Menuju konten utama

Blue Bird Rambah Bisnis Shuttle, Bersiap Tinggalkan Taksi?

Blue Bird mengeluarkan dana Rp115 miliar demi mengakuisisi Cititrans.

Blue Bird Rambah Bisnis Shuttle, Bersiap Tinggalkan Taksi?
Perusahaan Taxi Blue Bird konvoi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Antara Foto/Try MH

tirto.id - Di tengah pro dan kontra dampak negatif pembangunan jalan tol, keberadaan infrastruktur ini di sisi lain menciptakan peluang baru. Keberadaan tol membuka peluang bagi pebisnis, termasuk PT Blue Bird Tbk. Perusahaan taksi ini mulai terjun ke bisnis antar jemput atau shuttle Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).

Pada keterbukaan informasi pada Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan berlogo burung biru ini membeli Cititrans, operator shuttle AKAP pada 1 Maret 2019 dari PT Citra Tiara Global.

Pembelian Cititrans dilakukan oleh PT Trans Antar Nusabird, anak usaha Blue Bird senilai Rp115 miliar, meliputi aset-aset kendaraan, hak kekayaan intelektual, perjanjian dengan pihak ketiga, karyawan kunci, pengemudi, dan kewajiban-kewajiban perusahaan.

“[Pembelian Cititrans] Akan menunjang kegiatan operasional perusahaan, dan Blue Bird Grup, yang dengan itu menunjang kelangsungan usaha Blue Bird Group,” kata Direktur Utama Purnomo Prawiro dalam pengumumannya pada 4 Maret 2019.

Setelah pengumuman tersebut, harga saham Blue Bird merangkak naik. Pada 4 Maret 2019, harga saham Blue Bird tercatat Rp2.960 per saham. Hari berikutnya naik menjadi Rp2.970,. Per 7 Maret 2019, saham Blue Bird sudah mencapai Rp3.000 per saham

Menggenjot Bisnis Non-Taksi

Perusahaan yang mencari peluang usaha di luar lini bisnis utama merupakan hal yang lumrah dalam dunia usaha. Umumnya, perusahaan melakukan hal itu disebabkan kondisi lini bisnis utama yang melesu (mature) atau bisnis utamanya kurang berhasil.

Pada kasus Blue Bird, tantangan bisnis taksi konvensional yang lesu dihantam menjamurnya moda transportasi online bisa jadi pemicunya. Pendapatan Blue Bird sempat tumbuh terakhir kali terjadi pada 2015. Setelahnya, pendapatan Blue Bird terus mengalami tren menurun hingga kuartal III-2018.

“Bisnis taksi sudah ketat karena terdesak transportasi online yang menawarkan harga murah. Saya pikir tepat jika BIRD memperluas lini usaha di luar core-nya,” tutur Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital kepada Tirto.

Blue Bird sudah memiliki beberapa bisnis di luar taksi. Mulai dari sebagai produsen bodi kendaraan, properti, logistik, alat berat, penjual mobil bekas dan lain sebagainya.

Hasilnya lumayan, pada kuartal III-2018, bisnis non-taksi menyumbang Rp584,72 miliar atau sebesar 19 persen dari total pendapatan Blue Bird. Capaian tersebut juga meningkat 9 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp538,67 miliar.

Pada saat bersamaan, kinerja bisnis taksi tetap menurun, meski pendapatan bisnis taksi lebih besar ketimbang bisnis non-taksi. Pendapatan bisnis taksi tercatat turun 3 persen dari Rp2,59 triliun menjadi Rp2,52 triliun.

Secara historis, tren pendapatan bisnis taksi dan non-taksi juga terlihat berbanding terbalik. Pada 2015, pendapatan dari bisnis taksi menembus Rp4,76 triliun. Tahun berikutnya, menurun menjadi Rp4,02 triliun, dan turun lagi pada 2017 sebesar Rp3,47 triliun.

Sementara itu, bisnis non-taksi Blue Bird pada 2015 mampu menorehkan pendapatan Rp711,4 miliar. Pada 2016, pendapatan non-taksi melompat hingga Rp771,03 miliar. Sayangnya, pada 2017, pendapatan non-taksi turun menjadi Rp732,35 miliar. Namun, secara tren bisnis non-taksi Blue Bird masih meningkat.

Infografik Jaringan Bisnis Blue Bird

Infografik Jaringan Bisnis Blue Bird. tirto.id/Fuad

Peluang Bisnis Shuttle AKAP

Potensi bisnis antar jemput AKAP cukup menjanjikan. Apalagi, jurusan yang bakal digarap Blue Bird dari pembelian bisnis Cititrans itu adalah Jakarta-Bandung, lalu lintas penumpang di jalur ini terbilang tinggi. Pada 2017, arus kendaraan yang melalui Tol Cipularang mencapai 6,6 juta kendaraan.

“Saya lihat pasar Jakarta-Bandung konsisten bagi pelaku AKAP. Lalu lintas penumpang terbilang cukup padat. Jika tol layang Jakarta-Cikampek rampung, pangsa pasar AKAP bisa jadi lebih besar lagi,” tutur Alfred.

Menurut Alfred, perjalanan Jakarta-Bandung via tol saat ini memang kurang nyaman apabila dibandingkan dengan kereta api. Ini karena waktu tempuh via tol bisa memakan waktu lebih dari 5 jam karena lalu lintas kendaraan yang padat di Jakarta-Cikampek.

Namun, apabila tol layang Jakarta-Cikampek rampung, kepadatan lalu lintas kendaraan di Tol Jakarta-Cikampek diperkirakan berkurang hingga 20-30 persen. Ini artinya, waktu tempuh tol Jakarta-Bandung bisa berkurang, dan mampu bersaing kembali dengan kereta api yang memiliki waktu tempuh sekitar 3 jam 30 menit.

Bisnis shuttle AKAP rute Jakarta-Bandung yang menjanjikan juga bisa terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Wahyu Tri Saputra, akademisi dari Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Nasional Bandung, mengenai “Analisis Kelayakan Bisnis Travel Dengan Konsep Shuttle To Shuttle Jurusan Bandung-Jakarta” (PDF). Bisnis travel dengan sistem shuttle pada rute Jakarta-Bandung dinyatakan layak secara bisnis, setidaknya dari sisi pasar.

Peluang Blue Bird menggarap rute AKAP lainnya juga terbuka lebar, karena Jakarta-Surabaya sudah tersambung via tol. Salah satu rute yang potensial adalah rute dari Jakarta menuju kota-kota di Jawa Tengah, atau rute dengan waktu tempuh sekitar 5 jam.

Namun, langkah Blue Bird masuk ke bisnis shuttle tidak mudah. Pemain di bisnis shuttle AKAP tidak sedikit. Pada rute Jakarta-Bandung saja, jumlah operator shuttle sedikitnya mencapai 18 perusahaan. Belum lagi, harus bersaing dengan bus AKAP. Pemain bus AKAP juga saat ini mulai banyak menambah armada seiring dengan dibangunnya proyek-proyek infrastruktur jalan tol.

“Jangan salah, bus AKAP sejak beberapa tahun belakangan ini terus berbenah. Ada yang menambah armada, meremajakan armada, dan lain-lain,” tutur Kurnia Lesani Adnan, Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) kepada Tirto.

Menurut Kurnia, bisnis bus AKAP kembali cerah ini karena satu persatu ruas Tol Trans Jawa mulai dibuka. Tingkat okupansi bus AKAP pun pelan-pelan mulai membaik, dari sebelumnya hanya 30 persen di hari kerja, kini mulai naik ke angka 60 persen.

Bisnis shuttle memang berpeluang bisa mendongkrak kinerja perusahaan, untuk menopang lini bisnis taksi yang jadi penyumbang pendapatan terbesar yang tentu masih dipertahankan setidaknya sampai saat ini. Namun, diferensiasi sangat penting termasuk penggunaan aspek teknologi pada bisnis shuttle. Aspek yang selama ini memukul Blue Bird dan perusahaan taksi konvensional lainnya.

Baca juga artikel terkait BLUE BIRD atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra