tirto.id - Pemerintah menetapkan Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebagai dua daerah percontohan (pilot project) percepatan penyelesaian masalah ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dalam Kebijakan Satu Peta (One Map Policy).
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kedua kabupaten ini dipilih untuk mewakili Pulau Jawa dan daerah di luar Jawa.
“Tadi diadakan pilot project di dua kota, yaitu Kabupaten Pasuruan dan Kotawaringin Timur. Dengan demikian, dengan dua pilot project itu akan menjadi pembelajaran bagi kota dan kabupaten lain. Tadi mewakili Jawa dan di luar Jawa,” ujarnya dalam Konferensi Pers usai One Map Policy (Kebijakan Satu Peta) Summit 2024, di Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Selain itu, dua daerah tersebut juga dipilih dengan melihat besarnya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Berdasarkan data yang dipaparkan Airlangga, sampai sekarang masih terdapat 595,22 ribu hektare ketidaksesuaian izin dan/atau hak atas tanah.
Dari total luas lahan tersebut, 145,86 ribu hektare lahan berada di kawasan hutan pada tatakan selaras, dan 295,55 ribu hektare berada dalam kawasan hutan pada tatakan belum selaras. Kemudian, sebanyak 17,74 ribu hektare lahan berada di luar kawasan hutan pada tatakan selaras, serta 136,08 ribu hektare di luar kawasan hutan pada tatakan belum selaras.
“Dilihat dari luas ketidaksesuaian di Kotawaringin Timur, dari 595,22 ribu hektare, atau 38,24 persen [dari total luas wilayah]. Sedangkan Pasuruan ketidaksesuaiannya adalah 3.678 hektare atau 2,42 persen [dari total luas wilayah],” imbuh Ketua Umum Partai Golkar itu.
Ketidaksesuaian di Kabupaten Pasuruan, 64 hektare di antaranya berada di kawasan hutan pada tatakan selaras dan 77 hektare di kawasan hutan pada tatakan belum selaras. Selanjutnya, 2.153 hektare berada di luar kawasan hutan pada tatakan selaras, dan 1.384 hektare berada di luar kawasan hutan pada tatakan belum selaras.
Pada kesempatan yang sama, Pj. Bupati Pasuruan, Andriyanto, mengakui di Kabupaten Pasuruan memang masih banyak terdapat ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Dengan kondisi ini, dia khawatir jika permasalahan tidak segera diselesaikan bisa menimbulkan konflik horizontal antarwarga maupun vertikal dengan pemerintah.
“Tumpang tindih atau ketidaksesuaian pemanfaatan tata ruang kawasan hutan, izin, atau hak atas tanah yang menurut kami cukup sensitif, cukup mengkhawatirkan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal, kalau seandainya ini tidak diselesaikan. Karena memang terjadi perbedaan antara PITTI (Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT) dengan pemerintah Kabupaten Pasuruan,” ujar Andriyanto.
Bupati Kotawaringin Timur, Halikinnor, juga mengakui sejak ditetapkan sebagai salah satu daerah percontohan pada 2019 lalu sampai sekarang, masih banyak ditemui ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di Kotawaringin Timur.
Dari 2019, Kotawaringin Timur sudah dapat menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan sebanyak 7.000 hektare, namun kini harus menghadapi masalah baru lagi dengan penambahan tumpang tindih poligon menjadi sebesar 54,31 ribu hektare.
“Ini permasalahan tumpang tindih perizinan, tumpang tindih penggunaan lahan, dan perbedaan antara tata ruang kabupaten dan provinsi. Untuk itu, ada beberapa kewenangan juga, ada kewenangan provinsi, ada kewenangan pusat, ada kewenangan kabupaten,” kata Halikinnor, menjelaskan penyebab utama masalah ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di Kotawaringin Timur.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi