tirto.id - Saefudin Yono akhirnya bisa bernafas lega. Setelah berputar-putar di sekitaran Jakarta selama 4 jam, pria berumur 49 tahun yang bekerja sebagai pengemudi Taksi Express tersebut berhasil mendapatkan pelanggan pertamanya hari itu.
“Sejak keluar dari pool jam 7 pagi, baru mas yang jadi penumpang saya. Sumpah mas enggak bohong. Ini aja (keset kaki mobil) masih bersih,” katanya kepada Tirto.
Lelaki asal Indramayu ini mengaku bisnis taksi saat ini sudah tidak seperti dulu lagi. Mencari penumpang betul-betul harus kerja keras, dari pagi sampai malam. Dengan usianya saat ini, ia mengaku agak kewalahan.
Sulitnya mencari penumpang juga membuat penghasilan Saefudin menjadi tak menentu. Jika biasanya ia menyetorkan uang ke kampung setiap pekan, kini sudah sampai 3 pekan, dirinya belum menyetorkan uang.
“Di Express, saya sudah bekerja sejak 1992. Pernah kepikiran untuk ganti kerja. Cuma saya bisanya jadi pengemudi taksi. Jadi yah terpaksa jalanin ini (jadi pengemudi taksi),” jelasnya.
Sejak taksi dan ojek online hadir pada 2015, persaingan menggaet penumpang semakin ketat, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Angkutan umum, seperti taksi yang sudah ada lebih dulu, mau tidak mau harus bersaing dengan angkutan online.
Tarif taksi online yang lebih murah membuat operator taksi konvensional kesulitan bersaing. Apalagi, taksi online menawarkan berbagai kemudahan kepada konsumen. Imbasnya, taksi konvensional yang beredar juga kian jarang. Sebaliknya, jumlah taksi online terus meningkat.
Menurut data Organda, jumlah taksi per 2018 tercatat 9.700 unit dari sebelumnya sebanyak 25.550 unit. Pada saat yang sama, jumlah pengemudi taksi online sebanyak 170.000 orang, itu pun hanya dari satu perusahaan penyedia aplikasi.
Situasi booming taksi online pada akhirnya tidak hanya membuat Saefudin kesusahan, tetapi juga perusahaan yang menaunginya, PT Express Transindo Utama Tbk. Operator taksi milik Grup Rajawali ini diketahui merugi dalam 3 tahun terakhir ini.
Pada 2014, Express masih membukukan laba bersih senilai Rp119 miliar. Tahun selanjutnya, laba Express menciut tinggal sebesar Rp34 miliar seiring dengan kehadiran angkutan online, baik dari taksi maupun ojek.
2015 menjadi tahun terakhir Express mencatatkan laba. Setelah itu, Express mengalami reli merugi secara berturut-turut. Pada 2018, perseroan membukukan rugi Rp837 miliar (PDF), atau naik 4 kali lipat dari rugi yang ditorehkan pada 2016 sebesar Rp185 miliar.
Tren tersebut juga masih berlanjut hingga kuartal pertama tahun ini. Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan, Express membukukan rugi senilai Rp42 miliar atau turun 61 persen dari rugi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp109 miliar.
Tekanan Utang Hingga Jual Aset
Kesulitan perusahaan meraup untung selama tiga tahun berturut-turut pada akhirnya membuat roda bisnis menjadi limbung. Apalagi, perseroan memiliki utang yang wajib dibayar. Alhasil, untuk pertama kalinya, perseroan gagal membayar bunga utang tepat waktu.
Bunga utang yang gagal dibayar tepat waktu itu adalah utang Obligasi Express I/2014 senilai Rp1 triliun. Kala itu, utang obligasi itu digunakan untuk membeli kendaraan, tanah, bangunan dan sarana pendukung lainnya.
Kegagalan perseroan membayar bunga mulai terjadi saat pembayaran bunga (PDF) ke-15 yang jatuh tempo pada Maret 2018. Perseroan kembali gagal membayar bunga untuk pembayaran ke-16 dan pembayaran ke-17 utang Obligasi Express I/2014.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Express lantas mengusulkan restrukturisasi utang Obligasi Express I/2014, termasuk bunga tertunggak pada 3 September 2018. Meski begitu, pemegang saham kala itu belum setuju.
“Perseroan masih mengupayakan agar kesepakatan dengan pemegang obligasi atas usulan restrukturisasi utang obligasi bisa tercapai,” kata Megawati Affan, Sekretaris Perusahaan PT Express Transindo Utama Tbk. pada 25 September 2018.
Namun, rencana perseroan itu kalah cepat dengan krediturnya. Pada 6 Desember 2018, Dana Pensiun Mitra Krakatau mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Usulan restrukturisasi utang Obligasi Express I/2014 sendiri baru disetujui pada 11 Desember 2018. Beruntung bagi Express, Dana Pensiun Mitra Krakatau pada akhirnya mau mencabut permohonan PKPU-nya pada 3 Januari 2019. Perseroan pun lolos dari ancaman bangkrut.
Dalam membayar utang Obligasi Express I/2014, perseroan nantinya akan menukarkan utang obligasi itu menjadi saham baru perseroan tanpa hak memesan efek terlebih dahulu dengan nilai nominal mencapai Rp1 triliun.
Dengan aksi korporasi itu, kepemilikan saham PT Rajawali Corpora di Express akan terdilusi dari sebelumnya 51 persen menjadi tinggal 13,76 persen. Alhasil, pemegang saham mayoritas Express adalah pemegang Obligasi I/2014 sekitar 73 persen.
Tak hanya surat utang, perseroan juga kesulitan untuk membayar utang tepat waktu kepada perbankan, yakni BCA. Gara-gara itu, perseroan beberapa kali menjual asetnya berupa tanah dan infrastrukturnya.
Sepanjang tahun berjalan ini, perseroan sudah dua kali melepas asetnya demi melunasi sebagian utang perseroan kepada BCA yang jatuh tempo. Adapun, utang perseroan ke BCA per 31 Maret 2019 seluruhnya mencapai Rp302,76 miliar.
Pertama, pada 11 Januari 2019, perseroan menjual 6 bidang tanah di Kota Bekasi senilai Rp112,15 miliar. Kedua, pada 23 Januari 2019, perseroan menyerahkan dua bidang tanah yang berlokasi di Tangerang, Banten senilai Rp43,44 miliar.
Tak hanya aset tanah dan bangunan saja yang dijual, perseroan dikabarkan juga akan menjual armadanya. “Masih belum [lunas], masih ada [utang ke BCA], jadi masih ada penjualan unit, sekitar 1.200 kendaraan,” tutur Megawati dikutip dari Bisnis.
Menyusutnya jumlah armada sebenarnya bukan hal baru. Jumlah armada perseroan memang terus menyusut belakangan ini, terutama taksi reguler. Pada 2016, jumlah taksi reguler masih di atas 7.000 unit. Hingga akhir 2018, jumlahnya tinggal 6.600 unit.
Menciutnya jumlah armada juga sejalan dengan menurunnya jumlah karyawan. Pada 2016, karyawan yang bekerja di Express mencapai 1.960 orang, terdiri dari 834 karyawan tetap dan 1.126 karyawan kontrak. Hingga akhir 2018, jumlah karyawan tinggal 714 orang.
Rencana perseroan mengurangi armadanya jelas menjadi sinyal kurang bagus bagi prospek Express ke depannya. Bagaimanapun, taksi adalah salah satu motor perseroan dalam mencari pundi-pundi pendapatan.
“Jika 1.200 unit itu benar-benar dijual, dan tidak ada penggantinya. Tentu ini menjadi sinyal yang kurang bagus karena perseroan bakal sulit menggenjot pendapatan ke depannya,” jelas Analis Panin Sekuritas William Hartanto kepada Tirto.
Namun, Direktur Investama Saran Mandiri Hans Kwee menilai apa yang dilakukan Express justru sudah cukup tepat. Menurutnya, membayar kewajiban/utang adalah hal yang prioritas untuk segera dilakukan.
“Menjual tanah dan bangunan saya kira lumrah saja. Karena bukan core bisnisnya. Jika aset itu tidak produktif lebih baik dijual untuk kepentingan yang lain. Dalam konteks Express, menyelamatkan kelangsungan usaha,” katanya kepada Tirto.
Di sisi lain, pengurangan armada juga tidak serta merta dinilai sebagai menjadi langkah yang tidak tepat. Pasalnya, mengurangi armada juga bisa mengurangi nilai beban usaha yang harus ditanggung perseroan.
Selain itu, menjalankan bisnis transportasi juga sebenarnya tidak terlalu tergantung dengan kepemilikan armada. Bisa saja, Express mengambil model yang serupa seperti Go-Jek atau Grab, di mana menggandeng pengemudi pribadi sebagai mitra Express.
“Saya pikir prospek bisnis taksi ke depannya masih cerah. Apalagi, persaingan dengan taksi online terutama soal harga juga tidak seketat dulu. Sekarang, tarif yang ditawarkan tidak beda jauh antara konvensional dengan online,” jelas Hans.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti