Menuju konten utama
Rara Sekar Larasati:

"Naskah Akademik RUU Permusikan Patut Dipertanyakan"

Jika musik sebagai seni juga adalah suatu hal yang subyektif, ujar Rara Sekar, siapa yang akan berhak menentukan standar?

Rara Sekar Larasati. tirto.id/Lugas

tirto.id - RUU Permusikan yang sudah tersebar di internet dikritik oleh banyak musisi karena berpotensi melahirkan banyak masalah baru—di antaranya kriminalisasi ke musisi. Sebagian musisi juga mengkritik bahwa RUU ini sudah cacat sejak naskah akademiknya.

Salah satunya Rara Sekar Larasati. Musisi sekaligus pengajar ini mengkritik atas naskah akademik RUU Permusikan (151 halaman, PDF) yang dinilai tak jelas referensi akademiknya. Menurutnya, logika berpikir yang tidak runut dan ketidaksinambungan argumentasi di dalam naskah yang melandasi RUU Permusikan (30 halaman, PDF) patut dipertanyakan kesahihannya secara ilmiah.

Apa saja kesalahan-kesalahan krusial dalam naskah akademik tersebut? Haris Prabowo, reporter Tirto, mewawancarai Rara Sekar Larasati via surel pada 31 Januari 2019. Berikut petikannya.

Bagaimana kamu menilai naskah akademik RUU Permusikan?

Pertama-tama, sepertinya tim yang membuat naskah akademik tidak memiliki latar belakang penelitian khusus maupun pengalaman di bidang musik. Contoh saja: Sali Susiana, sebagai ketua tim kerja penyusunan naskah, memiliki latar belakang studi kemasyarakatan, studi khusus gender.

Meskipun musik bisa dikaji dari perspektif gender, tapi mengacu pada RUU ini, tujuan naskah akademik bukan untuk mengurai permasalahan gender dalam industri musik. Pemilihan anggota tim penyusun menjadi dipertanyakan terutama perihal kompetensinya.

Kedua, hal paling krusial untuk dikritisi dalam naskah ini adalah ada ketidaksinambungan antara apa yang tim sebut sebagai “latar belakang masalah” dengan “identifikasi masalah” atau research questions dan kerangka teoretis yang mendukungnya.

Beberapa contoh saja. Latar belakang masalah yang diajukan oleh tim penulis berupa; a) ketidakseimbangan perkembangan musik modern dan tradisi, b) mengacu pada identifikasi masalah pertama, maka perlu standardisasi pemasukan agar musisi tradisional bisa setara dengan musik modern/industri pop, c) standardisasi profesi musisi agar menentukan rate/fee yang bisa menyejahterakan pelaku musik, d) apresiasi musik tradisi yang masih minim, e) pengarsipan karya musik yang belum optimal, f) pendidikan musik yang tidak merata.

Tapi, apabila ditelisik beberapa latar belakang masalah, research question dan pendekatan teoretisnya, ada beberapa kejanggalan yang dapat ditemukan di dalam naskah akademik ini.

Apa saja kejanggalannya?

Pertanyaan penelitian pertama seperti, “Bagaimana perkembangan teori tentang permusikan dan bagaimana praktik empiris tentang permusikan?” Dan, “Apakah bisa diaplikasikan dalam bentuk perundang-undangan?”

Lihat halaman empat belas. Pertanyaan saya, hubungan pertanyaan penelitian dan latar belakang masalah apa? Tidak ada kesinambungan di antaranya. Apakah penjelasan ‘teoretis’ tentang jenis-jenis genre musik, misalnya, dapat menjawab bagaimana permasalahan 1-6 dan diaplikasikan dalam bentuk perundang-undangan? Kalaupun bisa mendukung, saya rasa tidak dijabarkan dengan baik, runut, dan akademik di teks ini.

Sedangkan, usulan untuk pertanyaan penelitian adalah faktor-faktor apa saja yang membedakan perkembangan musik modern/industri pop dengan musik tradisi di Indonesia? Bagaimana definisi perkembangan/ekosistem musik yang ideal/dapat menyejahterakan pelaku musik, baik untuk industri musik modern maupun tradisi?

Terkait kondisi hukum yang sudah ada tentang permusikan, saya setuju sekali dengan pernyataan Cholil Mahmud [Efek Rumah Kaca] dan Herry "Ucok" Sutresna, RUU ini berpotensi menciptakan tumpang tindih/disharmonisasi dengan UU yang sudah ada.

“Apa landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari RUU ini?”

Lihat halaman 14. Penjelasan landasan sosiologis, misalnya, halaman 126-128, berdiskusi dengan Ben Laksana yang juga seorang sosiolog, bagian ini hanya pengulangan materi yang sudah ditulis di latar belakang masalah. Tidak ada sumber atau studi-studi akademik yang mendukung pernyataan-pernyataan/argumentasi “sosiologis” tim penulis.

Contohnya di halaman 126, “sebagai bentuk industri, musik dalam masyarakat telah berubah fungsi dan bertransformasi dalam berbagai jenis, sesuai dengan komunitas dan budaya yang memengaruhinya, termasuk pengaruh budaya asing. Musik sejenis ini dalam masyarakat disebut sebagai musik modern (kontemporer) atau pop culture.”

Menurut Ben, asumsi ini tidak tepat karena tim penulis seperti beranggapan bahwa musik tradisi tidak dipengaruhi oleh budaya asing (India, Arab, Tiongkok, dll). Cukup memprihatinkan sebagai teks akademik yang mengaku memiliki landasan sosiologis tapi tidak didukung dengan referensi akademik yang tepat.

Berikutnya, atau latar belakang masalah ketiga, “belum ada standardisasi pelaku musik, sehingga belum jelas batasan siapa yang disebut sebagai pelaku musik dan bukan pelaku musik. Oleh karena itu, perlu diatur mengenai definisi pelaku musik beserta kualifikasinya, bahkan sertifikasi pelaku musik untuk meningkatkan profesionalisme sesuai dengan kebutuhan dan zaman”. [Lihat halaman 3.]

Tidak ada penjelasan atau referensi ke studi-studi akademik sebelumnya yang membuktikan tidak ada standardisasi definisi pelaku musik adalah sebuah permasalahan. Kalaupun memang ini sebuah permasalahan yang mempengaruhi kesejahteraan “pelaku musik”, ada kekosongan argumentasi/logika dan ketidaksinambungan dengan latar belakang masalah di dalam naskah ini.

Apakah standardisasi yang ditentukan oleh pemerintah dalam mengatur apresiasi/pemasukan/nilai profesionalisme pelaku musik itu tepat sasaran? Apa yang tim penulis maksud dengan “kebutuhan dan zaman” hari ini? Mengapa bukan karya/output musik dan bagaimana musik tersebut dimaknai oleh masyarakat yang menjadi tolok ukur?

Lagi pula, jika musik sebagai seni juga adalah suatu hal yang subyektif, maka siapa yang akan berhak menentukan standar ini? Dan apa karena standardisasi yang tidak tepat sasaran, kita justru akan menghancurkan subyektivitas dalam seni?

Jadi memang banyak masalah dalam naskah akademik RUU Permusikan?

Kalau mengacu kembali pada draf RUU Permusikan, pada akhirnya, pertanyaan besarnya adalah: apa hubungannya antara Pasal 5 & 50 (terkait pengaturan dan pelarangan dalam proses kreasi musik) dan Pasal 32 tentang uji kompetensi, dengan penyelesaian isu kesenjangan perkembangan musik modern dan tradisi, pembajakan, apresiasi terhadap masyarakat dan pemerintah terhadap musik, pengarsipan musik yang baik, pendidikan musik yang merata dan pemajuan kebudayaan secara menyeluruh?

Hal ini saya rasa tidak terjawab dengan baik di dalam naskah akademik ini. Justru saya merasa sebagai seorang musisi, pengekangan terhadap proses kreasi dan konten musik dapat membatasi perkembangan musik itu sendiri.

Belum lagi Pasal 5 & 50 adalah pasal karet. Dengan basis Ketentuan Pidana, halaman 143, yang problematis, seperti tertuang di dalam naskah akademik ini yang menyatakan, “Rancangan Undang-Undang tentang Permusikan ini hendaknya mengatur pula mengenai ketentuan sanksi pidana untuk memastikan alternatif efektifitas berlakunya norma yang tidak dipatuhi. Sanksi dikenakan terhadap mereka yang memproduksi karya musik yang mengandung unsur dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; penonjolan pornografi; provokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antar suku, antar ras, dan/atau antar golongan; penistaan, pelecehan, penodaan nilai-nilai agama; atau pengaruh negatif budaya asing, dan/atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Ketentuan ini untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif karya musik.”

Seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, peraturan seperti ini rawan disalahgunakan oleh siapa pun yang memiliki kepentingan atas kekuasaan.

Seperti kata Cholil, interpretasi aparat, misalnya, terhadap karya musik, tidak selalu sama dengan pembuat lagu. Pemidanaan seperti ini adalah bentuk-bentuk untuk merepresi masyarakat dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Suatu upaya pengawasan, penyensoran dan pengaturan yang menjadi ciri khas pemerintahan yang otoriter, anti-kritik, tidak demokratis dan kontra-produktif terhadap harapan mulianya untuk memajukan pelaku musik di Indonesia.

Ada tambahan mengenai naskah akademik?

Catatan kecil tapi penting, secara keseluruhan, teks ini juga mempunyai daftar pustaka dan referensi akademik yang cukup problematis.

Contohnya saja di bagian Pembajakan, halaman 90-91, tidak ada sumber atau referensi data. Seperti tulisan yang mengalir bebas saja. Ini memprihatinkan sebagai teks akademik.

Lalu, di dalam kajian teoretis tentang musik, salah satunya menggunakan sumber dari situs Blogspot yang dikutip dari makalah murid SMK [lihat halaman 21].

Saya rasa, ketidakjelasan referensi akademik, logika berpikir yang tidak runut dan ketidaksinambungan argumentasi di dalam naskah yang melandasi RUU Permusikan ini patut dipertanyakan kesahihannya secara ilmiah.

Terlebih, naskah akademik seharusnya bisa diakses dengan mudah oleh publik, dipertanggungjawabkan dan diuji kepada publik, dibuka untuk diskusi agar pada akhirnya tidak menyesatkan publik yang menjadi korban dari perundang-undangan yang tidak tepat sasaran.

Melihat kualitas naskah akademik seperti ini, saya jadi mempertanyakan, bagaimana kualitas naskah-naskah akademik lain yang melandasi undang-undang di Indonesia?

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Indepth
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Fahri Salam