Menuju konten utama

Begini Cara Tepat Mengatasi Tantrum pada Anak

Anak memilih tantrum karena mereka belum tahu cara mengekspresikan emosi. Frekuensi tantrum akan berkurang seiring kemampuan verbal anak mulai berkembang.

Header Diajeng Anak Tantrum.tirto.id/Quita

tirto.id - Bocah itu menangis tak henti-henti. Ia baru saja memukul seseorang.

Ibunya mengancam akan pergi jika si bocah tak kunjung minta maaf. Alih-alih membuatnya diam, amukan si bocah malah makin menjadi.

Namun, selang beberapa menit, tangisnya mereda. Ia pun sudah meminta maaf kepada orang yang dipukulnya.

Adegan tersebut terekam dalam acara lawas tahun 2017 yang menampilkan kehidupan keluarga pasangan artis Raffi Ahmad dan Nagita “Gigi” Slavina. Saat itu, anak mereka, Rafathar mengamuk dan memukul orang-orang di sekitarnya. Gigi terlihat tak terlalu meladeni amukan anaknya.

Tantrum yang dilakukan Rafathar waktu kecil merupakan masalah umum anak-anak usia prasekolah, terutama usia 1-4 tahun.

Pada taraf tersebut, anak belum bisa mengekspresikan keinginan. Cara meluapkan itu semua tak lain dengan meronta, berteriak, menangis, menjerit, menghentakkan kedua kaki dan tangan ke lantai atau tanah.

Ketika menghadapi kondisi ini, kita sebagai orang tua tak perlu khawatir. Tantrum umum terjadi pada anak.

Michael Potegal dan Richard J Davidson dalam studi di Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics (2003) melakukan penelitian pada 335 anak usia 18-60 bulan. Anak usia 42-48 bulan yang tantrum sebanyak 59 persen, diikuti usia 18-24 bulan sebanyak 87 persen dan yang tertinggi pada anak usia 30-36 bulan yaitu 91 persen.

Rata-rata, tantrum berlangsung selama setengah sampai satu menit. Sebanyak 75 persen kejadiannya berlangsung 5 menit atau lebih.

Durasi rata-rata tantrum pada anak usia 1 tahun adalah 2 menit, 4 menit untuk anak yang berusia 2-3 tahun, dan 5 menit pada anak yang berusia 4 tahun. Dalam seminggu, anak usia 1 tahun bisa mengalami 8 kali tantrum.

Header Diajeng Anak Tantrum

Header Diajeng Anak Tantrum. foto/IStockphoto

Frekuensinya naik menjadi 9 kali pada anak berusia 2 tahun. Lalu terus menurun menjadi 6 kali pada anak yang berusia 3 tahun, dan 5 kali pada anak yang berusia 4 tahun.

Penelitian tersebut menunjukkan, frekuensi tantrum pada anak akan berkurang selepas umur 3 tahun. Ketika itu, kemampuan verbal anak dikatakan mulai berkembang sehingga sudah lebih baik dalam mengekspresikan kemauannya.

Namun, meski lazim terjadi, harus pintar-pintar menyikapinya. Jika tidak, bisa-bisa tantrum menjadi perilaku berkelanjutan.

Menurut penelitian yang dipimpin oleh Elizabeth Daniels di Journal of the American Association of Nurse Practitioners (2012), sebanyak 5-20 persen anak-anak mengalami tantrum parah yang sering dan mengganggu. Tantrum mulai dianggap tidak normal ketika anak melukai diri sendiri, sampai membuat orang lain terluka, atau menghancurkan benda-benda.

Biasanya tantrum yang terjadi normal melanda anak usia 12 bulan hingga 4 tahun. Reaksi yang ditimbulkan adalah menangis, memukul lengan atau kaki, menjatuhkan diri ke lantai, mendorong, menarik, atau menggigit.

Durasi paling lama bisa mencapai 15 menit, dan terjadi kurang dari lima kali per hari. Setelah tantrum reda, suasana hati anak akan kembali normal seperti biasa.

Kita perlu meningkatkan kewaspadaan apabila tantrum anak berlanjut setelah usianya 4 tahun, anak mulai bereaksi berlebihan dengan menyakiti diri sendiri atau orang lain, durasi tantrum menjadi lebih dari 15 menit dan lebih dari lima kali per hari, atau jika suasana hati anak terus menerus buruk setelah tantrum.

Header Diajeng Anak Tantrum

Header Diajeng Anak Tantrum. foto/IStockphoto

Biasanya, ketika anak tantrum, orang tua cenderung kalah dan merayu anak agar mereka menghentikan aksi. Ada juga yang kemudian ikut-ikutan marah kepada anak sehingga menyebabkan tantrum kian menjadi. Hati-hati, ya, cara tersebut kurang tepat untuk menghentikan tantrum.

Psikolog pendiri organisasi layanan psikologi profesional Personal Growth, Ratih Ibrahim, menjelaskan, anak masih berada pada tahap belajar berekspresi ketika beranjak dari zona “bayi”. Semasa bayi, orientasinya hanya berpusat pada diri sendiri, sedangkan saat beranjak dari umur 4 tahun, ia harus sudah beradaptasi dengan banyak figur.

Saat itulah kecerdasan sosialnya muncul dan terdapat keinginan untuk mengaktualisasi diri. Di saat yang bersamaan, daya interaksi dan komunikasi anak masih berkembang. Kosakata yang dimiliki juga masih terbatas, sehingga anak kesulitan berekspresi.

“Ini yang membuatnya frustasi. Dan tantrum adalah manifestasi ekspresinya,” jelas Ratih.

Dengan tantrum, anak ingin menyatakan bahwa mereka butuh dilihat sehingga acap kali emosi yang diluapkan terlihat berlebihan. Istilah lainnya: cari perhatian alias caper.

Header Diajeng Anak Tantrum

Header Diajeng Anak Tantrum. foto/IStockphoto

Namun, kita sebagai orang tua tak perlu resah. Seiring berkembangnya regulasi emosi anak, tantrum akan semakin terkendali.

Lalu, sembari menunggu masa tantrum anak hilang, apa yang harus kita lakukan?

Menurut Ratih, pertama-tama orang tua harus mengetahui bahwa tantrum umum terjadi pada anak. Dengan begitu, akan muncul rasa empati dan orang tua tidak ikut-ikutan marah saat anak tantrum.

Selanjutnya, orang tua perlu mencari tahu penyebab tantrum untuk mengantisipasi kemungkinan tantrum berulang.

Tantrum biasanya lebih sering terjadi ketika anak lapar, lelah, atau sakit. Maka, antisipasi yang bisa kita lakukan adalah dengan menerapkan pola makan teratur pada anak, atau menjaga keseimbangan aktivitas dan waktu istirahatnya.

Jika terlanjur tantrum, kita perlu tetap tenang dan memberi ruang anak mengeluarkan emosi. Lalu mereka bisa tetap melanjutkan aktivitas yang sedang dikerjakan. Dalam kata lain, abaikan anak sampai ia menjadi lebih tenang.

Hindari terpancing emosi dan memukul anak, tapi juga jangan menyerah mengikuti kemauan anak. Sebab, saat orang tua menyerah, anak akan belajar kembali tantrum untuk meloloskan kemauannya.

Kita juga tak sebaiknya “menyogok” anak untuk menghentikan amukan. Sebab, dengan begitu, anak akan menganggap tantrum sebagai tindakan tepat untuk mendapatkan reward atau hadiah.

Dan yang terpenting, kita harus awasi anak agar tak sampai membahayakan diri sendiri.

“Setelah anak selesai tantrum, bisa ditenangkan, dipeluk. Lalu diajari cara ngomong yang tepat ketika menginginkan sesuatu," pungkas Ratih.

* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 2 September 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih