadu rendahan pribumi sebagai isinya. Baret merah yang dipakai pasukan payung Belanda ini, bagi kebanyakan KNIL dianggap gagah. Tak heran jika ada mantan KNIL yang mengaku pernah menjadi anggota baret merah.
Pelatihan Berat
Ajudan Frederik Hubert Bauer (1921-1993), yang kala itu masih sersan, dalam Het Tot Morgen 6 Jaar Later (2021) yang disusun putranya, Peter Bauer, mengaku hampir menyerah dan gila dalam pelatihan itu. Dia serasa seperti berada dalam sebuah rumah sakit jiwa. Jadwal pelatihannya cukup padat. Mereka dilatih pemakaian berbagai macam senjata api ringan hingga berat, operasi penyerangan dalam berbagai situasi, pemakaian kompas dan lainnya. Latihan digelar siang dan malam selama seminggu penuh. Suhu Papua di siang hari amatlah panas dan membuat siswa-siswa pelatihan SOP merasa tersiksa.
Pertengahan 1947, seperti disebut Hubert Bauer, perangkat SOP diangkut ke kapal bersama para pelatih dan pesertanya. Mereka diberangkatkan ke Jawa melalui Bali, di mana mereka melakukan latihan di Gianyar selama beberapa hari dan bukan dalam rangka berlibur. Personil di SOP kala itu ada sekitar 160 orang. Para peserta pelatihan akhirnya menjadi satu kompi penerjun dengan tiga peleton di dalamnya. Kompi para penerjun itu bernama Eerst Parachutisten Compagnie alias kompi para pertama. Setelah tiba di Jakarta, sepengakuan Ajudan Bauer, mereka ditempatkan di perbatasan antara daerah pendudukan Belanda dan Republik. Bauer yang ikut dalam peleton ke-3 ditempatkan di sekitar Kali Cisadane.
Menurut pengakuan Bauer, ketika Agresi Militer Belanda pertama pecah pada 21 Juli 1947, peleton ke-2 dan ke-3 kompi para diikutsertakan dalam penyerbuan gedung-gedung milik Republik Indonesia. “Itu bukanlah tugas yang sulit,” aku Ajudan Bauer. Mereka hanya harus siap berhadapan dengan para pegawai Republik yang kemudian jadi tawanan.
Setelah pelatihan dan penugasan tanpa terjun payung, barulah pasukan para mendapat training komprehensif pada 1947. Pelatihan terjun pasukan sempurna pada pertengahan 1948. Aksi penting mereka dilakukan pada 19 Desember 1948: merebut Maguwo lalu menduduki ibukota Yogyakarta.
Sejak Desember 1948 hingga pertengahan tahun berikutnya, kompi para melakukan beberapa misi penerjunan. Tiap penerjunan disertai uang tambahan di luar gaji.
Orang-Orang Indonesia
Nama orang Indonesia dalam pasukan khusus Belanda tidaklah menonjol. Bauer mencatat beberapa nama anggota peleton 3 yang pernah dipimpinnya juga. Kebanyakan dari serdadu bawahan peletonnya adalah orang Indonesia Timur. Kebanyakan berasal Ambon. Selain orang Ambon, setidaknya ada orang Jawa yakni Toekimin dan Ngadimin. Ada juga serdadu dengan nama Arab seperti Daoed dan Sjarif Noer. Bauer mencatat para sersan berdarah Indonesia, antara lain: Nggadas (kemungkinan dari Nusa Tenggara Timur), Lumempow (kemungkinan Minahasa), Nenepadang dan Mailuhu (kemungkinan Ambon). Di antara para kopral terdapat nama Soeparno. Kopral-kopral lain bernama Ambon, Minahasa dan Eropa.
Banyaknya orang Ambon yang bergabung di KNIL setelah 1945 terkait pula dengan kekerasan kolektif terhadap orang-orang Ambon pada bulan-bulan yang disebut orang Belanda sebagai periode Masa Bersiap.
Setelah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, ada pasukan baret yang ditugaskan mengantar tawanan perang bekas Kempeitai Jepang untuk dipulangkan ke Jepang. Menurut Het nieuwsblad voor Sumatra (01/04/1955), salah satu sersan yang ikut dalam 108 pasukan khusus Belanda itu adalah Sersan Thomas Nussy. Setelah kembali ke Jakarta, Nussy dan seratusan pasukan baret itu kemudian pergi ke Ambon lewat Makassar. Tiba di Ambon pada Januari 1950, mereka bertindak di luar komando Belanda. Selain Nussy, terdapat kopral baret merah bernama Corputty.
Pasukan bekas baret hijau dan baret merah Belanda itu pun terlibat dalam pemberontakan yang dikenal sebagai Republik Maluku Selatan (RMS). Bekas baret merah dan baret hijau menjadi pasukan andalan RMS pada tahun-tahun pertama berdiri. Bekas pasukan Baret, seperti disebut Tempo (15/02/1975), dikenal kejam dan tampak dominan meski jumlahnya hanya satu kompi. Pasukan baret juga bentrok dengan bekas KNIL yang ikut dalam angkatan perang RMS.
Selain dalam aksi di Maluku, itu pasukan baret merah Belanda juga terlibat dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori Raymond Westerling, bekas kapten pasukan baret hijau. Para perwira militer Belanda dalam peristiwa-peristiwa itu tampak melakukan pembiaran atas tawuran yang dilakukan pasukannya.
Anggota KNIL yang jadi anggota baret merah atau baret hijau Belanda punya peluang untuk masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1950. Mereka bahkan bisa naik pangkat dua tingkat, namun gajinya akan turun empat tingkat.
Matia Madjiah dalam bukunya Tantangan dan Jawaban (1993:53) menulis fakta yang akan terdengar aneh bagi orang Indonesia: anggota pasukan baret merah RPKAD (cikal-bakal Kopassus) direkrut pula dari bekas pasukan baret Belanda, termasuk baret merah. Pelatih awal baret merah RPKAD, Rokus Bernadus Visser alias Idjon Djanbi, bahkan berasal dari pasukan baret merah Belanda.
Editor: Windu Jusuf