tirto.id - Pandemi COVID-19 memukul sektor transportasi dengan sangat parah. Salah satunya adalah bisnis taksi konvensional. Dua perusahaan pengelola taksi yang sama-sama tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yakni PT Blue Bird Tbk (BIRD) dan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) melaporkan dampak pandemi COVID-19 terhadap bisnis mereka.
Blue Bird dan Express sama-sama mengaku terkenda dampak akibat pandemi COVID-19. Namun, jika dibuat perbandingan, kondisi Express jauh lebih buruk dibandingkan dengan Blue Bird.
Dalam keterbukaan informasinya kepada BEI, manjemen Blue Bird mengaku terganggu oleh COVID-19. “Berdampak pada penghentian operasional sebagian,” jelas manajemen Blue Bird melalui penjelasan dampak COVID-19 periode Juni 2020 kepada BEI, seperti dikutip Tirto, Selasa (16/6/2020).
Sejauh ini, Blue Bird menghentikan sementara layanan JAC dan Big Bird Shuttle Jakarta-Bandung. Layanan ini memberikan kontribusi kurang dari 25% dari total pendapatan Blue Bird pada tahun 2019.
Pandemi diperkirakan mengurangi pendapatan Blue Bird tahun 2020 sebesar 25% hingga 50%. Sementara laba bersihnya diperkirakan mengalami penurunan lebih dari 75%. Tahun 2019, Blue Bird mencatat pendapatan sebesar Rp4,04 triliun, dengan laba bersih sebesar Rp314,56 miliar.
Blue Bird tercatat memiliki 3.547 karyawan, dan selama periode Januari hingga Juni 2020 belum ada yang di PHK. Namun, Blue Bird mengakui ada 3.312 karyawan terkena dampak efisiensi yang beragam mulai dari pemotongan gaji, penyesuaian shift atau jam kerja, dll.
Dalam menghadapi pandemi COVID-19, Blue Bird mengambil sejumlah langkah yakni mengadakan kesepakatan dengan para kreditur untuk memperoleh relaksasi dalam pembayaran pokok utang. Blue Bird juga menciptakan peluang bisnis baru selain bisnis yang sudah ada, efisiensi di berbagai lini operasi.
Proyeksi kinerja yang kurang menggembirakan terefleksi pada harga saham Blue Bird. Pada Senin (15/6), harga saham Blue Bird hanya berada di kisaran Rp1.130 per saham. Sejak awal tahun 2020, harga saham Blue Bird memang sudah mengalami tekanan, dan sempat berada di titik terendah pada 18 Mei sebesar Rp755 per lembar. Harga ini sangat jauh dibandingkan harga penawaran perdana Blue Bird Sebesar Rp6.500 per saham, saat IPO November 2014 lalu.
Express Semakin Tertekan
Nasib lebih buruk dialami oleh taksi Expres. Dalam keterbukaan informasinya bulan Juni, manajemen Expres mengaku masih mengalami tekanan akibat pandemi COVID-19. Operasional perusahaan harus terhenti akibat pandemi.
Terhentinya kegiatan operasional itu diperkirakan berdampak pada pengurangan pendapatan perseroan sekitar 51% hingga 75% jika dibandingkan total pendapatan tahun 2019. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2019, TAXI meraup pendapatan sebesar Rp134,251 miliar, turun dibandingkan pendapatan tahun 2018 sebesar Rp241,663 miliar.
Manajemen TAXI juga menjelaskan, pandemi COVID-19 berdampak pada pemenuhan kewajiban pokok utang, yang senilai Rp685 miliar.
Kendati demikian, manajemen TAXI menegaskan tidak ada karyawan yang di-PHK ataupun dirumahkan. Namun, 390 karyawannya terkena dampak efisiensi seperti pemotongan gaji hingga 50%, dll.
Harga saham TAXI sejak 1 Mei 2019 sudah berada di jajaran “Emiten Gocap” alias saham-saham dengan harga Rp50. Harga saham tertinggi TAXI pernah berada di Rp 1.780 pada 10 Februari 2014. Pada bulan-bulan terakhir tahun 2015 mengalami penurunan tajam. Tepatnya ketika bisnis taksi online mulai marak. Memasuki Januari 2016, harga saham TAXI sudah terpuruk di kisaran Rp100. Sejak itu, harga saham TAXI terus memburuk, hingga akhirnya dalam satu tahun terakhir masuk di jajaran emiten gocap.
Editor: Abdul Aziz