Menuju konten utama

Nasib PSSI dan Konflik Kepentingan Setelah Kemenangan Edy Rahmayadi

Edy Rahmayadi akan segera memimpin Sumut. Namun, ia belum berencana meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Bagaimana nasib sepakbola Indonesia jika diurus setengah-setengah?

Nasib PSSI dan Konflik Kepentingan Setelah Kemenangan Edy Rahmayadi
Calon Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyalami pendukungnya saat akan memberi keterangan tentang hasil hitung cepat Pilgub Sumut, di Medan, Sumatera Utara, Rabu (27/6/2018). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

tirto.id - Calon Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi hampir pasti menjadi pemenang pilkada 2018 bersama dengan wakilnya, Musa Rajekshah, setidaknya menurut hitung cepat tiga lembaga survei: Lingkar Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Charta Politika.

Kemenangan ini jelas memancing pertanyaan lebih jauh. Bagaimana dengan nasib Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)?

Edy sampai saat ini masih resmi menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Masalahnya, ia sepertinya tidak bakal melepas jabatan tersebut meski nanti sudah dilantik jadi Gubernur Sumatera Utara, setidaknya dalam pernyataannya ke wartawan di sela Kongres PSSI, Januari lalu.

Ketua Save Our Soccer Indonesia, Akmal Marhali, menilai apa yang diputuskan Edy kurang patut. Selain membuat berbagai kebijakan strategis, sepakbola Indonesia masih butuh perhatian penuh. Hal tersebut tak bakal bisa dilakukan seorang ketua umum yang juga mengemban amanah sebagai pejabat publik.

"PSSI ini bukan organisasi sambilan," kata Akmal pada Tirto, Jumat (29/6/2018).

Akmal mengatakan Edy adalah contoh buruk manajemen olahraga Indonesia. Statuta PSSI adalah contoh "terbaik" dari itu.

Dalam Statuta PSSI Pasal 35 edisi revisi 2011, disebutkan bahwa syarat Ketua Umum adalah dicalonkan oleh salah satu anggota PSSI, tidak sedang terlibat dalam perkara pidana, aktif di sepak bola minimal lima tahun serta berusia 30 tahun atau lebih. Tak ada pernyataan mengenai rangkap jabatan politik.

Edy memenuhi semua kriteria itu. Makanya ia bersikeras tak bakal melepas jabatannya itu meski sudah hampir pasti menang.

Apabila memang ingin sepakbola Indonesia lebih baik, Akmal berpendapat Indonesia memerlukan pemimpin yang memang mampu memberikan perhatian penuh.

"Sepakbola Indonesia sulit maju karena tidak dikelola dengan serius dan dianggap sebagai 'istri nomor dua' dibanding yang lainnya. Ini yang membuat sepakbola kita sulit berprestasi," ujarnya.

Perkara Konflik Kepentingan

Kemampuan Edy mengemban dua jabatan semakin diragukan karena faktanya ia juga punya saham di PSMS Medan. Ia adalah pemilik 51 persen saham PT Kinantan Medan dan 55 persen PT Ayam Kinantan Medan—dua badan usaha yang membawahi PSMS. Selain pemilik, secara struktural ia adalah Dewan Pembina klub tersebut.

Konflik kepentingan bakal semakin meruncing karena posisi demikian. Sebagai Ketua PSSI, ia wajib mengembangkan fasilitas sepakbola di seluruh Indonesia. Di sisi lain, sebagai gubernur Edy wajib membantu mengembangkan olahraga di daerahnya sendiri. Dan sebagai pemilik PSMS, dia tentu saja ingin klubnya itu terus menuai hasil positif dalam berbagai hal, termasuk bisnis.

Kata Akmal, jika Edy masih merangkap tiga jabatan sekaligus, maka bakal terjadi dua hal: pertama, Edy mungkin bakal menggunakan APBD untuk dana operasional PSMS—yang sebetulnya sudah dilarang; kedua, Edy bakal menganakemaskan Sumut.

"Superman pun enggak bisa," tegas Akmal.

Jika itu tidak cukup jadi alasan kenapa Edy harus melepas jabatannya sebagai Ketum PSSI, maka coba simak Surat Edaran Kemendagri Nomor 800/148/sj/2012. Di sana dijelaskan mengenai rangkap jabatan, meski tidak secara eksplisit.

Dalam surat yang ditandatangani mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tersebut, dijelaskan pada Pasal 28 Huruf c UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa "bagi pejabat publik dan pejabat struktural di tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar tidak melakukan perangkapan jabatan pada kepengurusan KONI, PSSI Daerah, serta klub sepak bola profesional dan amatir. Bagi pejabat publik dan pejabat struktural yang pada saat ini masih menjabat pada Kepengurusan KONI, PSSI Daerah, serta klub sepak bola profesional dan amatir agar segera melepaskan jabatan dimaksud," tulis surat tersebut.

Memang tidak ada yang menyebut secara tegas mengenai "Ketua Umum PSSI". Namun bila memang pejabat struktural PSSI pusat tidak terdampak surat tersebut, setidaknya Edy harus melepaskan sahamnya di PSMS Medan dan masih harus berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).

Dalam Pasal 40 UU tersebut, dijelaskan bahwa pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik tertentu.

infografik current issue edy rahmayadi

Regulasi ini, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Gatot S Dewa Broto, tidak berlaku untuk Edy. Menurutnya, UU SKN hanya mengatur tentang rangkap jabatan dalam Komite Olahraga Nasional Indonesia, bukan PSSI. Adanya surat edaran dari Kemendagri pun tidak cukup kuat.

"UU SKN itu hanya mengatur soal KONI, tidak dengan PSSI. Apabila Kemendagri membuat surat edaran, tetap saja ia tidak bisa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," kata Gatot kepada Tirto.

Gatot, dalam pernyataan itu, seakan membela Edy. Tapi sebetulnya tidak. Kalimat terakhirnya membuktikan itu. Katanya, "alangkah lebih baik pak Edy mempertimbangkan lagi [rangkap jabatan]. Apa nggak ada orang lain? Karena nanti akan menyita waktu juga."

Baca juga artikel terkait KETUA UMUM PSSI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino