Menuju konten utama

Ngobrol dan Gawai, Pangkal Kelalaian Orangtua saat Menjaga Anak

Tiga dari lima kegiatan anak yang berisiko terjadi saat pengasuhnya lalai mengawasi.

Ngobrol dan Gawai, Pangkal Kelalaian Orangtua saat Menjaga Anak
Ilustrasi kecelakaan anak. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Rekam gambar itu memperlihatkan seorang wanita yang berjalan sambil menenteng ponsel di tangan kanan. Tiba-tiba, anak perempuannya yang masih balita terjengkang karena tersenggol ayunan. Adegan berikutnya diisi dengan respons lelaki (kemungkinan ayah si balita), menendang bocah laki-laki yang bermain ayunan.

Video berdurasi kurang dari satu menit itu kemudian memperlihatkan percekcokan antar-orangtua kedua anak. Warganet pun ikut ikut berkomentar, ramai-ramai menilai pihak yang harus disalahkan. Kebanyakan menuding orangtua balita perempuan lalai menjaga anaknya.

Anak-anak berumur di bawah lima tahun memang membutuhkan pengawasan ekstra dari orangtua karena tengah berada dalam tahap perkembangan aktif. Apalagi di ruang publik yang punya banyak risiko atau kejadian tidak terduga. Di Inggris misalnya, taman bermain menjadi tempat yang menyumbang 40 ribu kecelakaan pada anak.

Ada dua faktor yang digolongkan menjadi penyebab cedera di taman bermain. Pertama, faktor manajemen, yang terdiri dari desain peralatan, tata letak, instansi, inspeksi, dan peralatan yang buruk atau tidak sesuai umur pengguna. Lalu, pada faktor pengguna, terdapat faktor kurangnya pengawasan, penyalahgunaan peralatan, pakaian anak yang tidak mendukung aktivitas bermain, dan cuaca.

“Segala aktivitas anak di bawah usia 12 tahun perlu berada di bawah pengawasan orang dewasa,” ujar Mellissa Grace, seorang psikolog.

Kecelakaan anak di taman bermain akibat faktor peralatan memakan porsi kurang dari 40 persen. Dari jumlah tersebut, 80 persennya adalah cedera karena jatuh. Ayunan menjadi peralatan yang paling banyak mengakibatkan cedera pada anak, yakni sebesar 40 persen.

Di urutan kedua, mainan yang paling sering menjadi penyebab kecelakaan adalah tiang atau tali panjat, yakni sebanyak 23 persen. Lalu, perosotan sebanyak 21 persen, bundaran berputar 5 persen, jungkat-jungkit 4 persen, pole/tiang 1 persen, dan lainnya 6 persen. Bundaran berputar menjadi mainan yang membuat cedera paling parah pada anak.

Meski taman bermain banyak menyebabkan anak cedera, ternyata rumah juga bukan merupakan tempat yang aman untuk bermain. Di Inggris, lebih dari 2 juta anak di bawah usia 15 tahun mengalami kecelakaan di rumah dan sekitarnya setiap tahun. Kecelakaan menyumbang kecacatan dan kematian paling umum pada anak-anak di atas usia satu tahun di negara tersebut.

Setiap tahun, ada rata-rata 62 anak di bawah usia lima tahun meninggal akibat kecelakaan. Lebih dari 76 ribu anak berusia di bawah 14 tahun harus dirawat, dan lebih dari 40 persen dari mereka adalah anak dengan usia di bawah 5 tahun. Kelompok yang paling berisiko mengalami kecelakaan di rumah merupakan anak usia 0-4 tahun.

Terjatuh dari tempat tinggi menjadi kecelakaan paling banyak dialami anak, sementara kecelakaan yang paling banyak merenggut nyawa disebabkan oleh api. Ruang tamu atau ruang makan menjadi lokasi dengan jumlah kecelakaan paling tinggi.

Kecelakaan dengan luka serius banyak terjadi di dapur dan tangga. Di dapur, setiap tahun lebih dari 67 ribu anak mengalami kecelakaan, 43 ribu di antaranya berusia 0-4 tahun. Sementara tangga membuat 58 anak mengalami kecelakaan setiap tahunnya. Kebanyakan terjadi di waktu sore hari, liburan sekolah, musim panas, dan akhir pekan, saat anak-anak terbebas dari sekolah.

Benarkah Kelalaian Orangtua Berasal dari Gawai?

Anak-anak berisiko tinggi mengalami kecelakaan karena beberapa hal yang mendasari kondisi tersebut. Di antaranya adalah karena anak-anak punya persepsi lingkungan terbatas. Mereka belum memiliki pengalaman dan pengembangan cukup, sehingga belum menyadari konsekuensi situasi yang dihadapi.

Postur tubuh kecil juga membikin mereka seringkali luput dari pandangan sekitar. Di sisi lain, anak-anak memiliki keingintahuan dan semangat petualangan besar. Sering kali cedera juga diakibatkan oleh kesengajaan anak-anak, misalnya bertengkar atau bergulat.

Infografik Kecelakaan anak

Untuk menghindari kondisi tersebut, perlu peran aktif orangtua dalam melakukan pengawasan. Menurut Mellisa, mengawasi bukanlah sekadar duduk di dekat anak atau berada dalam jarak dekat secara fisik. Mengawasi adalah memonitor aktivitas dan mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin dialami anak.

“Ketika terjadi peristiwa dan kecelakaan terhadap anak yang diakibatkan anak lainnya, orang dewasa yang mengawasi juga turut bertanggung jawab atas kejadian tersebut,” tutur Mellissa.

Kelalaian orangtua atau pengasuh memang berperan besar dalam menyumbang risiko kecelakaan anak. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Pediatric Academic Societies (PAS) pada 50 pasang pengawas pengasuh anak berusia antara 18 bulan hingga 5 tahun. Seorang peneliti mengamati pengasuh dan anak selama 10-20 menit di taman bermain.

Setiap dua menit, mereka bertugas mencatat empat perilaku yang dilakukan pengasuh. Yang pertama adalah pengawasan visual. Yang kedua adalah pengawasan pendengaran, keterlibatan dengan anak, dan gangguan. Sementara itu, peneliti lain mengamati jumlah potensi kecelakaan pada anak.

Hasilnya mengungkapkan berbincang dengan orang lain menjadi penyumbang gangguan para pengawas sebanyak 33 persen. Berbeda tipis dengan gangguan dari perangkat elektronik seperti ponsel sebesar 30 persen. Sisanya, yang menyebabkan 37 persen gangguan adalah makan, minum, membaca, melihat isi tas, dll.

Di sisi lain, peneliti mencatat ada 30 persen anak-anak melakukan perilaku berisiko saat proses pengamatan. Termasuk memanjat, melempar pasir, berseluncur dengan kepala terlebih dahulu, mendorong anak lain, dan melompat dari ayunan. Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara gangguan pada pengasuh dengan perilaku berisiko pada anak-anak. Tiga dari lima anak yang jatuh terjadi saat pengasuh terganggu.

“Memang, kecelakaan menjadi bagian dari pertumbuhan dan pembelajaran alami anak. Namun, insiden ini harus ditekan seminimal mungkin oleh pengawas,” ujar penulis penelitian Dr. Ruth Milanaik, direktur program perkembangan saraf neonatal, Pusat Medis Anak Cohen, New York, seperti dikutip Forbes.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani