tirto.id - Suara sirine melengking di Kantor Pusat Blue Bird di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Senin (22/04/2019). Sirene berbunyi bukan karena ada kebakaran atau bencana, tapi sebagai tanda Blue Bird meluncurkan taksi listrik, sekaligus menjadi taksi listrik pertama di Indonesia.
Sejumlah menteri tampak hadir di kantor Blue Bird, antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Binsar Panjaitan, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Usai bunyi sirine mereda, Direktur PT Blue Bird Tbk, Adrianto Djokosoetono mengajak kedua menteri, yakni Luhut dan Budi Karya untuk melihat-lihat mobil listrik, sambil menerangkan fitur-fitur yang ada pada mobil.
Wajah Luhut dan Budi Karya sepanjang acara terlihat sumringah. Luhut pun sempat duduk di kursi pengendara, ditemani Adrianto. Budi Karya juga terlihat mengangguk-angguk, mirip calon pembeli yang sedang menimbang untuk membeli mobil.
“Andre (panggilan Adrianto), ini saya bangga, di Indonesia sudah begini canggih. Saya pikir, ayo kita juga bangga terhadap karya anak bangsa yang berani melakukan ini [menghadirkan taksi mobil listrik],” kata Luhut.
Dalam acara peluncuran itu, Blue Bird memperkenalkan dua jenis mobil listrik, yakni BYD e6 A/T (buatan Cina), dan Tesla model x 75D A/T (buatan AS). Untuk langkah awal, Blue Bird memboyong 25 unit BYD e6 dan 4 unit Tesla model x 75/D.
Rencana Blue Bird untuk menghadirkan mobil listrik kemarin hanya langkah awal saja. Jika tidak ada aral melintang, perseroan akan menambah jumlah mobil listrik sampai 200 unit pada 2020, dan menambah lagi sampai 2.000 unit dalam rentang 2020-2025.
Untuk memboyong 29 unit mobil listrik itu, Blue Bird merogoh kocek sebesar Rp40 miliar. Angka itu juga sudah termasuk instalasi dan infrastruktur 12 Stasiun Pengisian Listrik (SPL) yang terpasang di Kantor Pusat Blue Bird Group.
Sentimen Positif Buat Blue Bird
Beberapa tahun belakangan ini, pemberitaan mengenai bisnis taksi cenderung negatif. Bagaimana tidak, kehadiran transportasi online yang menawarkan tarif lebih murah kian menjamur, dan membuat redup bisnis taksi konvensional.
Di Jabodetabek, banyak perusahaan taksi yang harus gulung tikar. Dari 32 perusahaan taksi, tinggal empat perusahaan taksi yang masih ada seperti Blue Bird, Express, Gamya, dan Taxiku. Jumlah armada taksi konvensional yang beredar juga kian menyusut.
Satu-satunya perusahaan taksi konvensional yang relatif masih kuat hanya Blue Bird. Sebagai perusahaan yang sudah berdiri sejak 46 tahun yang lalu, kinerja keuangan Blue Bird terlihat masih baik, meski dalam tren menurun.
Pada 2015, Blue Bird membukukan laba bersih hingga Rp829 miliar, sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Namun, kemunculan transportasi online setelah itu, membuat laba perseroan pelan-pelan tergerus. Pada 2018, laba bersih Blue Bird hanya Rp460 miliar.
Tekanan dari bisnis transportasi online yang kian menjamur juga membuat harga saham Blue Bird ikut anjlok. Pada akhir 2015, saham Blue Bird masih Rp6.925 per saham, dan turun terus hingga ke level Rp2.870 per saham pada awal 2019.
Namun, pada kuartal pertama tahun ini, sentimen pasar terhadap Blue Bird mulai membaik, terutama ketika ada kabar bahwa Blue Bird berencana berinvestasi di mobil listrik, serta laba bersih perseroan yang mulai tumbuh.
Mengutip Kompas, kabar Blue Bird akan mendatangkan mobil listrik terungkap dari direksi PLN pada akhir Januari 2019. Sejak saat itu, harga saham Blue Bird melesat. Dari Rp2.680 per saham menjadi Rp3.370 pada 22 April 2019, atau naik 26 persen. Apalagi setelah acara peluncuran taksi listrik, pada Selasa (23/4) harga saham Blue Bird sempat loncat ke level Rp3.400
Bukan tanpa sebab, pasar modal merespons positif rencana Blue Bird untuk berinvestasi mobil listrik. Mobil listrik selama ini digadang-gadang lebih hemat biaya bahan bakar ketimbang mobil BBM.
Sebagai perusahaan taksi yang banyak merogoh kocek untuk pengeluaran konsumsi BBM, upaya-upaya untuk menekan biaya bahan bakar tentu jadi sentimen positif bagi fundamental bisnis Blue Bird. Biaya bahan bakar Blue Bird pada 2018 mencapai Rp799 miliar atau 22 persen dari total beban langsung dan usaha perseroan sebesar Rp3,66 triliun.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meyakini biaya operasional taksi listrik akan lebih murah ketimbang BBM. Apalagi, ada promo dari PT PLN untuk isi ulang baterai pada pukul 22.00-04.00 WIB. Dengan promo itu, beban bahan bakar taksi listrik hanya 40 persen dari beban taksi BBM.
“Saya kira seperti itu, yang jelas operasional [taksi listrik] lebih murah ketimbang [pakai] bahan bakar [BBM]. Apalagi ada diskon [isi ulang baterai],” katanya.
Biaya bahan bakar yang turun hingga 60 persen jelas sangat signifikan. Biaya konsumsi BBM Blue Bird tahun lalu saja sebesar Rp799 miliar. Jika biaya bahan bakar turun 60 persen, maka potensi uang yang dihemat bisa mencapai Rp479 miliar.
Tentu, perhitungan itu masih kasar mengingat asumsi yang dipakai apabila seluruh armada BBM digantikan menjadi kendaraan listrik. Armada Blue Bird tidak hanya taksi saja, tapi juga ada bus, limosin dan kendaraan lainnya. Artinya masih butuh waktu bagi Blue Bird untuk mencapai efisiensi seperti hitungan di atas kertas tadi.
Namun, Direktur PT Blue Bird Tbk, Adrianto Djokosoetono tidak sependapat. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Organda ini menilai, armada mobil listrik tidak langsung dapat mengurangi beban operasional perseroan. Pasalnya, nilai investasi mobil listrik saat ini lebih mahal ketimbang mobil taksi BBM.
“Belum lagi harus membangun infrastrukturnya, seperti Stasiun Penyediaan Listrik (SPL). Itu juga enggak sedikit uang yang harus dikeluarkan. Jadi, belum tentu juga beban operasional bisa ditekan dengan mobil listrik ini,” jelasnya kepada Tirto.
Harga mobil listrik memang tidak murah. Untuk BYD e6 misalnya, berada di kisaran Rp649 juta-Rp775 juta (asumsi kurs Rp2.096 per yuan). Sementara harga Tesla model x 75D sekitar Rp1,45 miliar (asumsi kurs Rp18.324 per poundsterling). Bandingkan dengan mobil Blue Bird yang ada seperti Mobilio atau Avanza transmover yang harganya Rp200 jutaan. Bahkan, taksi Mercedez-Benz C200 saja sekitar Rp800 jutaan.
Managing Director Head of Equity Capital Markets PT Samuel International Harry Su juga sependapat dengan Adrianto. Menurutnya, pengaruh mobil listrik terhadap kinerja keuangan perseroan tidaklah besar.
“Armada Blue Bird saat ini 36.000-an. Kalau diganti 2.000 unit pun dampaknya enggak besar. Saya lihat justru dari kompetisinya dengan transportasi online, di mana mulai berkurang sejak Uber tidak ada lagi, dan Blue Bird bekerjasama dengan Go-Jek,” jelasnya kepada Tirto.
Dampak adanya armada mobil listrik belum bisa dipastikan terhadap kinerja perusahaan taksi, tapi upaya mengganti mobil BBM menjadi mobil listrik berpotensi memberikan profit yang lebih besar dengan adanya efisiensi jangka panjang bagi perusahaan taksi macam Blue Bird.
Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan akademisi dari University of Waterloo Canada, yakni Tommy Carpenter, Andrew R. Curtis dan S. Keshav dengan judul “The Return on Investment for Taxi Companies Transitioning to Electric Vehicles” (PDF).
Korporasi yang diteliti dari penelitian itu adalah perusahaan taksi Yellow Cab San Francisco untuk periode Mei-Juni 2008. Dari hasil penelitiannya, mobil listrik ternyata lebih profitable ketimbang mobil BBM.
“Meski taksi BBM dan taksi listrik sama-sama memberikan profit, investasi di taksi listrik justru lebih baik. Apalagi harga minyak juga lebih volatile ketimbang listrik,” tulis penelitian itu.
Dalam konteks Blue Bird, perseroan mematok jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan taksi listrik, yakni 2.000 unit sampai 2025. Dengan investasi yang tidak sedikit tersebut, sulit tak mengatakan bahwa investasi besar-besaran Blue Bird itu demi tetap bertahan di era taksi online yang serba efisien, dan taksi listrik adalah jawabannya.
Editor: Suhendra