tirto.id - Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, mengatakan bahwa dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dasar tersebut, terang Rizieq, membuat Indonesia menjadi negara tauhid, sehingga siapa pun tidak ada yang boleh menistakan kalimat tauhid.
“Dasar NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada di dalam UUD 1945 bahwa negara kita berlandaskan Ketuhanan,” kata Rizieq saat mengisi ceramah di Arab Saudi, Rabu (21/11/2018), sekitar pukul 00.00 WIB.
Rizieq menegaskan kalimat tauhid harus selalu ada di Indonesia dan mempersilakan bagi siapa pun yang tak menerima atau melecehkan kalimat tauhid untuk angkat kaki dari tanah air.
Pernyataan Rizieq seperti membuka kembali diskusi tentang hubungan antara agama dan negara. Indonesia rupanya bukan satu-satunya negara yang mengutip kata "Tuhan" dalam konstitusi, dokumen tertinggi yang menjadi landasan kehidupan bernegara.
Paragraf ketiga dalam bagian pembuka Undang-Undang Dasar 1945 (PDF) berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Sejumlah negara lain juga mempraktikkan hal yang sama.
Konstitusi Aljazair 1976 dibuka dengan kalimat: “Dalam Nama Tuhan yang Maha Penyayang dan Penuh Welas Asih.” Dalam amandemen konstitusi 2008 (PDF), bagian pembuka tersebut dihilangkan. Konstitusi Kuwait juga mengutip Tuhan dan mencantumkan nama emir pertama negeri tersebut. Bunyinya: "Dalam nama Allah, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, Kami, Abdullah al-Salim al-Sabah, Amir Negara Kuwait, menghendaki pemerintahan demokratis untuk negeri kami tercinta."
Rujukan kepada Tuhan dalam konstitusi Pakistan adalah sebagai berikut: "... kedaulatan atas seluruh Alam Semesta hanya milik Allah yang Maha Kuasa, dan pemerintahan yang akan diselenggarakan oleh rakyat Pakistan sesuai batas-batas yang telah ditentukan oleh-Nya adalah kepercayaan sakral."
Tak hanya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim, rujukan kepada Tuhan juga muncul dalam konstitusi sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas Kristen atau Katolik. Misalnya pada pembuka konstitusi Albania yang berbunyi: "Kami, rakyat Albania, bangga dan sadar akan sejarah kami, dengan tanggung jawab kepada masa depan dan iman pada Tuhan maupun nilai-nilai universal lainnya."
Kemudian konstitusi Australia: "Kami orang-orang New South Wales, Victoria, Australia Selatan, Queensland, dan Tasmania bergantung pada berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan telah sepakat untuk bersatu dalam satu Persemakmuran Federal yang tak terpisahkan di bawah Mahkota Ratu Britania Raya dan Irlandia dan di bawah konstitusi ini menetapkan ..."
Konstitusi Argentina memuat kalimat: “... memohon perlindungan Tuhan, sumber akal budi dan keadilan ... menetapkan konstitusi ini untuk Bangsa Argentina.”
Sementara di AS, kendati Konstitusi negara tak pernah eksplisit menyebut kata “Tuhan” atau entitas yang disetarakan, konstitusi negara bagian justru memperlihatkan hal sebaliknya. Data Pew Research Center menjelaskan bahwa kata “Tuhan” disebut setidaknya sekali dalam 50 konstitusi negara bagian atau hampir 200 kali secara keseluruhan—kecuali Colorado, Iowa, Hawaii, dan Washington. Yang paling banyak menyertakan lema “Tuhan” yaitu Massachusetts (delapan kali), New Hampsire, dan Vermont (keduanya enam kali).
Faktor Sejarah
Rujukan kepada Tuhan, tulis Marc Coleman dalam “God and the EU Constitution: The Case for a “New Covenant” (2004) yang dipublikasikan di Studies: An Irish Quarterly Review, memang sering dijumpai di bagian pembuka konstitusi. Rujukan ini dibedakan menjadi dua, yakni "permohonan kepada Tuhan" (invocatio dei) dan "penyebutan Tuhan" (nominatiodei).
Sebagaimana dijelaskan Randall Lesaffer dalam “Peace Treaties and International Law in European History: from the Late Middle Ages to World War One” (2004) yang diterbitkan American Historical Review, invocatio dei punya riwayat historis yang panjang dalam hierarki hukum Eropa. Pada zaman kuno dan Abad Pertengahan, sosok dewa atau Tuhan biasanya disertakan dalam kontrak sebagai jaminan.
Formula seperti “Atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus” lazim dipakai di awal dokumen hukum guna menekankan keadilan dari norma yang dibuat. Perjanjian semacam ini diterapkan di antara negara-negara Kristen sampai akhir abad 19. Sedangkan nominatio dei sendiri dapat ditemukan di beberapa tradisi konstitusi Eropa yang mencerminkan kekuatan posisi gereja di atas negara.
Dalam perjalanannya, konsep invocatio dan nominatio dei punya beberapa tujuan. Pertama, memberi legitimasi negara untuk menyelenggarakan pemerintahan di mana raja dianggap sebagai manifestasi Tuhan di bumi sehingga berwenang untuk memerintah sesuai kehendak ilahi. Kedua, menunjukkan dukungan negara untuk agama tertentu. Ketiga, melanggengkan sejarah dan tradisi sebuah negara.
Seiring waktu, konstitusi tertulis menjadi norma bagi negara-negara modern pada abad 19. Beberapa negara Eropa pun mempertahankan tradisi agama ke dalam dokumen pendirian mereka. Sekalipun ingin menyelenggarakan pemerintahan sekuler dan republikan, yang berbeda dari pemerintahan ala monarki, kata "Tuhan" kerap dikutip sebagai alat legitimasi.
Namun, tak sedikit negara yang mulai memisahkan urusan agama dengan negara dengan alasan menjaga netralitas agama. Negara-negara Eropa yang menerapkan aturan main semacam ini antara lain Islandia, Italia, Portugal, Jerman, Perancis, dan Spanyol.
Masih Relevankah?
Negara-negara Eropa Tengah dan Barat, mengutip Konrad Schmid dalam “In the Name of God? The Problem of Religious or Non-religious Preambles of State Constitutions in Post-atheistic Context” (2004), beranggapan penyertaan agama dan Tuhan dalam konstitusi sudah tidak lagi relevan. Perancis dan Jerman, contohnya, mulai memisahkan agama dan negara ke dalam dua ruang yang berbeda. Polandia, yang dikenal sebagai negara dengan penduduk Katolik terbanyak di dunia pun juga perlahan menempatkan agama dan negara tidak pada satu ruangan.
Bagi negara-negara Eropa Barat dan Tengah, negara harus netral dari urusan agama. Pasalnya, tanpa negara pun, agama sudah punya tempat untuk menafsirkan aturannya sendiri. Ditakutkan, ketika agama masuk dalam instrumen negara (baca: konstitusi), yang ada hanyalah konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Ceko pada 1940-1950-an ketika Gereja Katolik menjadi target pemberangusan rezim komunis.
Konstitusi, tegas Coleman, pada dasarnya adalah kontrak yang tak hanya melibatkan warga negara, pemerintah, dan sistem hukum. Konstitusi juga merupakan kontrak yang melibatkan generasi sekarang, masa lalu, dan masa depan. Konstitusi harus mengakui nilai-nilai yang tak cuma dipercayai orang beragama (mayoritas), tapi juga oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dan sebaik-baiknya konstitusi adalah yang merangkul semua warga negara, alih-alih menjadi tameng bagi kelompok agama tertentu.
Lagipula, tak ada jaminan bahwa konstitusi yang memuat unsur agama atau ketuhanan bisa mengubah masyarakat di dalamnya menjadi lebih religius. Contohnya ada pada Massachusetts, New Hampshire, dan Vermont. Konstitusi ketiga negara bagian ini paling banyak menyertakan terma “Tuhan.” Namun, berdasarkan riset Pew Center pada 2016, ketiganya justru menjadi negara bagian paling tidak religius di AS.
Editor: Windu Jusuf