tirto.id - Abad ke-20 kerap dipandang sebagai tabal pemisah sejarah bangsa. Di masa itu, kita seolah mengucapkan salam perpisahan pada masa lalu dan menyongsong dengan harap pada masa-masa baru. Di tabal pemisah itu kita kemudian mengenal satu kata: modern. Terpisahlah sastra Indonesia lama dengan sastra Indonesia modern; sejarah Indonesia lama dengan sejarah Indonesia modern; dan yang paling masyhur tentu saja Polemik Kebudayaan yang menjadi penanda zaman modern kebudayaan Indonesia.
Modernisme sebagai sebuah kehendak zaman berpengaruh pula pada kehidupan keberagamaan bangsa kita, khususnya umat Islam. Di awal abad 20, muncul organisasi dan pola-pola baru dalam keberagamaan umat Islam. Kaum pembaharu Islam muncul di berbagai daerah. Mereka memisah pola pendidikan Islam, pesantren dimodernisasi dan disesuaikan dengan pola pendidikan baru. Modernitas juga ternampak pada pola pengurusan umat, kesadaran berorganisasi, keterbukaan terhadap sains dan ilmu Barat serta kesadaran politik yang semakin meninggi. Dalam pembaharuan Islam di Indonesia itu, kita tak bisa alpa menyebut satu nama: Mohammad Natsir.
Ikhtiar Natsir ialah ikhtiar panjang untuk menjadikan umat Islam tetap memiliki ghairah dan harga diri yang tinggi di zaman modern. Natsir tak ingin Islam terlihat kumuh dan ketinggalan zaman. Putra Minang ini senantiasa berusaha menunjukkan bahwa Islam mampu berdialog dengan dunia modern yang amat gandrung pada sains, teknologi, kedaulatan manusia dan supremasi akal (rasio). Jalan modernisme ini dapat dilihat dari pola pendidikan yang ia tempuh selama hidupnya.
Mohammad Natsir lahir di tengah gelombang besar pembaharuan Islam yang tengah melanda dunia Islam pada awal abad ke-20, khususnya di Minangkabau. Pergolakan sosial dan pertentangan kaum tua dan kaum muda menjadi sesuatu yang hal yang biasa ketika itu. Para ulama muda yang baru pulang dari Timur Tengah mencoba membangkitkan kembali Islam. Sementara kaum yang sering dituduh mewakili kaum tua tetap berusaha mempertahankan apa yang telah membiasa di Minangkabau.
DR. Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), DR.H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Daud Rasyidi adalah beberapa ulama muda yang tengah menggencarkan pembaharuan Islam di Sumatera Barat.
Di tengah masyarakat yang sedang mengalami bermacam ketegangan sosial sedemikian, Mohammad Natsir lahir dan bertumbuh. Ia lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Sebagai anak Minang, ia tentu mengaji. Tetapi selain mengaji di surau, Natsir kecil pun mengikuti pendidikan resmi. Ia tercatat sebagai murid Sekolah Rakyat Maninjau dan melanjutkan ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Sempat pula pindah ke HIS Solok.
Perpaduan antara mengaji dan bersekolah telah menjadi sesuatu yang umum kala itu. Para pembaharu menekankan pentingnya umat Islam menguasai ilmu. Bukan hanya ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah resmi. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Selepas lulus dari MULO, Natsir pada usia 17 tahun merantau ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada 1930. Di sini Natsir mengasah aktivismenya dan bergabung dengan para pembaharu lainnya. Ahmad Hassan ialah salah satu tokoh penting dalam kehidupan Natsir remaja. Guru Persatuan Islam (PERSIS) itu lah yang mengarahkan dan mengasah paham keagamaan Natsir. Secara formal Natsir memang menempuh pendidikan Belanda namun ia juga mengaji pada tokoh pembaharu tersebut. Selain dengan A. Hassan, Natsir pun terbiasa membahas beragam persoalan bersama seorang tokoh kharismatik dalam sejarah Indonesia, Haji Agus Salim.
Pengalaman Natsir semakin kaya setelah persentuhannya dengan Sukarno yang ketika itu sama-sama tinggal di Bandung. Natsir sempat berpolemik dengan Sukarno mengenai persoalan poligami. Persentuhan ini dapat dipandang sebagai awal perdebatan yang kelak menjadi lebih rumit antara kaum nasionalis dan kaum Islam, antara Islam dan kemodernan.
Pola pendidikan yang dilalui M. Natsir ialah pola yang mengumum di kalangan pembaharu Islam. Pada satu sisi Natsir muda belajar di sekolah Belanda, tapi di saat bersamaan ia pun mengaji kepada tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Ilmu dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari dua sisi. Umat Islam dituntut untuk menguasai “ilmu-ilmu umum”, sains dan humaniora yang berkembang dan dikembangkan oleh peradaban Barat, melalui saluran sekolah-sekolah formal. Ilmu-ilmu ini pada masa itu dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai.
Sementara itu, selain penguasaan “ilmu-ilmu umum”, umat Islam pun dituntut untuk menguasai “ilmu-ilmu agama”. Akan tetapi “ilmu-ilmu agama” yang berkembang ketika itu dipahami sebagai ilmu-ilmu yang secara langsung berhubungan dengan al-Qur’an dan Sunnah beserta turunannya seperti fiqih dan akidah. Pandangan semacam ini pula yang kemudian dianut Natsir ketika mengembangkan pendidikan partikelir di Bandung pada tahun 1930-an.
Selepas lulus AMS putra Minang ini memang tak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Bukan tak ada tawaran atau tak mampu, tetapi ia lebih memilih untuk mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan. Ia lebih memilih untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan partikelir: Pendidikan Islam atau disingkat Pendis. Pendis ialah sebuah ikhtiar untuk menggabungkan penyelenggaraan pendidikan umum dan pendidikan agama dalam satu lembaga. Setiap peserta didik mendapat dua pendidikan itu dalam satu sekolah. Ini ialah semacam uji coba awal dalam pembangunan pendidikan Islam di Indonesia.
Pandangan Natsir mengenai Islam dan kemodernan tersebut terus berkembang menemani kiprahnya sejak menteri penerangan hingga perdana menteri. Juga ikhtiar juangnya selepas era Sukarno amat kental dengan pandangan semacam ini. Islam ia pandang sebagai sesuatu yang harus bersesuaian dengan pola hidup modern; Islam dapat hadir dalam segala unsur kehidupan modern. Islam ditempatkan sebagai sesuatu yang tak ketinggalan zaman. Dalam waktu bersamaan ia pun berusaha untuk menjadikan Islam sebagai pengobat segala penyakit yang ditimbulkan oleh modernitas, seperti keterasingan diri dan masalah-masalah moralitas. Natsir menempatkan Islam sebagai sesuatu yang dapat bersesuaian dengan modernisme dan sekaligus dapat menjadi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh modernisme itu sendiri.
Selain itu, hal-hal yang dianggap bertentangan dengan Islam dan sekaligus modernitas ia tentang habis-habisan. Natsir dikenal amat gencar menyanggah takhayul, khurafat dan bid’ah. Baginya hal-hal semacam itu dapat melunturkan daya gugah Islam dan menggiring umat pada lelangutan yang melenakan.
Di dalam bukunya, Islam dan Akal Merdeka, pandangan Natsir tersebut amat kentalnya dipaparkan. Ia amat menghormati akal (rasio) tetapi menempatkannya sebagai penyelesai persoalan duniawi. Sementara hal-hal ibadah musti ditimbang berdasarkan keyakinan. Dan akal merdeka yang dibimbing oleh agama tentu akan menentang hal-hal takhayul, khurafat dan bid’ah itu. Di buku ini ternyata jelas Natsir hendak mengintegrasikan akal dengan agama (Islam). Keduanya tidak perlu dipertentangkan melainkan harus diharmoniskan dengan menempatkannya pada kedudukan masing-masing.
Di dalam sebuah pidatonya berjudul "Pesan Islam terhadap Orang Modern" (disampaikan pada Musyawarah Ummat Islam di Karachi dan Islamabad pada Maret 1976), Natsir nampak lebih serius memandang Islam dan kemodernan.
Mengutip Professor Alex Inkeles dari Universitas Harvard, Natsir menyebut 9 ciri manusia modern: 1) Kebersediaan dan keterbukaan pada pengalaman dan perubahan baru; 2) Keberanian berpendapat secara demokratis; 3) berorientasi pada masa kini dan masa depan; 4) Keterlibatan pada organisasi modern; 5) percaya bahwa manusia dapat menguasa alam; 6) yakin bahwa dunia dapat diperhitungkan; 7) sadar akan martabat diri dan orang lain; 8) lebih yakin kepada ilmu dan teknologi; dan 9) Berpahak kuat pada keadilan yang merata. Bagi Natsir seluruh kualitas manusia modern tersebut telah terkandung dalam ajaran Islam. Oleh karena itu seorang muslim tidak perlu menjadi orang sekuler untuk menjadi modern.
Ikhtiar Natsir untuk mengintegrasikan Islam dan modernitas ialah jalan panjang yang tertuang dalam banyak peristiwa dan catatan. Hingga ia wafat pada 6 Februari 1993, jalan Natsir ialah jalan modernisme Islam ini. Ia selalu yakin bahwa Islam bersesuaian dengan semangat modern sekaligus dapat menjadi penyembuh dari beragam penyakit yang disebabkan modernitas.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Shubhi Abdillah adalah penulis yang pernah kuliah di Program Studi Sastra Indonesia FIB UI. Ia turut mendirikan Komunitas Nuun sebagai wadah bertukar gagasan mengenai wacana keislaman dan kebudayaan.
Editor: Nuran Wibisono