Memahami Tantrum pada Anak

Reporter: Aditya Widya Putri, tirto.id - 2 Sep 2017 08:11 WIB
Dibaca Normal 3 menit
Anak tantrum seringkali membikin pusing orangtua. Tapi, jangan panik. Ada cara untuk mengatasinya.
tirto.id - Bocah itu menangis tak henti-henti. Ia baru saja memukul seseorang, dan ibunya mengancam akan pergi jika si bocah tak kunjung minta maaf. Alih-alih membuatnya diam, amukan si bocah malah makin menjadi. Namun, selang beberapa menit, tangisnya mereda, ia pun sudah meminta maaf kepada orang yang dipukulnya.

Adegan tersebut terekam di dalam sebuah acara yang menampilkan kehidupan keluarga Raffi Ahmad - Nagita Slavina. Saat itu, anaknya, Rafathar mengamuk dan memukul orang-orang di sekitarnya. Nagita Slavina terlihat tidak terlalu meladeni amukan anaknya.

Tantrum seperti yang dilakukan oleh Rafathar, merupakan masalah umum anak-anak usia prasekolah. Ia biasanya dialami oleh anak-anak berumur 1-4 tahun. Pada taraf ini, anak belum bisa mengekspresikan keinginannya sehingga meluapkan dengan cara meronta, berteriak, menangis, menjerit, menghentakkan kedua kaki dan tangan ke lantai atau tanah.


Baca juga: Kisah Kiai Umar Solo Mendidik Santri Nakal

Ketika menghadapi kondisi ini, sebagai orang tua, Anda tak perlu khawatir, sebab tantrum umum terjadi pada anak. Hal ini tergambar dalam penelitian Potegal dan Davidson di tahun 2003 yang dilakukan pada 335 anak usia 18-60 bulan. Anak usia 18-24 bulan mengalami tantrum sebanyak 87 persen. Anak usia 30-36 bulan paling banyak mengalami tantrum, yakni sebanyak 91 persen, dan usia 42–48 bulan sebanyak 59 persen.

Rata-rata, tantrum berlangsung selama 0,5 sampai 1 menit. Sebanyak 75 persen kejadiannya berlangsung 5 menit atau lebih. Durasi rata-rata tantrum pada anak usia 1 tahun adalah 2 menit, 4 menit untuk anak yang berusia 2-3 tahun, dan 5 menit pada anak yang berusia 4 tahun. Dalam seminggu, anak usia 1 tahun bisa mengalami 8 kali tantrum.

Frekuensinya naik menjadi 9 kali pada anak berusia 2 tahun. Lalu terus menurun menjadi 6 kali pada anak yang berusia 3 tahun, dan 5 kali pada anak yang berusia 4 tahun. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa tantrum pada anak akan berkurang frekuensinya selepas umur 3 tahun. Ketika itu, kemampuan verbal anak dikatakan mulai berkembang sehingga sudah lebih baik dalam mengekspresikan kemauannya.

Baca juga: Bahasa-bahasa Daerah yang Hampir Punah

Namun, meski terjadi secara umum, orangtua harus pintar-pintar menyikapinya. Jika tidak, bisa-bisa tantrum menjadi perilaku berkelanjutan. Penelitian Daniels, dkk di tahun 2012 menyatakan sebanyak 5-20 persen anak-anak mengalami tantrum parah yang sering dan mengganggu. Tantrum mulai dianggap tidak normal ketika anak melukai diri sendiri atau orang lain terluka, atau menghancurkan benda-benda.

Biasanya, tantrum yang terjadi normal melanda anak usia 12 bulan hingga 4 tahun. Reaksi yang ditimbulkan adalah menangis, memukul lengan atau kaki, menjatuhkan diri ke lantai, mendorong, menarik, atau menggigit. Durasinya paling lama bisa mencapai 15 menit, dan terjadi kurang dari lima kali per hari. Setelah tantrum reda, suasana hati anak akan kembali normal seperti biasa.


Kewaspadaan orangtua perlu ditingkatkan apabila tantrum berlanjut setelah umur 4 tahun dan anak memunculkan reaksi berlebihan dengan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Juga jika durasi tantrum menjadi lebih dari 15 menit dan lebih dari lima kali per hari. Atau jika setelah tantrum suasana hati anak terus menerus buruk, tak langsung kembali normal.

Cara Mengatasi Tantrum

Biasanya, ketika anak tantrum, orangtua cenderung kalah dan merayu anak agar mereka menghentikan aksi. Ada juga yang kemudian ikut-ikutan marah kepada anak sehingga menyebabkan tantrum semakin menjadi. Hati-hati, cara tersebut tidak tepat untuk menghentikan tantrum.

Psikolog Ratih Ibrahim kepada Tirto menjelaskan, ketika beranjak dari zona “bayi”, anak masih berada pada tahap belajar berekspresi. Saat bayi, orientasinya hanya berpusat pada diri sendiri, sedangkan saat beranjak dari umur 4 tahun, ia harus sudah beradaptasi dengan banyak figur.

Saat itulah kecerdasan sosialnya muncul dan terdapat keinginan untuk mengaktualisasi diri. Di saat yang bersamaan, daya interaksi dan komunikasi anak masih berkembang. Kosakata yang dimiliki juga masih terbatas, sehingga anak kesulitan berekspresi.

“Ini yang membuatnya frustrasi. Dan tantrum adalah manisfestasi ekspresinya,” jelas Ratih.

Baca juga: Seberapa Besar Manfaat Dwibahasa untuk Anak-anak?

Dengan melakukan tantrum, anak ingin menyatakan bahwa mereka butuh dilihat sehingga seringkali emosi yang diluapkan terlihat berlebihan. Istilah lainnya: cari perhatian alias caper. Namun, para orangtua tak perlu resah, sebab seiring berkembangnya regulasi emosi anak, tantrum akan semakin terkendali.

Lalu sembari menunggu masa tantrum hilang, apa yang harus dilakukan orangtua?

Menurut Ratih, pertama-tama orangtua harus mengetahui bahwa tantrum umum terjadi pada anak. Dengan begitu, akan muncul rasa empati dan orangtua tidak ikut-ikutan marah saat anak tantrum. Selanjutnya, orangtua perlu mencari tahu penyebab tantrum untuk mengantisipasi kemungkinan tantrum berulang.

Biasanya, tantrum lebih sering terjadi ketika anak lapar, lelah, atau sakit. Maka, antisipasi yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pola makan teratur pada anak. Atau menjaga keseimbangan aktivitas dan waktu istirahat anak.

Baca juga: Ajaklah Anak-anak Mengenali Permainan Tradisional

Infografik Anak ibu tantrum


Jika terlanjur tantrum, orangtua perlu tetap tenang dan memberi ruang anak mengeluarkan emosi. Lalu mereka bisa tetap melanjutkan aktivitas yang sedang dikerjakan. Dalam kata lain, mengabaikan anak sampai ia menjadi lebih tenang.

Hindari terpancing emosi dan memukul anak, tapi juga jangan menyerah mengikuti kemauan anak. Sebab, saat orang tua menyerah, anak akan belajar kembali tantrum untuk meloloskan kemauannya. Orangtua juga dilarang “menyogok” anak untuk menghentikan amukan. Karena dengan begitu, anak akan memahami bahwa tantrum merupakan tindakan tepat untuk mendapatkan hadiah. Dan yang terpenting, awasi anak agar tak membahayakan diri sendiri.

“Setelah anak selesai tantrum, bisa ditenangkan, dipeluk. Lalu diajari cara ngomong yang tepat ketika menginginkan sesuatu," pungkas Ratih.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan menarik lainnya Aditya Widya Putri
(tirto.id - Pendidikan)

Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani

DarkLight