tirto.id - Damiri, buruh di PT Daya Kobelco Construction Machinery Indonesia, semula bergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Ia menjadi Pimpinan Unit Kerja (PUK), tingkat terbawah dari rantai kerja induk serikat, yang membawahi satu pabrik. Salah satu tugasnya adalah berkeliling menarik anggota serikat membayar iuran sebesar 1 persen tiap upah buruh turun.
Sesudah terkumpul, 40 persen dari iuran anggota itu—biasanya sekitar Rp500 ribu—diserahkan kepada pengurus di tingkat kabupaten/kota atau biasa disebut cabang serikat. Di luar itu, ia dan rekannya masih harus mengeluarkan uang pribadi.
“Kita kalau ada masalah, pakai biaya sendiri. Bahkan, kita kalau setiap datang ke pimpinan cabang, bawa makanan. Kita pulangnya mesti ngamplopin, ngasih Rp100 ribu ke perangkatnya,” kata Damiri kepada Tirto.
Di pabriknya pernah muncul problem penurunan upah buruh. Perangkat organisasi di tingkat cabang turun untuk membantu perundingan dengan pihak manajemen pabrik. Mediasi gagal. Damiri dan rekannya diminta pengurus cabang menerima penurunan upah. Sesudahnya muncul masalah baru.
“Setelah advokasi itu selesai, ada kabar serikat di cabang justru minta duit. Padahal dari kami tidak ada yang minta,” ujarnya. Merasa risih, Damiri dan 21 rekannya keluar dari FSPMI dan mendirikan serikat pekerja baru di tingkatan PUK.
Cerita lain datang Saiful dan Dado, buruh di PT Nanbu Plastics Indonesia. Saiful ketua Pimpinan Unit Kerja dari FSPMI, sementara Dado aktif di bagian advokasi.
Pada 2012, mereka berhasil menggalang advokasi sehingga beberapa buruh harian dan kontrak diangkat jadi buruh tetap. Selain itu, mereka berhasil pula mengadvokasi buruh perempuan yang dilarang pabrik mengambil cuti hamil. Pada 2013, mereka berhasil menggolongkan pabrik tempatnya bekerja menjadi sektor I, yakni otomotif.
Setahun berikutnya mereka makin gigih dan rutin mengadvokasi buruh kontrak. Namun, mereka justru mendapat teguran dari perangkat cabang.
“Kamu jangan ngurusin buruh kontrak terus. Urus yang lain saja daripada nanti kamu digibeng perusahaan,” kata Saiful meniru teguran dari pengurus cabang FSPMI Bekasi kepada Tirto.
Berhubung mereka dihambat oleh induk serikat melakukan advokasi buruh kontrak, salah satu cara mereka ialah menyisihkan iuran anggota kepada buruh yang berakhir masa kontraknya.
Saiful memperlakukan serikat buruh bukan hanya diperlukan buat melakukan perundingan dengan pihak perusahaan dan pemerintah, melainkan lembaga sosial.
“Namun, ketika semakin banyak karyawan kontrak yang habis, teman-teman tergugah lagi untuk advokasi kembali,” ujarnya.
Masalah itu belum selesai. Pada tahun yang sama Saiful dan Dado mengupayakan advokasi mengenai permasalahan pajak. Ada beberapa buruh dengan upah yang sama tapi potongan pajak penghasilan mereka beragam. Dari Rp300 ribu hingga Rp700 ribu, bahkan THR juga dikenakan pajak. Sedangkan upah rata-rata buruh tahun itu antara Rp4 juta sampai Rp7 juta.
“Saat itu dia bertanya pada pimpinan cabang FSPMI, tapi tak ada yang paham soal kasus pajak,” kata Dado menyebut langkah Saiful.
Akhirnya Saiful belajar dari rekannya yang bekerja di bidang akuntansi. Ia lantas mengantongi data account representative perusahaan di Bekasi. Dari sana ia mengetahui rata-rata perusahaan di Bekasi bermasalah soal pelaporan pajak.
Saiful bolak-balik kantor pajak untuk meminta penjelasan mengenai potongan pajak di perusahaan. Hingga akhirnya upaya itu membuahkan hasil. Dari 2014 hingga sekarang, pajak penghasilan ditanggung perusahaan. Selain itu disepakati pula kenaikan tunjangan kehadiran dari Rp100 ribu menjadi Rp200 ribu/ bulan.
“Kami dipanggil pihak manajemen bahwa mereka mau mengabulkan tuntutan kita. Jadi pajak yang selama ini dipotong perusahaan dari upah buruhnya,” ujar Saiful.
Saiful melihat keterbatasan bila meneruskan bergabung dengan FSPMI. Ia pun keluar dari FSPMI dan mendirikan Serikat Buruh Bumi Manusia (Sebumi). Jumlah anggotanya sebanyak 270 buruh, tiga kali lipat dari anggota FSPMI yang sebelumnya mendominasi di tingkat pabrik.
Lewat Sebumi, Saiful dan rekan-rekannya menaksir keuntungan perusahaan dari data sales market. Dari sana Sebumi menuntut kenaikan gaji 10 persen dari keuntungan perusahaan. Mereka menang.
“Tembus 8 persen. Ini naiknya sampai Rp1,1 juta untuk level tertinggi. Upah tertinggi di Bekasi sampai Karawang itu ada di kami kenaikannya,” ujar Saiful, bangga.
Dado, yang turut menyeberang ke Sebumi, mengungkapkan buruh yang tetap bergabung dengan FSPMI ikut terkerek upahnya. “Mereka menikmati upaya dari Sebumi. Istilahnya numpang nasib,” ujarnya.
Belajar Advokasi pada Serikat yang lain
Christofan, buruh PT Fajar Surya Wisesa Tbk, menjadi pengurus bagian advokasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Tahun lalu, saat merumuskan besaran kenaikan upah yang harus dieksekusi perusahaan, Christofan bertanya mengenai metode skala upah yang dikombinasikan dengan tingkat keuntungan pabrik. Tapi pengurus tingkat cabang SPSI tak tahu.
“Jawabannya, tugas kalian untuk mencari sendiri,” ujar Christofan, yang berkata tak pernah mendapat pelatihan mempelajari pembukuan perusahaan dari SPSI. Ia lantas mempelajarinya dari Sebumi.
Meski SPSI ialah serikat buruh tertua di Indonesia, daya juang Pimpinan Unit Kerja ternyata lemah untuk menuntut kenaikan upah. Dampaknya, tahun lalu kenaikan gaji di perusahaan tempatnya bekerja tergolong rendah antara Rp309 ribu hingga Rp335 ribu, dan tahun ini penaikannya hanya Rp45 ribu.
“Internal kami fight-nya kurang,” Christofan menegaskan.
Ia kecewa karena pengurus tingkat cabang dan pusat lebih sering abai atas kasus buruh di tingkat basis. Padahal Pimpinan Unit Kerja tempatnya berorganisasi pernah mendapat piagam dari pengurus cabang Bekasi. Ini karena ia dan rekannya paling rajin bayar iuran bulanan anggota atau disebut Check Off System (COS).
Setiap bulan upah buruh yang jadi anggota SPSI dipotong secara otomatis oleh pihak pabrik sebesar 1 persen dari UMK. Dana ini dialirkan ke pengurus tingkat cabang.
“Total potongan per bulan anggota kami yang jumlahnya 1.700 orang, sekitar Rp60 juta,” ujarnya.
Bila ada pelatihan serikat oleh pengurus tingkat cabang atau pusat, anggota serikat dari tingkat basis yang ingin ikut kegiatan tersebut akan ditanggung biayanya melalui dana internal Pimpinan Unit Kerja, di luar akomodasi. Biaya itu salah satunya untuk membayar registrasi. Besarnya beragam, antara Rp250 ribu dan Rp1 juta.
Pada 2012, SPSI sempat bergejolak. Mereka mempertanyakan ke mana saja alokasi dana kas cabang dan pusat sementara advokasi serikat ke tingkat basis kurang intens. Gugatan anggota serikat ini dibiarkan menguap.
“Gara-gara itu ada PHK, represi. Akhirnya sampai sekarang masih tidak tahu. Jadi ada ketakutan atau trauma untuk mempertanyakan itu,” ujar Christofan.
“Saya sudah 7 tahun ikut SPSI, belum pernah tahu uang kas pusat dan tidak pernah ada laporan alokasinya buat apa. Anggota SPSI di PUK mengeluhkan masalah itu,” imbuhnya.
Ia dan rekannya kerap curiga soal hubungan perangkat SPSI dan manajemen perusahaan. Sebab, katanya, ada pengurus SPSI yang keluar lalu menjadi supervisor perusahaan. “Serikat jadi batu loncatan saja,” Christofan menyimpulkan.
Dihantam Kriminalisasi
Saiful dan Dado pernah dikriminalisasi oleh PT Nanbu Plastics Indonesia di pengujung November 2015. Mereka dijerat pasal pidana pencemaran nama baik dengan ancaman penjara maksimal 6 tahun.
Menurut cerita Saiful, kasus itu bermula dari Sebumi memperjuangkan nasib Kartini, buruh perempuan PT Nanbu yang melaporkan perusahaan ke Dinas Tenaga Kerja atas kasus pelanggaran penempatan buruh kontrak. Saat perselisihan hubungan industrial ini belum beres, pihak perusahaan justru mengakhiri kontrak kerja Kartini.
Saiful menuturkan, Kartini diseret keluar dari PT Nanbu oleh dua satpam dan pihak HRD. Tapi Kartini berhasil lolos. Ia lari ketakutan menuju sekretariat Sebumi di area pabrik.
“Pintu sekretariat didobrak sama HRD. Sampai di lobi, anak perempuan itu dipaksa buka seragam. Itu tidak sopan sama sekali. Akhirnya kami antarkan keluar dengan baik-baik,” ujar Saiful.
Tak terima dengan perlakukan pada rekannya, Saiful dan Dado menuliskan peristiwa itu melalui status Facebook. Tak terima, manajemen PT Nanbu menuduh keduanya melakukan pencemaran nama baik dan melaporkan keduanya ke kepolisian resort Kabupaten Bekasi.
“Saya disuruh mundur dari serikat lalu gabung di manajemen, saya tolak," kata Saiful. "Top manajemen minta maaf dan lawyernya sudah dipecat. Saya minta pernyataan tertulis tapi dia tidak mau.”
Pada saat bersamaan, serikat buruh di Bekasi menggalang solidaritas bagi buruh kontrak di sejumlah pabrik.
Salah satunya di PT Hi-Tech Ink Indonesia, anak perusahaan besar dari Jepang, Dainichiseika Color Chemicals. Perusahaan ini melakukan PHK terhadap lima buruh yang menjadi anggota Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia. Mereka adalah Ahmad Hasib, Dian Sudiawanto, Mujiyo, Muslimin, dan Rusidi.
Kelima buruh ini mempersoalkan penempatan buruh kontrak PT Hi-Tech yang melanggar undang-undang Ketenagakerjaan. Imbasnya, mereka di-PHK. Kelimanya telah bekerja antara 2 sampai 3 tahun di bagian produksi.
Hingga kini nasib mereka terkatung-katung. Mujiyo, misalnya, terdata oleh HRD dalam daftar hitam perusahaan di Bekasi. Ia tak bisa bekerja di pabrik-pabrik kawasan industri Bekasi.
__________
Naskah direvisi pada 3 Mei, pukul 07:19. Keliru menulis bahwa biaya pelatihan serikat ditanggung oleh uang pribadi anggota. Seharusnya, yang tepat, ditanggung lewat mekanisme dana internal Pimpinan Unit Kerja di tingkat basis.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam