Menuju konten utama
Hanif Dhakiri:

"Yang Berpikir soal Pemagangan Begini-Begitu, itu Katrok!"

Praktik magang di pabrik-pabrik kawasan industri dipakai oleh agen penyalur tenaga kerja buat menyuapi perusahaan menerapkan upah murah, sambil memeras tenaga kerja, di bawah rezim pasar buruh fleksibel.

Avatar Manaker Hanif Dhakiri. Tirto/Sabit

tirto.id - Suara Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri meninggi ketika ditanya mengenai praktik magang di tempat kerja dijadikan celah oleh para pengusaha buat membayar upah murah. Ia bahkan mengumpat dengan kata “katrok”, alias norak, berkali-kali saat kami minta pendapatnya soal praktik pemerasan dalam pasar tenaga kerja lewat skema pemagangan seperti yang kami temui di kawasan industri Bekasi, Jawa Barat.

“Nanti kalau ada serikat buruh yang berpikiran soal pemagangan begini-begitu, itu katrok! Itu katrok banget,” kata Hanif usai mengisi acara bertajuk 'Nusantara Mengaji' di kawasan industri MM2100 di daerah Cikarang Barat, Jumat pekan lalu.

Sejak Hanif mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 36/2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, revisi atas aturan yang sama tahun 2009, praktik magang bagi para pencari kerja terus menggurita di pabrik-pabrik kawasan industri.

Lewat pihak ketiga yang disebut lembaga pelatihan kerja, perusahaan melakukan kontrak “pemagangan” tetapi praktiknya adalah menyalurkan tenaga kerja. Praktik magang, yang memang diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan lewat pasal 21-30, dibikin selentur mungkin demi menekan biaya produksi perusahaan dengan memeras tenaga “peserta magang”.

Alih-alih sebagai mekanisme menyiapkan calon tenaga kerja terampil dan matang sehingga mudah terserap dunia kerja, skema pemagangan lewat agen penyalur tenaga kerja ini dijadikan perusahaan sebagai cara termudah mendapatkan buruh dengan upah murah, di bawah upah minimum kabupaten/ kota (UMK) dan regional (UMR). Para pelamar dipungut biaya dalam proses rekrutmen dan dimintai uang pelicin.

Para pekerja magang bahkan disuruh bekerja lembur buat mencapai target produksi perusahaan—yang melanggar pasal 18 dalam peraturan menteri tersebut.

Praktik magang yang kami temui dalam reportase di kawasan industri Bekasi ini menjadi kelanjutan dari beragam status buruh yang terlucuti hak-haknya, termasuk jaminan kesehatan, yang mendorong mereka bekerja dalam situasi rentan.

Beragam status ini misalnya sebagai buruh harian lepas, buruh borongan, buruh masa percobaan dan magang, buruh paruh waktu, buruh kontrak dan outsourcing. Tenaga mereka diisap—tak ubahnya seperti perbudakan—dan jadi santapan empuk para majikan. Masa muda mereka dirampas di pabrik dan masa depannya dihancurkan oleh sistem pasar tenaga kerja fleksibel.

Saat kami mengonfirmasi sejumlah kenyataan harian yang dihadapi para buruh yang kami temui di lapangan, Hanif Dhakiri—menteri kabinet Joko Widodo dari Partai Kebangkitan Bangsa—berkata ogah-ogahan atas kritik terhadap persoalan tenaga kerja yang jadi wewenangnya.

“Ya sudah, kalau saya simpel saja, dunia (kerja) ini lagi susah,” ujarnya.

Apa problem perburuhan yang dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja?

Ya umum saja. Umum itu artinya sama seperti isu-isu perburuhan pada umumnya. Misalnya kasus-kasus pelanggaran norma, perselisihan—ya semacam itulah.

Bagaimana dengan pemagangan yang lantas dijadikan celah oleh pengusaha buat mengupah murah para buruh?

Yang kaya begitu tidak usah dikhawatirkan yang berlebihan. Segala sesuatu itu—misalnya yang namanya sapu, sapu itu bisa dipakai untuk nyapu tapi juga bisa dipakai buat gebuk orang juga bisa, tapi tergantung dengan cara pandangannya. Nah, pemerintah melakukan pemagangan justru ingin mempercepat (angkatan kerja), wong faktanya (tenaga kerja magang) lulusan sekolah dasar dan SMP, kok.

Siapa yang (mau) jawab: Sekarang 60 persen lulusan SD dan SMP mau dikemanakan? Disuruh sekolah lagi ketuaan, disuruh kuliah tidak punya ijazah SMA, mau kerja enggak punya keterampilan, mau wirausaha tidak punya modal; terus mau kusuruh apa dia? Nah, kita bantu dia, agar dia punya keterampilan, dengan magang itu. Tidak perlu sekolah, tidak harus sekolah lagi, tapi dia punya kompetensi, sehingga punya instrumen ke pasar kerja atau bisa juga dipakai untuk berwirausaha.

Tapi skema pemagangan ini dijadikan celah oleh perusahaan sehingga buruh, berlawanan dari peraturan yang Anda teken, dipaksa menyandang status magang?

Ya pengawasan kan ada.

Bentuk pengawasannya seperti apa?

Ini kan baru berjalan, teman-teman juga bisa memonitor dan mereka juga bisa ikut mengawasi.

Peraturan menteri soal magang ini direvisi di masa Anda karena disebutkan di situ “tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan … sehingga perlu disempurnakan.” Maksud “tidak sesuai” ini bagaimana?

Di dunia (industri) ini ada pemagangan semua. Nanti kalau ada serikat buruh yang berpikiran soal pemagangan begini-begitu, itu (namanya) katrok! Itu katrok banget. Jadi bukalah kepala, bagaimana melihat realitas kita, bagaimana melihat dinamika pasar kerja. Keterampilan kita harus cepat berubah karena dinamika pasar kerja juga berubah.

Saya kasih contoh. Ada pekerjaan yang namanya pengantar surat di kantor pos. Sekarang kamu tidak suka menulis surat, nulisnya melalui WhatsApp atau sosial media, jadi pekerjaan pengantar surat hilang. Mau tidak mau, suka tidak suka, pertanyaannya yang dulunya jadi pengantar surat mau kerja apa? Nah, ini makanya harus cepat pelatihannya, berarti harus beralih profesi, harus latihan, berarti harus lewat pemagangan.

Di aturan soal magang ini yang disebut “peserta magang” adalah para pencari kerja, praktiknya kemudian diperas oleh perusahaan?

Pemagangan ini memang bukan hanya diperuntukkan untuk anak sekolah saja, tetapi mereka yang menganggur, pencari kerja boleh.

Namun mestinya praktik magang buat praktik kerja lapangan?

Oh enggak, itu kan menurut kamu, itu tadi kekatrokannya. Pemagangan itu bagian dari sistem pelatihan, bukan sekadar seperti anak sekolah, lalu magang—tidak. Pemagangan itu adalah proses pelatihan dengan skema tertentu yang menghasilkan angkatan kerja yang lebih kompeten.

Bagaimana jika ada pelanggaran dalam skema magang?

Kalau soal pelanggaran, kan ada serikat buruh, serikat pekerja. Jangan lupa ada komite advokasi pemagangan, isinya pemerintah daerah, kemudian ada Kepala Dinas, Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan ada serikat pekerja. Nah mereka kan berguna di situ, ada di komite advokasi.

Temuan kami justru peserta magang dipindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain?

Kalau di aturan kita itu tidak bisa.

Itu yang kami temui di lapangan.

Jangan dipukul rata. Kasus ada. Jangan dipukul rata, jangan dipukul rata. Kita ini terlalu hobi memukul rata. Ada masalah sedikit seolah terjadi se-Indonesia. Pokoknya, intinya, ada pengawasan, dan ada serikat pekerja terlibat.

Bagaimana jika ada perusahaan yang melanggar?

Ya kita kembalikan ke aturannya. Di aturan ketenagakerjaan pasti ada sanksinya, sekarang pelanggarannya seperti apa?

Ambil contoh, anak magang kan tidak boleh bekerja lembur. Tapi, menurut saya, ini harus dilihat secara positif. Jangan jadi bangsa penakut, jangan jadi bangsa cemen. Jadi kalau ada apa-apa sedikit, kita sudahi begini. Pemerintah tidak akan bisa bergerak, kita ini apa sih yang tidak dikritik?

Ya sudah. Buat kita ini sudah dihitung kok, dan ini memang cara kita untuk membuat angkatan kerja yang lulusan SD dan SMP tadi bisa memiliki kompetensi. Poinnya di situ.

Bagaimana soal status buruh harian yang menyalahi aturan tenaga kerja?

Ya sudah, kalau saya simpel saja, dunia (kerja) ini lagi susah. Kalau buat saya, yang penting hari ini orang kerja dulu, sambil kita terus dorong agar kerjanya lebih berkualitas, agar pendapatannya terus meningkat dan lain sebagainya. Tetapi jika ada pelanggaran, tentu ada mekanisme pembinaan, mekanisme penegakan hukum dan seterusnya.

Ada lembaga pelatihan kerja (LPK) yang justru perannya sebagai agen penyalur tenaga kerja dan memotong gaji buruh?

Justru pemagangan ini yang tidak setuju adalah LPK. Karena selama ini mereka begitu kan, yang enggak benar begitu. Justru dengan pemagangan ini, yang kaya begitu malah jadi hilang.

Tetapi skema pemagangan ini dijadikan LPK untuk mendistribusikan tenaga kerja dan pabrik membayarnya dengan upah murah?

Ya sudah, jangan berasumsi, laporkan kepada saya, mana?

Ada tiga agen penyalur tenaga kerja yang kami tengarai melakukan pola menyalurkan tenaga kerja ke kawasan pabrik?

Ya sudah kirim ke saya, kirim dokumennya, karena ini kewenangan provinsi, nanti saya akan surati provinsi biar nanti ditindak. Jadi biar kita bicaranya tidak berandai-andai terus, capek kalau berandai-andai terus.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna & Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna & Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam