tirto.id - Ombudsman RI membeberkan sejumlah masalah belum tercapainya target penetapan dan penegasan batas desa dan kelurahan, dalam rangka mewujudkan kebijakan satu peta. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan sebagaimana amanat Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa.
Anggota Ombudsman RI, Dadan S Suharmawijaya, mengatakan pihaknya melakukan kajian dari laporan yang diadukan masyarakat ke lembaganya atas sejumlah persoalan akibat belum tercapainya kebijakan itu.
"Laporan-laporan yang ada di kami, ternyata akar permasalahan banyak aduan yang masuk di Ombudsman karena dampak dari problematika tapal batas yang belum selesai," kata Dadan dalam sebuah acara diskusi di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Dadan mengatakan kajian yang dilakukan Ombudsman dengan mengambil sampel dari delapan provinsi. Antara lain, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
"Di Bali ada tanah yang hanya satu jengkal, ternyata sampai menjadi konflik karena nilai tanahnya yang satu jengkal itu kalau dipanjangin ratusan juta. Itu yang jadi problem," tukas Dadan.
Tak terpenuhinya target dari kebijakan itu juga berdampak pada masalah perizinan para pelaku usaha dan masyarakat ketika meminta izin berusaha. Pasalnya, Ombudsman menemukan persoalan ketidakjelasan lintas-lintas perbatasan.
"Kemudian, juga terkait dengan administrasi kependudukan. Ini menjadi problematika juga ketika tapal batas belum jelas ini, beberapa administrasi kependudukan menjadi bermasalah di masyarakat," kata Dadan.
Dadan mengatakan persoalan administrasi kependudukan itu pun berpengaruh ke daftar pemilu tetap (DPT) saat pemilu lalu. "Ini juga dikacaukan juga tambah berat persoalan ketika masuk ke ranah politik, masalah DPT dan sebagainya ketika pemilu dan sebagainya menjadi problem juga terkait dengan administrasi kependudukan," tutur Dadan.
Dadan juga menyinggung persoalan administrasi pertanahan. Ia mencontohkan masalah pertanahan di satu wilayah, ada pemilik yang memiliki hamparan tanah dengan satu sertifikat tertentu, ternyata belakangan bidang tanahnya terbelah oleh batas desa yang berbeda.
"Ketika terbelah batas desa yang berbeda, memang belum teridentifikasi masalahnya. Teridentifikasi justru ketika terjadi peralihan hak. Sudah berapa tahun dijual ke orang lain dan ternyata wilayah yang beda," ucap Dadan.
Sejumlah dampak itu, kata dia, dipicu karena belum diaturnya pembagian tugas fungsi, kewenangan secara resmi dan teknis terkait dengan penetapan dan penegasan batas desa ini. Kemudian, belum diaturnya mekanisme alokasi anggaran.
"Belum dilakukannya validasi dan pemutahiran data secara berkala melalui teknologi informasi yang ada," tukas Dadan.
Lalu, Pasal peralihan Permendagri Nomor 45/2016 yang dinilai tidak memberikan penjelasan mengenai kepastian hukum dan keabsahan penegasan dan penetapan batas desa dan kelurahan.
Ia mengatakan dampak batas desa, yaitu administrasi, kependudukan, sosial ekonomi, administrasi pertanahan, perizinan, dan pembangunan desa.
"Kemudian belum optimalnya upaya tim panitia tim PPBDes dalam rangka percepatan penetapan dan penegasan batas desa. Nah kemudian selanjutnya keterbatasan SDM dan kompetensi teknis dalam teknis pengukuran serta sarana-prasarana," kata Dadan.
Ia juga menyebut belum adanya penganggaran alokasi APBD dan Pemda terkait dengan pembiayaan penetapan dan penegasan batas desa dalam pedoman penyusunan APBD.
"Belum dilakukannya kombinasi proses identifikasi, verifikasi, dan validasi oleh Kemendagri dan BIG dengan pemerintah daerah," kata Dadan.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang