tirto.id - “Ini bukan duniamu. Kamu tidak ada bakat menjadi sufi, menjadi mutasawwif,” tutur Kiai Hamid Dimyati kepada salah satu muridnya. Si murid terkejut. Maksud hati hendak meminta amalan-amalan tarekat, ia malah disuruh berhenti.
Pemuda Boedjono, murid itu, ingin benar mengikuti jejak ayah dan kakak tertuanya yang ikut tarekat Qadiriyah. Ia telah beberapa lama aktif dalam pengajian tarekat Naqsabandiyah sejak nyantri di Tremas, Pacitan. Kiai Hamid Dimyati, sang pengasuh pesantren, adalah orang yang membimbingnya. Tapi kini Boedjono malah diminta berhenti dan fokus pada bidang keilmuan Islam.
“Kalau kamu ingin memperdalam ilmu agama, coba baca Milhaq al-Nadhar-nya al-Ghazali. Dan saya sendiri yang akan mengajarmu,” kata Kiai Hamid Dimyati kepada santrinya itu.
Boedjono turut saja. Ia mengganti kegiatan tarekat dengan mengaji kitab yang dianjurkan sang guru. Nyatanya, kitab filsafat logika itu memang mengubah pandangan Boedjono. Itulah yang menjadi awal dari kerja sepanjang hayatnya sebagai cendekia.
Belajar Agama dari Pakistan hingga Kanada
Pemuda Boedjono yang saya bicarakan tak lain adalah mantan Menteri Agama Prof. Dr. Abdul Mukti Ali. Boedjono adalah nama pemberian orang tuanya saat lahir pada 23 Agustus 1923 di Cepu. Ia berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali sejak 1943, saat nyantri di Tremas, Pacitan.
“Abdul Mukti diambil dari pemberian kiyai Hamid, dan Ali dari usulan orang tuanya,” tulis Ali Munhanif dalam “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” yang menjadi bagian dari buku Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (1998: 275).
Setelah menamatkan pendidikan dasar di HIS Cepu, Boedjono lantas melanjutkan studi di Pesantren Tremas. Selain di Tremas, ia mengikuti pula pengajian di Pesantren Tebuireng (Jombang), Rembang, dan Padangan (Tuban) selama Ramadan dan Syawal. Ia berhenti nyantri saat revolusi mulai berkobar pada 1945.
Ia sempat ikut terjun ke politik kala menjadi anggota Dewan Wakil Rakyat Blora pada 1946. Tapi itu tak lama. Tahun berikutnya ia kembali meneruskan belajar di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta—kelak jadi Universitas Islam Indonesia. Lagi-lagi studinya harus terhenti karena Agresi Militer Belanda kedua pada akhir 1948. Ia kemudian ikut bertempur dengan bergabung dalam Angkatan Perang Sabil pimpinan Kiai Abdurrahman dari Kedungbanteng (hlm. 274-279).
Usai Revolusi mereda, Mukti Ali berniat meneruskan studinya yang terputus. Pada Maret 1950, ia berangkat ke Mekkah bersama adiknya untuk berhaji sekaligus belajar Islam. Namun sampai di sana, ekspektasinya tentang Mekkah buyar.
“Bagi Mukti Ali sendiri, Mekkah di tahun 1950an itu ibarat ‘desa besar’ dihiasi dengan pola kehidupan masyarakat abad pertengahan. Orang-orang yang hidup di Mekkah juga tidak mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia,” tulis Ali Munhanif (hlm. 280).
Ia lalu memutuskan pergi ke Pakistan dan mendaftar di Universitas Karachi. Pada 1955, Mukti Ali lulus sebagai sarjana spesialis sejarah Islam. Atas saran Anwar Harjono, mantan Sekjen Masyumi, ia kemudian pergi ke Kanada untuk meneruskan studi di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal.
Semasa di McGill ia mulai mendalami metode studi agama-agama dan membangun pertemanan dengan profesor-profesor kajian Islam di universitas itu. Pada masa inilah pemahaman Mukti Ali tentang teologi Islam berkembang. Biangnya adalah Profesor Wilfred Cantwell Smith yang memperkenalkannya pada pendekatan komparatif dalam mempelajari Islam (hlm. 281-282).
Tentang ini, Mukti Ali, sebagaimana dikutip Ali Munhanif (hlm. 283), mengatakan, “Kalau boleh saya menyebut, pendekatan itu adalah ‘pendekatan holistik’ terhadap agama. Suatu pendekatan yang banyak mempengaruhi jalan pikiran saya, atau bahkan dalam konteks yang lebih luas, mengubah sikap saya dalam memahami hidup manusia.”
Kembali ke Indonesia
Di ulang tahunnya yang ke-70 pada 1993, 37 penulis secara khusus menulis tentang sosok Mukti Ali dan kemudian diterbitkan sebagai buku Agama dan Masyarakat: 70 Tahun Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Harian Kompas (21/12/1993) menurunkan satu berita khusus tentang peluncuran buku itu yang sekaligus menggelari Mukti Ali dengan predikat yang begitu mentereng: Bapak Kerukunan dan Perbandingan Agama.
Simuh, yang pernah menjadi mahasiswanya, menyebut bahwa Mukti Ali-lah yang mempelopori berdirinya Fakultas Perbandingan Agama di IAIN. “Umat Islam lalu belajar dan bisa mengerti tentang agama-agama lain, yang bisa menjadi dasar perdamaian dan kerukunan antar agama,” tutur ahli kebatinan Jawa itu sebagaimana dikutip Kompas.
Sepulang dari Kanada pada 1957, selama beberapa tahun Mukti Ali mengabdi sebagai dosen di IAIN Jakarta. Sesuai spesialisasinya, ia mengajar ilmu perbandingan agama. Apa yang ia ajarkan itu adalah sesuatu yang baru bagi keilmuan Islam di Indonesia masa itu. Dan mata kuliah itu sangat diminati.
“Untuk alasan inilah, sebuah program studi dibuka di IAIN Jakarta dan Yogyakarta pada 1960, yang diberi nama program Jurusan Perbandingan Agama. Mukti Ali segera ditunjuk Departemen Agama untuk memimpin program itu dan merumuskan kurikulumnya,” tulis Ali Munhanif (hlm. 285).
Pemikiran Mukti Ali yang terpenting dan masih relevan hingga kini adalah peran ilmu agama untuk menjawab problem masyarakat modern. Ilmu agama harus bisa digunakan untuk mengembangkan kerukunan dan kedamaian. Untuk itu, sebut Media Zainul Bahri, Mukti Ali mendesain sebuah metodologi yang disebutnya “ilmiah-agamais”.
“Maksudnya ilmu agama tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan-pendekatan teologis yang normatif, namun juga harus diperkaya oleh ilmu-ilmu sosial supaya memiliki elan vital untuk bergumul dengan problem-problem sosial,” tulis dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah itu dalam “Mukti Ali dan Harmoni dan Keberagamaan Progresif” yang terbit di Koran Sindo (1/3/2016).
Ketika memimpin Departemen Agama (1971-1978), gagasannya itu dikonkretkan dalam program Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Ia juga mempopulerkan istilah “sepakat dalam perbedaan”. Itu semua adalah langkahnya merespons perselisihan antara pemeluk Islam dan Kristen yang meningkat intensitasnya pada akhir 1960-an.
Selama masa konsolidasi Orde Baru (1967-1970), aspirasi Islam politik dihambat pemerintah. Sementara itu kalangan non-Muslim mulai mendapat tempat dalam lingkaran kekuasaan. Di saat yang sama, gerakan misionaris mendapat sukses besar di Indonesia. Situasi ini tak hanya menerbitkan saling curiga dan perang opini di antara keduanya, tetapi juga konflik terbuka.
“Di beberapa kota di Jawa Tengah dan Aceh, terjadi pembakaran gereja oleh pemuda Muslim. Di Sulawesi Utara dan Ambon sebaliknya terjadi pembakaran masjid oleh para penganut Kristen Protestan,” papar Ali Munhanif (hlm. 302-304).
Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama itu diwujudkan dalam bentuk dialog. Mukti Ali mendudukkan para pemuka agama, cendekiawan, dan organisasi keagamaan dalam satu meja. Untuk itu, ia juga menghidupkan lagi program Musyawarah Antarumat Beragama yang mati suri sejak masa Menteri Agama Muhammad Dachlan. Proyeksinya, forum ini menjadi wadah diskusi dan dialog antara komunitas agama terutama dalam hal penyelesaian konflik dan metode penyiaran agama (hlm. 305).
Menurut Media Zainul Bahri, lewat program-program itu Mukti Ali berharap setidaknya masing-masing komunitas agama bisa saling mengenal dan memahami. Itu menjadi dasar terjalinnya hubungan antaragama yang harmonis. Fondasi yang ingin dibentuk melalui dialog ini adalah keadaan saling menghormati.
Tetapi, kini semangat saling menghormati itu mendapat ancaman serius dari menguatnya konservatisme beragama. Padahal, selain menghambat harmonisasi, hal itu juga menghambat umat merespons modernitas dan perubahan dunia. Sikap Mukti Ali jelas: konservatisme semacam itu mesti dibuang jauh-jauh.
“Bagi Mukti Ali, umat beragama harus memiliki pemahaman keagamaan yang progresif, yang maju dan modern. Caranya dengan melakukan penafsiran-penafsiran ulang atas teks-teks agama supaya relevan dan kontekstual dengan problem dan tantangan hari ini,” tulis Media Zainul Bahri.
Gagasan-gagasan Mukti Ali mungkin saja usang. Tapi di tengah menguatnya tren konservatisme dan intoleransi, gagasan itu layak ditengok lagi.
==============================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan