tirto.id - Presiden Joko Widodo bakal merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 yang mengatur Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal ini sebagai upaya lanjutan pelonggaran 54 bidang usaha yang mendapat relaksasi dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XVI yang diumumkan, Jumat lalu (16/11).
Tujuannya untuk mendongkrak pertumbuhan investasi dan menjaga aliran dana asing masuk ke Indonesia. Kebijakan ini memungkinkan penanaman modal asing (PMA), yang sebelumnya harus bermitra dengan UKM atau koperasi, bisa berjalan tanpa kemitraan dan 100 persen PMA.
Kebijakan relaksasi ini dikeluarkan di tengah lemahnya minat investasi asing di Indonesia. Berdasarkan cacatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada Januari-September 2018 investasi asing hanya mencapai Rp293,7 triliun atau hanya 61,5% dari target Rp477,4 triliun.
Kondisi itu diperparah dengan perekonomian Indonesia yang tengah mengalami tekanan. Defisit transaksi berjalan (CAD) pada triwulan III mencapai 3,37% dari Produksi Domestik Bruto (PDB) dan diperkirakan terus melebar akibat jebloknya neraca dagang Oktober lalu.
Dalam diskusi bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan relaksasi DNI memang tidak akan langsung menekan laju pelebaran CAD. Namun dalam jangka pendek, kebijakan itu diharapkan mampu membuat para pemilik modal membawa dananya masuk ke Indonesia.
"Kami mengharapkan, dikombinasikan dengan kebijakan BI [menaikkan suku bunga acuan], relaksasi DNI dapat memberikan kepercayaan pada pemilik dana untuk masuk ke Indonesia," kata Darmin, Jumat malam.
Namun demikian, Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Ikhsan Ingratubun mengatakan kebijakan relaksasi DNI yang mempermudah investasi asing membuat para pelaku UMKM merasa khawatir. Ke-54 bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI bisa merambah ke sektor UMKM yang seharusnya mendapat dukungan pemerintah.
Ikhsan mencontohkan sektor industri padat karya seperti pengupasan umbi-umbian dan percetakan kain. Jika sektor ini dibuka 100% untuk PMA, Ikhsan khawatir UMKM akan kalah saing.
Alasannya, investasi asing punya kecenderungan menggunakan mesin, padahal dua industri ini dicadangkan khusus untuk UMKM sesuai Perpres 44/2016 supaya menyerap tenaga kerja cukup banyak.
Ia berharap dua industri tersebut tidak dilepas 100%, melainkan tetap bermitra dengan UMKM. Ini penting supaya usaha tersebut nantinya tetap bisa bertahan dan bahkan naik kelas karena ada transfer pengetahuan.
"Kami berpandangan relaksasi bisa dilakukan. Namun harus tetap bermitra dengan UMKM atau asosiasi dan organisasi yang membina UMKM di Indonesia," kata dia kepada reporter Tirto.
Ikhsan juga menyebut pemerintah pernah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid III yang salah satu isinya mendorong usaha produktif dan padat karya lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jika tujuan pemerintah mendorong penguatan UMKM, kata Ikhsan, seharusnya skema investasi dengan kemitraan tidak dihilangkan.
"Kebijakan itu mengatakan memperkuat usaha besar dengan usaha mikro kecil dan menengah. Pertanyaannya, apa iya kalau enggak diharuskan bermitra?" kata Ikhsan.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian, Bambang Adi Winarso mengatakan tidak semua bidang usaha akan dilepas untuk PMA 100%.
Menurutnya, sejumlah industri yang hanya dilonggarkan dari yang sebelumnya dicadangkan untuk UMKM menjadi dibuka untuk investasi dengan syarat kemitraan. Namun, ia enggan merinci industri apa saja yang dibuka 100% dan dibuka dengan syarat kemitraan karena masih mungkin berubah sebelum revisi Perpres diteken Presiden Jokowi.
"Iya kemungkinan ada [perubahan]. Tapi mudah-mudahan tidak [berubah]. Kalau pun berubah itu satu-dua, karena, kan, [pembahasannya] sudah intensif ini," kata Bambang.
Staf khusus Kemenko Perekonomian Edy Putra Irwandi meminta pelaku UMKM tidak khawatir dengan relaksasi beberapa bidang usaha untuk 100% PMA. Menurutnya, modal asing tak menyasar pasar industri UMKM yang skalanya kecil.
"UMKM itu kalau pakai definisi [umum] itu, kan, usaha yang modalnya tak lebih dari Rp10 miliar. Sedangkan PMA harus di atas itu. Jauh lebih dari Rp10 miliar. Jadi skalanya, level of playing field-nya beda,” kata Edy di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat lalu.
Sebaliknya, Edy berkata PMA ini bakal membuat industri kecil naik kelas karena ada transfer teknologi dan pengembangan jaringan pasar.
"Laporan Bank Dunia yang mensurvei 500 CEO global corporation, mengatakan kalau keuntungan UMKM yang naiknya 20 kali lipat di dalam 20 tahun adalah UMKM yang bergaul dengan asing. Di mana contohnya? Turki, Brazil, Vietnam," kata Edy mengklaim.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz