tirto.id - Obat remdesivir diklaim ahli Coronavirus dari Korea Selatan sebagai obat yang lebih efektif untuk mengobati COVID-19, hal ini juga disampaikan oleh pemrakarsanya, yakni perusahaan bioteknologi Amerika Gilead Sciences, demikian sebagaimana diwartakan SCMP.
Dokter yang memimpin pencegahan Korea Selatan terhadap COVID-19 dan Mers pada tahun 2015, Kim Woo Joo mengatakan, dia tidak terlalu optimis terkait ketersediaan vaksin dalam 18 bulan ke depan.
Ia juga mengatakan bahwa remdesivir yang lebih efektif untuk memerangi infeksi COVID-19 saat ini akan tersedia lebih cepat.
Remdesivir merupakan antivirus eksperimental yang pernah dikembangkan untuk mengobati Ebola, sebagai obat anti-HIV, dan lainnya. Obat ini diberikan melalui infus dan dirancang untuk menghambat enzim yang mereproduksi materi genetik virus.
Akan tetapi, uji coba kontrol remdesivir untuk mengobati Ebola dihentikan. Hal ini disebabkan adanya peningkatan yang signifikan dalam kematian pasien sebagaimana dilaporkan RXList.com.
Namun, remdesivir menjadi salah satu obat pertama yang diidentifikasi memiliki potensi untuk mengobati Coronavirus COVID-19 dalam tes laboratorium.
Di sisi lain, tidak ada cukup data untuk pengobatan yang dapat dianggap sebagai pengobatan coronavirus yang potensial selain remdesivir.
"Jika semuanya berjalan dengan baik, saya berharap efektivitas obat-obatan ini akan dibuktikan secara ilmiah dalam tiga sampai empat bulan," ungkap dokter Kim Woo Joo, dikutip dari SCMP.
Selain itu, Kim juga mengatakan bahwa Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul dan Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS tengah bekerja sama untuk melakukan pengujian remdesivir sebagai opsi perawatan pasien COVID-19.
Kim yang juga terlibat dalam Ciclesonide Covis Pharma dan obat-obatan lain untuk obati COVID-19 menambahkan bahwa ada beberapa uji klinis yang sedang dilakukan untuk terapi remdesivir ini.
Ia juga menyebutkan bahwa klorofena yang digunakan sebagai obat malaria juga menjadi kandidat lain dari obat COVID-19 yang dapat diharapkan.
Melansir Fox Business, Universitas Chicago melakukan percobaan klinis remdesivir milik Gilead Sciences pada pasien.
Hasil menunjukkan bahwa pasien yang memiliki gejala demam dan kesulitan bernapas pulih dengan lebih cepat. Bahkan, pasien tersebut keluar dari rumah sakit dalam waktu kurang dari seminggu.
Universitas Chicago merekrut 125 orang dengan COVID-19 ke dalam dua uji klinis Fase 3 menggunakan remdesivir Gilead.
Dari orang-orang itu, 113 memiliki penyakit parah. Semua pasien telah diobati dengan infus remdesivir setiap hari.
“Berita terbaiknya adalah bahwa sebagian besar pasien kami sudah keluar, ini bagus. Kami hanya punya dua pasien yang meninggal, ”kata spesialis penyakit menular University of Chicago Kathleen Mullane, dikutip dari CNBC.
Hasil percobaan yang positif tersebut kemungkinan akan mengarah pada persetujuan cepat oleh Food and Drug Administration dan badan pengatur lainnya. Jika aman dan efektif, itu bisa menjadi pengobatan yang disetujui pertama melawan penyakit.
Sementara itu, National Institute of Health (NIH) melaporkan bahwa remdesivir terbukti mencegah penyebaran infeksi COVID-19 pada monyet.
Menurut STAT News, Gilead merespons hasil percobaan tersebut dengan mengatakan bahwa mereka sedang menunggu hasil lengkap dari studi tersebut.
Selain itu, Gilead juga mengharapkan hasil penelitian termasuk kasus-kasus COVID-19 yang parah di bulan April nanti.
Sementara itu, Mullane mengatakan bahwa data 400 pasien pertama dalam penelitian telah dibawa oleh Gilead. Itu artinya, hasil dapat datang kapan saja.
Ia juga menjelaskan keraguannya sendiri terkait data yang diperolehnya dalam penelitian tersebut.
"Itu selalu sulit," kata dia.
Hal itu karena percobaan yang berat tidak menyertakan kelompok plasebo untuk perbandingan.
"Tapi tentu saja ketika kita memulai obat [remdesivir], kita melihat kurva demam turun. Demam sekarang bukan keharusan bagi orang untuk melakukan pengujian," jelas Mullano.
"Kami melihat ketika pasien datang dengan demam tinggi, demam tersebut turun dengan cepat. Kami telah melihat orang-orang keluar dari ventilator sehari setelah memulai terapi. Jadi, secara keseluruhan pasien kami telah melakukannya dengan sangat baik,” lanjutnya.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno