tirto.id - Pada 29 Agustus 2005, tepat hari ini 14 tahun lalu, Indonesia kehilangan salah satu cendekiawan terbaiknya: Nurcholish Madjid. Tapi tak sebagaimana layaknya sebuah bangsa yang kehilangan seorang pemikir besar, kematian lelaki yang akrab disapa Cak Nur itu justru diliputi pergunjingan. Biangnya adalah penyakit liver yang ia derita disalahpahami banyak orang.
Penyakit liver yang parah ini meninggalkan perubahan fisik yang sangat tampak: wajah Cak Nur menghitam. Orang-orang yang menaruh syak wasangka kepadanya menganggap hal itu sebagai tanda kemurkaan Tuhan. Bahkan, menurut keluarga Cak Nur, beberapa khatib menjadikan kondisi Cak Nur itu sebagai cercaan dalam khotbah salat Jumat.
Padahal, menurut Dahlan Iskan yang juga pernah menderita penyakit yang sama, menghitamnya wajah itu tak ada hubungannya dengan murka Tuhan.
“Tuhan itu tidak punya hobi murka seperti khatib yang mengecam Cak Nur itu. [...] Ya, begitulah memang salah satu perubahan fisik yang dihasilkan oleh liver yang terkena sirosis. Ini berlaku pada siapa saja,” tulis Dahlan Iskan dalam Ganti Hati (2008: 160).
Dalam memoarnya selama menjalani pengobatan sirosis di Cina itu, Dahlan menjelaskan bahwa apa yang dialami almarhum Cak Nur adalah hal lumrah secara medis. Tanda itu pun sebenarnya hanyalah satu dari sekian akibat. Akibat lainnya adalah pembengkakan kaki dan payudara hingga muntah darah.
Tetapi gosip terlanjur menyebar dan masyarakat awam termakan olehnya. Tuduhan keji macam itu tak bisa dilepaskan dari kiprah Cak Nur di awal dekade 1970-an yang juga banyak menuai kesalahpahaman. Kiprah yang di masanya membuatnya dilabeli pembaharu sekaligus dituduh berusaha menyekulerkan Islam.
“Sampai-sampai disebutkan Cak Nur lagi mendirikan neo-Islam. Begitu hebatnya tentangan akan langkah Cak Nur tersebut sehingga ada yang sampai memvonis Cak Nur sudah murtad,” tulis Dahlan (hlm. 155).
Langkah macam apakah itu?
Natsir Muda yang Anti-Barat
Cak Nur adalah salah satu eksponen dari generasi “santri baru” yang lahir di akhir dekade 1960-an. Generasi ini, sebagaimana disebut M. Deden Ridwan dalam Neo Modernisme Islam (2002), tercirikan oleh komitmen mereka pada dakwah Islam secara kultural. Mereka mengambil jarak dari generasi “santri lama” yang menekankan perjuangan melalui partai politik dan ideologi.
Gagasan-gagasan keislaman generasi santri baru ini bertitikkisar pada semangat kemodernan dan lebih cair. Tidak seperti para pendahulu mereka yang mengelompok pada partai-partai, para santri baru datang tanpa membawa ambisi politik dan berusaha masuk ke serbaneka golongan. Gerak mereka terutama berkisar di ranah intelektual dan kebudayaan.
“Sebuah Islam yang terdistribusikan secara bebas ke pelbagai kelompok sosial-politik di Indonesia, dengan atau tanpa bendera Islam. Atau seperti ucapan Nurcholish sendiri, yaitu sebuah Islam yang bukan cuma milik golongan tertentu. Dan inilah mungkin inti slogan yang pernah dilontarkan Nurcholish di 1970-an: Islam yes, partai Islam no,” tulis Deden (hlm. 10).
Cak Nur adalah eksponen santri baru yang memulai kiprahnya dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain dia, generasi ini juga diisi para intelektual muda seperti Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Utomo Dananjaya, Harun Nasution, Abdul Mukti Ali, hingga Abdurrahman Wahid.
Cak Nur mulai moncer namanya sejak terpilih jadi Ketua Umum HMI periode 1966-1969. Saat itu ia dikenal karena pemikirannya tentang modernisasi yang bersandar pada keimanan. Ia juga penentang yang gigih atas westernisasi dan sekularisme. Bagi Cak Nur muda waktu itu, sekularisme adalah hulunya ateisme dan sumber immoralitas.
Pemikirannya itu terkristalisasi dalam naskah “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi” yang ia tulis pada 1968. Seturut Dawam Rahardjo, naskah tersebut lalu disempurnakan dan dirumuskan menjadi “Nilai-nilai Perjuangan HMI”.
“Itulah pandangan Nurcholish sebelum Nurcholish yang pembaru. [...] Itulah Nurcholish yang kira-kira memiliki citra ‘Natsir Muda’,” tulis Dawam dalam pengantarnya untuk bunga rampai Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (2008: xxv).
Padahal, Cak Nur sebenarnya punya sikap politik yang berlawanan dengan Mohammad Natsir. Menurut Ahmad Wahib, Cak Nur tidak sreg dengan bekas Ketua Umum Partai Masyumi itu lantaran Natsir pernah menjalin kedekatan dengan orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang beraliran sosial-demokrat. Simpati politik Cak Nur justru lebih condong pada golongan Masyumi nasionalis seperti Sukiman atau Yusuf Wibisono.
Meski demikian, Cak Nur bukanlah seorang fanatik dan itulah yang membedakan dia dari yang lain. Ia juga punya jiwa intelektual yang kuat dan terbuka pada pemikiran liyan. Ahmad Wahib menyebutnya “senang belajar dan membaca”.
“Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya,” tulis Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam (1981: 161).
Wahib, yang aktif di HMI cabang Yogya dan beberapa kali terlibat diskusi dengan Cak Nur, menilai pemikiran Cak Nur mulai berkembang setelah ia berkesempatan mengunjungi Amerika pada Oktober 1968.
Selama di Amerika itu Cak Nur berkunjung ke beberapa universitas dan berdiskusi dengan beberapa mahasiswa. Di sana ia juga bertukar pikiran dengan cendekiawan senior Sudjatmoko, bekas aktivis PSI, yang kala itu menjabat Duta Besar RI untuk AS. Sejak itulah Cak Nur mulai terbuka pada pemikiran humanisme dan sosialisme.
Butuh sekira dua tahun bagi Cak Nur untuk merumuskan pemikirannya tentang keislaman dan modernisasi. Hingga kemudian ia membikin kaget jagat intelektual Indonesia pada Januari 1970. Di hadapan peserta silaturahmi empat organisasi mahasiswa Islam, ia membawakan sebuah pidato bertajuk “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.
Dalam pidato itu Cak Nur mengonstatasikan bahwa umat Islam Indonesia terjebak pada absolutisme ideologi dan kehilangan dinamika. Partai Islam, yang selama dekade 1950-an menggerakkan perkembangan, tidak bisa lagi diharapkan untuk peran itu lagi. Itulah mulanya jargon “Islam yes, partai Islam no” muncul.
Cak Nur lantas menawarkan suatu jalan keluar yang kontroversial: kebebasan berpikir dan sekularisasi. Yang kemudian membikin bingung khalayak adalah sampai detik itu Cak Nur tetaplah seorang penentang sekularisme. Karenanya, sekularisasi yang ia maksud dalam pidatonya lebih tampak sebagai sebuah istilah baru bikinannya sendiri.
“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal,” demikian ucap Cak Nur dalam pidatonya.
Dawam mengingat, sekularisasi ala Cak Nur itu lantas bikin heboh. Bagi Dawam dan Wahib, pidato Cak Nur itu adalah peluang untuk memopulerkan pembaruan pemikiran Islam. Maka, mereka giat menyebarkan naskah pidato tersebut dan dengan segera menjadi bahan diskusi hangat. Tapi tentu saja, selain pujian, pemikiran Cak Nur juga menuai kecaman.
“Kalangan pimpinan pusat Muhammadiyah marah karena pembaharuan Muhammadiyah dianggap sudah berhenti. Beberapa tokoh NU menganggap pemikiran macam Nurcholish itu sudah melanggar aqidah,” tulis Wahib (hlm. 167).
Polemik Sekularisasi
Sejak pidato 1970 itu, orang-orang tidak lagi melabeli Cak Nur sebagai Natsir Muda atau Natsir Kedua. Kini julukannya berganti jadi seorang sekularis. Bahkan tak jarang orang melabelinya sesat. Dari sinilah gunjingan orang terhadap almarhum Cak Nur kala ia wafat berhulu.
Ide sekularisasi Cak Nur pada 1970 itu sebenarnya belum sempurna betul—dan kemudian memang masih dielaborasi lagi pada tahun-tahun setelahnya. Tapi tokoh-tokoh dari generasi santri lama terlanjur apriori terhadapnya. Bagi mereka, ada batas tegas yang tak bisa dilanggar antara Islam dan modernisme. Menurut generasi ini, Islam bisa dimodernisasi, tapi tidak dengan cara sekularisasi.
Salah satu cendekiawan dari generasi santri lama yang kemudian berpolemik dengan Cak Nur adalah H.M. Rasjidi. Tak tanggung-tanggung, pada 1972, Rasjidi secara khusus menyusun bantahan-bantahannya terhadap beberapa pemikiran Cak Nur dalam sebuah buku bertajuk Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.
Pada pokoknya Rasjidi menilai bahwa Cak Nur berusaha memisahkan sekularisasi dan sekularisme, padahal keduanya adalah sesuatu yang saling terkait. Karenanya, usaha Cak Nur memberi pengertian baru pada sekularisasi itu dipandang sebagai sesuatu yang terlalu dipaksakan.
“Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Sdr. Nurcholis, maka segala sesuatu telah menjadi arbitreir atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan ‘pisang goreng’, atau kopi atau es jeruk dan sebagainya, dengan tidak ada konsekwensinya apa-apa,” tulis Rasjidi (hlm. 15).
Polemik itu rupa-rupanya juga mengundang tokoh lain untuk urun suara. Dawam mencatat (hlm. xxix) bahwa tulisan-tulisan terkait wacana ini ramai mengisi halaman-halaman surat kabar zaman itu. Sebutlah mingguan Indonesia Raya, majalah Tempo, Mimbar Demokrasi, dan tak ketinggalan Panji Masyarakat ikut mengulasnya. Nama Cak Nur lantas melambung dalam dua predikat sekaligus: pembaru Islam dan sekularis.
Tentang ini, Dawam mengingatkan bahwa seliar apapun orang melabeli Cak Nur, pada prinsipnya sampai detik itu ia sendiri tak pernah mendaku sebagai sekularis. Karenanya orang harus selalu objektif dan memeriksa dengan teliti sikap Cak Nur dalam karya-karyanya.
“Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa bukan saja tidak menyatakan dirinya sekularis, Nurcholish bahkan menentang paham itu,” tulis Dawam (hlm. xxx).
Editor: Ivan Aulia Ahsan