Menuju konten utama

Nasib Warga Miskin di Lapis Piramida Terbawah Korban Duterte

Dalihnya menciptakan stabilitas, tapi, ditempuh dengan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang. Korbannya? Lagi-lagi masyarakat kelas bawah.

Nasib Warga Miskin di Lapis Piramida Terbawah Korban Duterte
Polisi menangkap orang-orang yang dianggap sebagai pengganggu keamanan, sehari setelah presiden Filipina Duterte meluncurkan kebijakan anti-"tambay." The Star/Edd Gumban

tirto.id - Di bawah Duterte, kehidupan sehari-hari di Filipina adalah pertaruhan. Anda mungkin bakal sulit punya harapan untuk menjalani aktivitas dengan aman, damai, dan tenang. Usai membabat habis siapapun yang diduga terlibat peredaran narkoba, kali ini Duterte kembali memunculkan kontroversi dengan menarget para gelandangan karena dianggap menganggu ketertiban masyarakat.

Al Jazeera melaporkan, sejak kebijakan ini diterbitkan pada awal Juni silam, sebanyak hampir 10 ribu orang telah diciduk aparat dan dijebloskan ke dalam penjara. Mereka yang ditangkap sebagian besar tinggal di kawasan padat dan kumuh di wilayah metropolitan (Manila dan kota besar lainnya) di Filipina. Tak cuma pria, anak-anak dan perempuan juga seringkali masuk daftar penangkapan. Mereka disebut “tambay” dan sama-sama ditangkap dengan alasan, seperti kata Duterte, “berpotensi jadi masalah bagi publik.”

Yang dimaksud Duterte dengan “berpotensi jadi masalah bagi publik” di sini ialah tatkala mereka keluyuran di jalanan pada malam hari tanpa alasan yang jelas, mabuk-mabukan, buang air kecil di tempat umum, dan yang agak konyol: berkeliaran telanjang dada. Karena, dalam imajinasi Duterte, orang-orang yang melakukan aktivitas semacam itu punya kemungkinan besar untuk berlaku kriminal; terlibat pelecehan seksual, mencuri, hingga memperkosa.

“Apa yang ingin kami tekankan di sini adalah tujuan untuk menciptakan atmosfer yang aman,” klaim Joselito Esquivel, kepala polisi dari distrik pinggiran Manila. “Kami mencoba untuk menegakkan keadilan terhadap kejahatan macam berkeliaran setengah telanjang, buang air kecil di depan umum, atau minum-minum di jalanan.”

Akibat aksi tangkap ini, Duterte kebanjiran kritik. Ia dianggap menciduk masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas dan melanggar hak asasi. Selain itu, masifnya penangkapan (sebagai contoh kepolisian di distrik Novaliches setiap malamnya menciduk sekitar 50 orang) turut melahirkan permasalahan baru seperti penuhnya kapasitas penjara hingga rentannya anak-anak terhadap pelecehan karena banyak dari mereka yang disatukan dengan tahanan dewasa yang sebetulnya dilarang keras oleh undang-undang Filipina.

Bantahan tentu saja keluar dari mulut Duterte. Ia menolak jika kebijakannya disebut bertujuan untuk menangkapi orang-orang di jalanan secara sembrono. Klaimnya, ia tidak memerintahkan penangkapan melainkan “penggeledahan.” Ia juga berdalih bahwa anak-anak tidak ditahan di penjara, tetapi diserahkan ke Departemen Kesejahteraan Sosial Filipina untuk dibina. Selain itu, ia meyakini kebijakannya sudah sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung.

“Saya tidak pernah mengatakan ‘ditangkap.’ Tetapi, jika Anda minum-minum di gang, di daerah penghuni liar, dan membuat keributan di luar sana, Anda bakal benar-benar tertangkap,” jelas Duterte.

Duterte menegaskan, apa yang ditempuhnya ini merupakan langkah untuk “menjamin keamanan seluruh negeri.” Ia ingin Filipina terhindar dari segala tindak kejahatan, seperti Davao City yang pernah ia pimpin selama dua dekade.

“Jika saya dapat meniru [keamanan] Davao di seantero negeri, kita akan merasa nyaman. Itulah jenis kehidupan yang saya inginkan untuk setiap orang Filipina. Anda bisa berkeliling kota tanpa merasa khawatir,” katanya. “Jalanan bukan untuk pejahat seperti kalian, dasar anak-anak sundal! Jangan menunjukkan diri karena Anda tidak punya hak untuk jalan-jalan, dan jika saya melihat Anda, saya akan menangkap Anda dan itu akan menjadi perjalanan terakhir Anda.”

(Kembali) Menyasar Orang Miskin

Kebijakan “anti-gelandangan” ini sempat menimbulkan kemarahan publik tatkala pria berusia 25 tahun, Genesis Argoncillo, meninggal saat ditahan polisi. Argoncillo ditangkap pada 16 Juni silam di depan sebuah toko karena kedapatan tidak memakai baju. Ia lalu ditahan polisi bersama 130 pria lainnya di sel yang sebetulnya hanya muat untuk enam orang.

Tak lama kemudian, Argoncillo tewas. Polisi menyebut tewasnya Argoncillo disebabkan oleh sesak napas. Namun, hasil forensik membuktikan bahwa ia tewas dengan tubuh yang penuh luka dan memar. “Dia ditangkap dan dibunuh karena tidak mengenakan baju malam itu,” jelas Jane Azuelo, saudara perempuan Argoncillo. “Apakah itu benar-benar kejahatan?”

Penangkapan tanpa dasar legalitas yang jelas dan menyasar orang-orang marginal merupakan poin kritikan yang ditujukan pada Duterte dengan kebijakan anti-gelandangannya ini. Tak berhenti sampai situ saja, Human Rights Watch mencatat, setelah ditahan, mereka ditempatkan dalam sel penjara yang penuh sesak dengan kondisi kebersihan yang buruk serta tak manusiawi.

Penumpukan tersebut membuat mereka berada dalam situasi yang riskan bagi kesehatan karena kurangnya makanan, saringan udara, perawatan tubuh, sampai fasilitas toilet. Akibatnya, penyakit macam tuberkulosis, infeksi kulit, diare, dan sepsis merajalela di antara tahanan. Belum lagi, para tahanan juga kerap mengalami penyiksaan serta bentuk perlakuan yang sewenang-wenang dari penjaga lapas, seperti yang dialami Argoncillo pada pertengahan Juni kemarin.

Manila boleh saja mengklaim kebijakan itu ditempuh untuk “membuat aman masyarakat.” Tapi, yang perlu dicatat, kebijakan ini menyasar mereka yang hidup dengan kondisi serba tidak menguntungkan baik secara ekonomi maupun sosial. Mereka adalah orang-orang miskin yang tinggal di kawasan kumuh dan padat di daerah metropolitan.

Rumah mereka sempit dan tidak layak huni. Dengan situasi tersebut, mereka sering keluar rumah tanpa mengenakan baju maupun kumpul-kumpul bersama orang lain guna minum-minum sebagai imbas dari kondisi hidup mereka yang tak beruntung. Tapi, bagi pemerintah, mereka yang berlaku semacam itu justru dianggap kriminal dan mendapatkan perlakuan intimidatif dari aparat berwenang.

“Polisi Filipina sedang melakukan kampanye ‘pencegahan kejahatan’ yang pada dasarnya memenjarakan warga Filipina berpenghasilan rendah saat mereka sedang berada di tempat umum,” kata Phelim Kine, Wakil Direktur HRW Asia. “Kampanye ini mengancam masyarakat untuk kembali trauma setelah sebelumnya diteror oleh eksekusi ‘perang narkoba’ yang mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan mereka.”

Aksi sapu bersih ‘gelandangan’ ini mirip dengan kebijakan perang melawan narkoba yang digaungkan Duterte sejak menjabat sebagai orang nomor satu di Filipina. Lewat kampanye tersebut, politikus yang pernah menjabat Walikota Davao ini mulus menduduki Istana Malacanang. Tak lama selepas dilantik pada 30 Juni 2016, kebijakan “perang melawan narkoba” diterapkan dan darah pun mengalir di jalan-jalan Manila dan kota-kota lainnya.

Dalam menempuh kebijakannya, presiden ke-16 tersebut mengabaikan prosedur hukum dengan memberlakukan eksekusi tanpa pengadilan atau “tembak di tempat” kepada mereka yang melawan. Itu memicu dampak buruk: banyak kelompok vigilante di seluruh Filipina mengikuti praktik pembunuhan. Mereka memburu para pengedar dan pengguna narkoba layaknya serangga.

Berdasarkan klaim Kepolisian Nasional Filipina dan Badan Penegakan Obat Filipina, ada 1,2 juta pengguna narkoba dan sekitar 90 ribu bandar narkoba diringkus di bawah kebijakan teror tersebut. Transaksi narkoba diakui berkurang 26 persen dan tingkat kriminalitas turun 29 persen. Sementara menurut Badan Informasi Filipina, jumlah warga sipil yang tewas dalam operasi resmi maupun aksi brutal kelompok vigilante menyentuh angka 5.617 jiwa. Dari sisi aparat keamanan: 68 personel tewas dan 184 lain luka-luka.

Kebijakan brutal “perang melawan narkoba” Duterte tak pelak sering salah sasaran. Kasus paling terkenal adalah yang menimpa Kian Delos Santos, seorang siswa sekolah menengah, yang tewas oleh polisi pada Agustus 2017 dan memicu protes warga. Terdesak, Duterte mengakui ada kesalahan dalam operasi tersebut dan memerintahkan kepolisian untuk merombak struktur kelembagaannya.

Ada pola lazim usai pembunuhan: mayat dibiarkan tergeletak, polisi datang terlambat ke lokasi kejadian, dan para pewarta mengambil gambar dari berbagai sisi untuk diunggah ke situs berita masing-masing. Masyarakat sudah paham bila ada kerumunan dan mayat tergeletak, kesimpulannya satu: ia pengguna atau bandar narkoba.

Infografik Ketika Duterte Menangkap Orang Miskin

Bukan kali ini Duterte bertindak kejam dengan dalih “memberantas kejahatan.” Semasa menjabat walikota Davao, kota paling padat di pulau Mindanao, ia melakukan hal serupa. Lewat Regu Pembunuh Davao (Davao Death Squad/DDS) yang dihidupkannya lagi, Duterte tak hanya menghabisi satu per satu para pengedar dan pengguna narkoba, tapi juga anak jalanan yang dianggap “meresahkan.”

Dalam laporan Human Rights Watch pada April 2009, “You Can Die Any Time: Death Squad Killings Mindano,” selama medio 1990-an hingga 2009 ada lebih dari seribu orang dieksekusi mati oleh DDS, kebanyakan ditembak dan ditusuk pisau tajam. Dalam operasinya, DDS mendapat bantuan dari kepolisian dalam pasokan senjata dan daftar orang-orang yang mesti dibunuh.

Meluasnya pembunuhan berdalih pemberantasan narkoba ironisnya tak dibarengi pembenahan institusi kepolisian, yang menempati urutan pertama sebagai lembaga pemerintah terkorup. Selain itu, pernah ada kasus dua personel polisi menjadi tersangka dalam penculikan dan pembunuhan Jee Ick-joo, pengusaha asal Korea Selatan, pada bulan Oktober 2016. Jose Antonio Custodio, sejarawan militer Filipina, mengatakan kesalahan utama pemerintahan Duterte adalah gagal berupaya secara serius menekan korupsi di kepolisian.

Kebijakan memberantas narkoba, sebagaimana ditulis Luke Hunt dalam "Duterte's Wars Aren't Working for the Philippines" yang terbit di The Diplomat, dinilai tidak akan pernah berhasil karena ia hanya memberantas masalah di permukaan, tanpa menyusuri pemasok, dan celakanya malah menyebabkan kematian ribuan orang. Cesar Gaviria, yang pernah menjabat Presiden Kolombia (1990-1994), meminta Duterte tak melakukan kesalahan seperti yang dilakoninya saat memerangi bandar narkoba di Kolombia. Menurut Gaviria, menerjunkan banyak pasukan bersenjata untuk memberantas narkoba hanya membuang banyak uang, selain memperburuk situasi.

Duterte kerap berkata bahwa perangnya menyasar pengedar narkoba kelas berat. Namun, dalam penelusuran HRW yang sering menjadi korban adalah orang-orang dari kalangan kelas bawah. Pada akhirnya banyak yang menilai bahwa perang Duterte ini tak ubahnya perang kelas: lewat tangan polisi atau kelompok preman bersenjata, orang-orang kelas atas memburu kaum miskin dan melakukan prosedur salah tangkap bagi kalangan kelas menengah.

Pada akhirnya, Duterte rupanya tak pernah belajar dari kebijakannya terdahulu. Ia terus membabat habis masyarakat miskin dengan dalih “menciptakan keamanan negara.” Pertanyaannya: sampai kapan?

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Hukum
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf