Menuju konten utama

Omnibus Cipta Kerja Justru Bikin Regulasi Makin Gemuk

Cipta Kerja katanya dibuat untuk menyederhanakan perizinan. Faktanya ia akan menghasilkan begitu banyak peraturan turunan.

Omnibus Cipta Kerja Justru Bikin Regulasi Makin Gemuk
Sejumlah mahasiswa dari BEM SI menggelar aksi tolak Omnibus Law di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta, Jumat (16/10/2020). tirto.id/ Andrey Gromico

tirto.id - Salah satu klaim kelebihan dari UU Cipta Kerja, yang disahkan pada Senin (5/10/2020) pekan lalu--dan masih direvisi--lalu diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober, adalah ia mengefisienkan regulasi. Jokowi mengatakan ini pada 20 Oktobet 2019. Ia menyebut omnibus law dapat memangkas banyaknya aturan yang menghambat investasi.

Namun sebagian kalangan melihat sebaliknya: justru regulasi yang disusun dengan metode omnibus ini akan 'gemuk'.

Pemerintah mengatakan akan langsung mengeksekusi segala aturan turunan yang tercantum di dalam UU Cipta Kerja.

"Sesegera mungkin [pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja] karena Presiden bilang maksimal tiga bulan. Jadi saya kira tim penyusun sudah mulai bekerja," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, kemarin lusa. Presiden menyatakan ini pada 9 Oktober lalu.

Aturan-aturan turunan yang dimaksud bisa berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Rahmah Mutiara memberikan contoh bagaimana regulasi ini justru bisa gemuk dengan merujuk klaster Ketenagakerjaan, satu seksi dalam regulasi yang paling banyak mendapatkan protes dari masyarakat dan serikat buruh.

Setidaknya harus ada 19 aturan turunan berupa PP dalam klaster ini. Di UU itu frasa yang dipakai: "diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Rahmah menjelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, disebutkan bahwa makna dari frasa tersebut secara teknis harus diatur dalam peraturan undang-undang tersendiri yang materi muatannya tidak dapat bercampur dengan materi lain yang tidak diperintahkan untuk diatur lebih lanjut.

"Belum lagi klaster yang lain. Hal ini kan jelas tidak menghindarkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang seharusnya teratasi," kata Rahmah kepada wartawan Tirto, Kamis (15/10/2020) pagi.

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan UU Cipta Kerja berdampak pada 79 UU yang sudah ada pada 5 Oktober lalu.

Karena itu semua Rahmah bilang UU Cipta Kerja yang dibangga-banggakan Presiden ini bak "blanko kosong semata, karena tanpa aturan rigid, langsung mendelegasikan pada aturan yang lain."

Hal senada dikatakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia bilang UU Cipta Kerja sangat bertolak belakang dengan alasan Pemerintah tentang regulasi berlebih.

Apalagi, lanjut Asfin, UU terdampak masih dipakai karena ada sebagian besar pasal yang tak diubah. Itu artinya, publik dan siapa pun yang terkait tidak bisa membaca UU terbaru saja, tapi harus menyandingkannya dengan UU lama.

"Ini bikin sulit. Padahal niat awalnya mau menyederhanakan," katanya, Kamis siang.

Ditambah, aturan turunan yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk PP atau Perpres, tapi bisa juga Peraturan Menteri (Permen) terkait. Ini akan jadi rezim obesitas regulasi, katanya. "Permen ada, bahkan cukup banyak. Ada yang 'dengan permen' dan 'dalam permen'," kata Asfin.

Pada akhirnya menurut Asfin mengharapkan segala regulasi turunan itu substansinya baik hanya dalam waktu tiga bulan saja "nyaris mustahil."

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino