tirto.id - Letnan Jenderal TNI AD, Edy Rahmayadi, akhirnya menjadi Ketua Umum PSSI yang baru. Edy terpilih dalam kongres PSSI yang digelar di Hotel Mercure Ancol (10/11/16). Ia berhasil meraih 76 suara dari total 108 suara.
Edy berhasil menyingkirkan jenderal yang lain, yakni Moeldoko, yang hanya mengemas 23 suara. Posisi ketua umum memang sudah diprediksikan jauh-jauh hari. Dia berhasil menggalang koalisi yang menguasai sekitar 79 persen suara (85 suara dari total 107). Jika benar klaim 85 suara itu, maka Edy hanya kehilangan 9 suara. Masih cukup besar untuk berkuasa (menguasai 71 suara).
Kemenangan Edy memperpanjang daftar keterlibatan para jenderal di tubuh PSSI. Padahal Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sudah mewanti-wanti agar kepengurusan federasi tak dirangkap jabatan pelayanan pemerintah lain. Edy sendiri saat ini menjabat sebagai Pangkostrad. Dan ia mengaku tak akan meninggalkan dunia militer.
“TNI itu dunia dan profesi saya. Jadi tidak akan saya tinggalkan,” ucapnya.
Karena sepakbola adalah olahraga yang sangat digemari di Indonesia, semua orang berebut mencari panggung di atasnya. Perannya bisa apa saja, ada yang jadi pemain, pelatih, pengurus klub ataupun pengurus federasi.
Keterlibatan Edy di PSSI adalah narasi sejarah yang terus berulang. Sejarah sepakbola Indonesia tak lepas dari peran tentara. Keterlibatan mereka bahkan sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Sejarah PSSI, misalnya, mereka lekat sekali dengan militer. Sebelum Edy, sudah banyak tentara yang menjadi Ketua Umum PSSI.
Pendiri PSSI, Ir. Soeratin, pangkatnya adalah Letkol dan angkat senjata di masa revolusi. Penerus-penerusnya dari Maladi, Maulwi Saelan, Bardosono, Ali Sadikin, Sjarnoebi Said, Kardono, Azwar Anas hingga Agum Gumelar adalah perwira-perwira tentara yang pernah mengendalikan PSSI.
Terakhir kali PSSI dipimpin tentara memang Agum Gumelar pada periode 1999-2003. Setelah Agum lengser, rezim sipil yang kemudian berkuasa melalui Nurdin Halid, lengkap dengan cerita kekuasaan absolut yang tak tergoyahkan bahkan walau harus mendekam di penjara.
Di tangan sipil, sepakbola kita makin tak becus. Peralihan dari Nurdin ke Djohar Arifin hingga La Nyalla Mataliti tak membikin prestasi sepakbola berdatangan – yang ada malah ruwet dengan konflik kepentingan.
Ketegasan kepemimpinan PSSI ala “ormas” pada periode sebelumnya memang membuat PSSI kehilangan wibawa. Keberpihakan BOPI, pemerintah (melalui Kementerian Pemuda Olahraga) tentu didasari kepentingan. Dengan dipimpin militer, diasumsikan pembangkangan-pembangkangan (entah dari pihak klub maupun yang lain) bisa dihentikan.
Lagipula jika menilik karakter pengurus-pengurus bola kita yang pragmatis dan cari aman, siapa pula yang berani menentang tentara? Dengan segala kekuasaannya, merapat pada tentara menjadi cara aman. Bagi pemerintah, menaruh orang militer tentu menjadi cara untuk mengendalikan para pembangkang yang susah diatur.
Pascaterpilihnya Edy, pemerintah melalui Deputi IV Kemenpora, Gatot S Dewabroto, menyampaikan 11 masalah yang harus ditangani PSSI. Mulai dari pentingnya integrasi, komitmen memberantas pengaturan skor, kerusuhan suporter, pembinaan usia muda, transparansi keuangan, sampai persiapan Asian Games.
Satu poin yang paling menarik disimak ada di poin ke-enam: “PSSI diminta untuk proporsional dalam menjaga hubungan dengan pemerintah dan berbagai instansi terkait. Pemerintah sadar bahwa induk PSSI adalah FIFA, tetapi juga harus menyadari PSSI ini beroperasi di Indonesia.”
Jika merunut kebijakan Edy saat mengurusi sepakbola, sebagai abdi negara posisi Edy cenderung dekat dengan pemerintah. Ketika Kemenpora membetuk turnamen Piala Kemerdekaan, Edy langsung mengikutsertakan tim yang dikelolanya, PSMS Medan, pada turnamen itu.
Mengurus sepakbola Indonesia sebenarnya nyaris seperti mengurus partai politik. Selain para pengurus sepakbola di PSSI hingga daerah sampai klub banyak diisi politikus, yang kenyang dengan negosiasi dan tarik menarik kepentingan, sepakbola Indonesia juga sudah terbukti menjadi situs tempat berbagai kepentingan politik saling tarik-menarik, saling tarik ulur. Pertukaran posisi atau perubahan sikap menjadi hal jamak dalam setiap konflik di PSSI.
Buktinya, dua klub yang dulu memaki-maki pemerintah dan BOPI, Arema Cronus dan Bhayangkara Surabaya United, langsung merapat dan bergabung dengan Kelompok 85 untuk menggelar KLB PSSI. Mayoritas mereka yang dulu membantah pemerintah kini solid mendukung Edy. 76 suara mayoritas yang didapat Edy meenegaskan hal itu.
Mereka tahu bagaimana membaca arah angin. Dari pada digulung badai, lebih baik menunggangi badai, bukan?
Saat ditanya komitmennya untuk mempersatukan PSSI dan pemerintah, Edy hanya menjawab: “Saya siap, itu memang sudah tugas saya,” ucapnya sambil tergesa-gesa.
Masalahnya, pemerintah tidak benar-benar memenangkan pertarungan. Jika melihat orang-orang yang mendapat pos strategis dalam kepengurasan Edy saat ini masihlah orang-orang lama. Edy memiliki dua wakil yakni Iwan Budianto dan Djoko Driyono yang merupakan rezim lama, yang juga terlibat aktif dalam pertarungan dengan pemerintah sepanjang dua tahun terakhir ini.
Lagi pula, masa depan PSSI di tangan Edy juga masih belum jelas. Kongres tak menyediakan forum bagi para kandidat untuk memaparkan visi, misi dan program. Dalam konteks pengalaman mengelola sepakbola, komitmen Edy juga masih patut diperiksa dalam praktik. Lihat saja kesemerawutan yang dia tinggalkan di PSMS Medan.
Begitupun dalam hal teknis sepakbola. Ketika diwawancarai wartawan, dia agak kesulitan mengidentifikasi piala AFF yang akan diikuti timnas dalam waktu dekat. “Ke depan kita akan berada pada kejuaraan IFF (diam sejenak), FFC...”
Jangan sampai Edy memimpin PSSI secara struktural, namun dalam keseharian PSSI masih dikendalikan oleh rezim-rezim lama. Untuk menilai hal itu, Edy bisa membuktikannya dalam satu hal: bisakah dia mengamankan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI?
Masalahnya, sekjen tidak dipilih oleh Ketum PSSI seorang. Sekjen ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara Ketum PSSI dan para anggota Executive Comitte (Exco). Ini akan ditentukan, salah satunya, oleh susunan Exco yang terpilih dalam kongres.
Masalah muncul saat para exco ini dipimpin oleh orang-orang lama yang berkongsi dalam kelompok 85. Gusti Randa dan Djohar Ling Eng misalnya, dua orang ini adalah anggota exco di era pengurusan La Nyalla Matalliti.
Dari perwakilan Asprov ada nama ketua Asprov Kalimantan Timur Yunus Nusi dan Dirk Soplanit ketua Asprov Maluku. Saat gaduh PSSI versus Kemenpora, dua orang ini begitu gigih membela La Nyalla, bahkan keduanya meminta Presiden Joko Widodo menendang Imam Nahrawi dari Kabinet Indonesia Bersatu.
Dari perwakilan tim Divisi Utama, ada Hidayat pengurus Persebo Bondowoso. Jangan lupa sosok inilah yang kemaren mengompori para voters agar "mendepak" pengampunan pada Persebaya Surabaya cs di arena Kongres.
Sedangkan wakil dari tim ISL berjumlah tiga orang yakni Piter Tanuri dari Bali United, Refrizal dari Semen Padang dan Condro Kirono petinggi tim Bhayangkara United. Menarik mencermati masuknya Condro Kirono yang saat ini menjabat sebagai Kapolda Jateng. Sama seperti Edy, condro akan dijadikan bemper ketika PSSI kelak berkonflik kembali dengan pemerintah.
Kesembilan orang di atas semuanya berkongsi di kelompok 85. Namun dalam komite eksekutif, ada empat anggota yang bukan berasal dari Kelompok 85. Mereka adalah Yoyok Sukawi, Papat Yunisal, Verry Mulyadi, dan Juni Ardianto Rachman.
Meski bukan anggota kelompok 85 bukan berarti empat orang ini tidak dekat dengan rezim lama. Juni Ardianto Rachman misalnya dia memiliki kedekatan dengan La Nyalla secara personal, keduanya sama-sama aktif di KADIN dan Ormas Pemuda Pancasila - Juni bahkan ikut menginisiasi logo Pemuda Pancasila muncul jadi sponsor di jersey PSPS Pekanbaru.
Sama juga seperti Verry Mulyadi, saat gaduh-gaduh pembangkangan KPSI terhadap PSSI 2011 lalu, Verry masuk dalam geng La Nyalla. Dari susunan exco saat ini kita bisa menebak ke arah mana PSSI akan bermuara.
Ini pertarungan internal yang seru sekaligus strategis. Sekjen akan menjadi “operator” ketua umum, termasuk mengendalikan kesekertariatan dan urusan dari hari ke hari. Mengingat Edy masih akan tetap berdinas di militer, boleh jadi pangkatnya juga masih akan naik, sudah jelas sekjen akan sangat menentukan. Jika Edy gagal mengamankan posisi sekjen, dan lagi-lagi jatuh pada orang-orang lama, maka kemenangan di kongres masih menyisakan pekerjaan yang tak mudah.
Soal kabar Sekjen ini, Edy memang sudah menyebut nama. Kepada wartawan dia sudah menunjuk Ade Wellington sebagai Sekjen yang baru. “Ini sudah banyak yang tanya dari tadi. Begini saja sekalian biar jelas saya umumkan, Sekjen PSSI sudah ditunjuk, dia adalah Ade Wellington. Silahkan maju sekjen yang baru,” kata Edy dikutip dari Topskor.
Meski begitu saat diklarifikasi ke Waketum Iwan Budianto, dia belum mengetahuinya. “Saya tidak tahu, silahkan tanya ke beliau [Edy Rachmayadi],” katanya. Mungkinkah penunjukan Ade ini adalah keputusan sepihak demi memangkas kepentingan orang-orang lama? bisa saja.
Jika betul Edy menunjuk Ade, dia sudah melakukan hal yang tepat. Selama ini Ade memang jarang terjebak dalam hiruk-pikuk konflik di PSSI. Ade lebih asyik sendiri mengurusi Sekolah Sepak Bola (SSB) ASIOP yang dia bina. Jadi sebuah pertanyaan siapkah Ade membantu Edy untuk mengikis kepentingan orang-orang lama?
Jangan lupa, anggota PSSI, termasuk para pemilik suara dan tokoh-tokohnya, bukanlah anak kemarin sore dalam sengketa persepakbolaan. Mereka sudah kenyang asam garam pertarungan. Belum tentu juga selamanya mereka akan solid. Ini juga soal kue, dan jika kue tidak tersebar secara pas, perlawanan-perlawanan kecil -- setidaknya untuk ngetes cuaca-- bukan tidak mungkin akan muncul.
Kompromi tentu saja akan terjadi. Tidak terhindarkan. Kegagalan mengembalikan status Persebaya (juga Persema dan Persibo) sudah melahirkan kekecewaan yang tidak bisa dipandang remeh. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika Imam Nahrawi selaku Kemenpora menganggap penting agenda pemulihan status Persebaya, dkk.
Bahwa mayoritas pemilik suara setuju nasib Persebaya, dkk, ditunda di kongres berikutnya, dan dengan demikian Kelompok 85 yang mendukung Edy juga ada di dalamnya, memperlihatkan dinamika di dalam memang tidak selalu sejalan dengan kehendak Kemenpora.
Para bonek yang sudah bertahan dan berjuang selama tiga tahun, tentu tidak akan membiarkan nasib kesebelasan kesayangan mereka terus digantung. Masih setahun lagi menuju kongres tahunan, berarti nasib Persebaya juga akan terkatung-katung setidaknya setahun lagi. Peta bisa berubah di tengah jalan. Arah angin bisa bergerak tanpa sepenuhnya bisa ditebak.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani