Menuju konten utama
11 April 1919

Negara Kapitalis di Balik Lahirnya Organisasi Buruh Internasional

Taut bersauh.
Buruh bersatu, cita-
cita berlabuh.

Negara Kapitalis di Balik Lahirnya Organisasi Buruh Internasional
Ilustrasi International Labour Organization. tirto.id/Gery

tirto.id - Franz Ferdinand, putra mahkotaImperium Austria-Hungaria, mati ditembak Gavrilo Princip pada 28 Juni 1914. Setelah hubungan Austro-Hungaria dengan Kerajaan Serbia—wilayah komplotan Princip berasal—merenggang, perang pun tak terhindarkan. Pada akhirnya, pertikaian dua kerajaan itu berujung Perang Dunia (PD) I.

Berjuluk "Perang untuk menghentikan semua perang", PD I melibatkan sebagian besar negara-negara Eropa, Rusia, Amerika Serikat (AS), Timur Tengah, dan daerah lain. Pihak yang bermusuhan terbagi dalam dua blok: Aksis (Jerman, Austria-Hongaria, Turki Utsmani) dan Sekutu (Perancis, Inggris, Rusia, Italia, Jepang, Amerika Serikat).

Berlangsung selama lebih dari empat tahun, Perang Dunia I usai pada 11 November 1918.

Syahdan, guna menciptakan perdamaian dan kestabilan, Sekutu yang menang atas Aksis menyelenggarakan Perjanjian Perdamaian pada Januari 1919 di Paris. Pertemuan itulah yang pada akhirnya melahirkan Traktat Versailles dan Liga Bangsa-Bangsa.

Dua bulan kemudian, pada 11 April 1919, tepat hari ini 99 tahun lalu, The International Labour Organisation (ILO) didirikan sebagai badan otonom dari Liga Bangsa-bangsa yang konstitusinya diambil dari Bab XIII Traktat Versailles.

Lahir dari Sekutu

Dalam History of The International Labour Organisation (1971), Antony Alcock menyebutkan, Konstitusi ILO dirancang Komisi Perburuhan yang terbentuk sebagai hasil Konferensi Perdamaian. Komisi Perburuhan punya 15 anggota yang berasal dari 9 negara.

Dari 9 negara tersebut, sebanyak 5 negara diperkenankan mengirim 2 orang. Mereka dikenal sebagai "Lima Besar" negara Sekutu, yakni AS, Inggris, Perancis, Italia, dan Jepang. Sedangkan empat negara lainnya, yakni Belgia, Kuba, Cekoslovakia, dan Polandia, diberi jatah mengirim 1 perwakilan.

Tokoh-tokoh yang menjadi perwakilan masing-masing negara itu adalah pegiat perburuhan di Eropa dan AS yang memiliki beragam latar belakang ideologi.

Misalnya Samuel Gompers, wakil dari AS. Dia adalah ketua American Federation of Labor (AF of L) yang kemudian didapuk sebagai Ketua Komisi Perburuhan.

Alcock mengatakan Gompers menentang sosialisme dan keterlibatan pemerintah dalam urusan buruh. Menurut Alcock, Gompers tidak menyadari sebentar lagi organisasi buruh internasional bakal didirikan dan berharap menemukan gerakan serikat buruh internasional yang baru.

"Ini mengarah pada paradoks pengembangan pekerja melalui kegiatan serikat buruh. Bertentangan dengan penyelesaian masalah kelas pekerja melalui undang-undang pemerintah. Juga bertentangan dengan jabatannya sebagai ketua Komisi Perburuhan yang bertujuan mendirikan organisasi yang didedikasikan untuk tindakan antar pemerintah," sebut Alcock (hlm. 27).

Sedangkan Edward Phelan, wakil dari Inggris, merupakan anggota Divisi Intelijen Kementerian Perburuhan Inggris. Memorandum yang ditulis Phelan banyak digunakan sebagai dasar diskusi Komisi Perburuhan. Sementara George Nicoll Barnes, wakil dari Inggris juga, adalah Ketua Partai Buruh sejak 1910.

Memang, selama Perang Dunia I berlangsung, banyak serikat buruh membuat pertemuan. Pertemuan itu beragam macamnya dilihat dari konteks negara asal serikat buruh penyelenggaranya. Victor-Yves Ghebali dalam The International Labour Organisation: A Case Study on the Evolution of UN Specialised Agencies (1989) mengatakan, usulan dan resolusi yang diambil dalam pertemuan tersebut memiliki tujuan dasar yang sama, meski berbeda dalam hal bahasa dan penekanan: penyisipan klausa sosial dan ketentuan pengaturan kerangka kerja institusional permanen dalam perjanjian damai.

Ada yang lingkup nasional, seperti AF of L yang menyelenggarakan Kongres Philadelphia pada November 1914. Ada pula yang lintas negara Sekutu, semisal Konferensi Leeds pada Juli 1916.

Setahun kemudian, Kongres Berne diselenggarakan pada Oktober 1917. Kongres tersebut mempertemukan serikat buruh dari negara-negara yang berperang dan netral. Lalu, pada Februari dan September 1918, anggota serikat buruh dan para sosialis negara-negara Sekutu bertemu dalam konferensi di London.

"Banyak ide yang diungkapkan dalam konteks itu kemudian menemukan jalan mereka ke dalam Konstitusi ILO," tambah Ghebali.

Selain itu, komposisi negara asal perwakilan pun menandakan hal lain: dominasi negara-negara Sekutu dalam perumusan dasar-dasar organisasi. Menurut Ghebali, Konstitusi ILO dipikirkan dan dielaborasi oleh Sekutu, sebagaimana Kovenan Liga Bangsa-bangsa.

Menurutnya, baik Swiss—yang netral alias tidak berpihak pada blok manapun dalam Perang Dunia I—atau Jerman tidak dapat memengaruhi rancangan pembentukan badan internasional tersebut.

"Perancis, dan khususnya Inggris Raya, dipandang sebagai arsitek utama (ILO)," ujar Ghebali.

infografik mozaik ilo

Tripartit ala ILO

ILO masuk sebagai badan internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak 1946 karena Liga Bangsa-bangsa dibubarkan pada 1945.

Badan Pengurus ILO dibentuk menggunakan sistem tripartit, yakni menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat buruh pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan. Ketiganya berbagi jatah, 2 suara untuk pemerintah, 1 suara untuk serikat buruh, dan 1 suara untuk organisasi pengusaha (Sistem 2-1-1).

Meski disebut ampuh untuk memoderasi beragam isu perburuhan, konsep tersebut awalnya sempat ditentang perwakilan AS dalam Komisi Perburuhan.

Sistem 2-1-1 pada awalnya diusulkan perwakilan Inggris. Ketika gagasan tersebut diajukan, Gompers menolak dengan alasan bahwa "veto pemerintah" tidak diperlukan. Parlemen nasional memiliki hak macam itu dan untuk memberikan kepercayaan kepada para pekerja mereka harus memiliki perwakilan yang sama dengan pemerintah.

Karena itu, Gompers menganjurkan sistem 1-1-1, yang memungkinkan pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat buruh memiliki suara sama.

"Gompers, seperti banyak perwakilan buruh lainnya (yang bertentangan dengan sosialis), khawatir pemerintah dan pengusaha akan bergabung melawan para pekerja," sebut Alcock.

Namun, sistem 1-1-1 pun tidak lebih baik untuk buruh. Dengan sistem itu, pengusaha hanya perlu mengamankan satu suara pemerintah untuk mendapatkan hak veto. Pada akhirnya, Komisi Perburuhan memutuskan untuk menggunakan sistem 2-1-1.

Baca juga artikel terkait GERAKAN BURUH atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan