Menuju konten utama

Nasi Padang adalah Berkah dan Memboikotnya adalah Kebodohan

Betapa sia-sia ide memboikot nasi Padang.

Nasi Padang adalah Berkah dan Memboikotnya adalah Kebodohan
Ilustrasi kuliner dari Padang. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - “Emang kenapa, sih, masaknya harus semaleman gitu?

Entah sudah berapa puluh kali saya menanyakan pertanyaan tersebut ke ibu saban ia tengah khusyuk memasak rendang dalam kuali berukuran besar. Jawaban beliau tak pernah berubah: “Supaya bumbunya meresap ke dalam dagingnya.”

Memasak rendang memang perkara kesabaran. Ia, sebagaimana pula masakan adat lain, adalah antitesis dari makanan cepat saji yang punya rumus goreng-tumpuk-bungkus. Butuh waktu semalaman agar kelezatan rendang terasa sempurna. Uniknya, citarasa rendang tidak berbanding lurus dengan tampilannya. Justru yang terlihat paling buruk dan gelap biasanya adalah rendang yang otentik.

Hal itu menandakan bahwa rendang tersebut dimasak dalam waktu lama. Ada istilah menarik yang diberitahu ibu saya untuk menjelaskan istilah proses finishing rendang: diunyai-unyai. Proses ini biasanya dilakukan dengan cara mengaduk olahan rendang yang mulai mendidih memakai api kecil. Begitu terus secara perlahan, kurang lebih tiga-empat jam, hingga akhirnya rendang siap disajikan.

Namun demikian, ada satu hal penting yang perlu diluruskan: rendang sejatinya bukanlah nama makanan, melainkan cara atau proses memasak yang juga acap disebut dalam istilah Minang: marandang. Anda bisa mengganti daging sapi—daging yang umum dijadikan rendang—dengan ayam, kerbau, itik, atau non-daging sekalipun seperti dedaunan dan buah-buahan. Jika ada waktu luang, sempatkanlah berkeliling beberapa daerah di Sumatera Barat untuk membuktikan hal tersebut.

Di Batusangkar, misalnya, terkenal rendang belut (baluik). Di Kapau—nama sebuah nagari di kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, lokasi asal nasi Kapau yang legendaris itu—, rendang itik (itiak) menjadi ciri khas utama. Sementara itu, di Lintau, Tanah Datar, rendang non daging seperti rendang telur, ubi kayu, teri, daun pakis, hingga daun ubi kerap dijajakan sebagai oleh-oleh. Jangan lupakan pula rendang ikan khas Kota Painan dan rendang daun kayu khas Payakumbuh yang dimasak menggunakan bumbu dari puluhan macam daun dan ikan gabus.

Oh, satu lagi: rendang jariang alias rendang jengkol yang membuat orang ingin mengobarkan revolusi usai menyantapnya.

Bumbu yang digunakan di tiap rendang tersebut pun kurang lebih sama belaka: santan kelapa dan rempah-rempah seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, bawang merah, dan bumbu pemasak lain. Hanya saja, di Minang ada anggapan bahwa jika orang yang meracik berbeda, maka beda pula citarasanya. Sang ahli peracik ini disebut kakok tangan dan ilmu rahasia racikannya adalah nan sapiciak. Hal ini seringkali dianggap desas-desus, jadi tidak perlu dianggap serius.

Apa pun itu, saya kira, tidaklah berlebihan jika menyebut rendang sebagai salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang sulit ditolak. Kendati terdengar subyektif, setidaknya ada satu bukti sahih mengenai klaim ini: rendang menempati urutan teratas dalam daftar World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International pada tahun 2011 dan 2017.

Percayalah, tidak ada rendang yang tidak enak. Tapi kalau yang palsu, sih, banyak!

‘Hidup Begitu Indah dan Hanya Sambal Ganja yang Kita Punya’

Keluarga besar saya sembilan puluh sembilan persen Minangkabau. Itu artinya, hanya satu persen dalam pohon keluarga kami yang berasal dari suku lain di Indonesia. Bahkan jika dirunut terus ke pohon keluarga kami, masih ada pertautan silsilah persaudaraan antara keluarga ibu dan bapak. Ibu saya dari Agam, Bapak dari Tanjung Alam.

Jika Anda juga berasal dari keluarga yang (nyaris) sepenuhnya Minang, Anda pasti mengerti bahwa egoisme lidah Anda dalam perkara makanan bekerja hingga alam bawah sadar. Selayaknya candu, kemana pun Anda pergi, seberapa lama pun Anda menetap di daerah tersebut, lidah Anda pasti akan sukar bernegosiasi dengan kuliner setempat. Hal ini terjadi bukan lantaran doktrin yang dipaksakan atau kebiasaan turun temurun. Alasannya sederhana saja: masakan Minang memang enak dan bikin ketagihan.

Berdasarkan perbincangan saya dengan pa’ngah (istilah orang Minang bagi saudara laki-laki bapak yang ada di tengah) yang juga membuka warung makan Padang kecil-kecilan di Rawa Lumbu, Bekasi, ia menyebut masakan Minang disukai karena lauknya variatif dan rasanya mudah diterima lidah secara universal. Terutama karena sensasi rasa pedas yang dominan namun tidak membakar tenggorokan.

"Lamak dek awak, katuju dek urang. Enak buat kita, bisa pula diterima orang lain,” ujarnya.

Berbicara mengenai kelezatan masakan Minang, ada beberapa warung makan Padang terbaik di Jakarta yang, tentunya, amat mungkin pernah Anda dengar atau datangi. Restoran Garuda, Rumah Makan Surya, Sari Ratu, Pondok Djaja, Rumah Makan Sepakat, Padang Raya, Sari Bundo, Medan Baru. Nama terakhir sejatinya merupakan perpaduan citarasa Minang-Medan-Aceh. Tapi itu jelas sama sekali bukan persoalan, justru sebaliknya: Anda mesti mendatangi tempat ini.

Saya mengetahui nama restoran Medan Baru dari mulut bapak saya sendiri beberapa tahun lalu. Ketika kami sedang bercengkerama, saya iseng bertanya kepada beliau rumah makan Minang mana yang menurutnya paling enak di Jakarta. Bapak terdiam sebentar, sebelum menyebutkan restoran Medan Baru.

“Emang kelebihannya apa dibanding restoran lain?”

“Gulai kepala ikan kakapnya enak banget. Sambal ganjanya juga.”

Mendengar kata ganja, imajinasi sekaligus ekspektasi saya mengenai restoran Medan Baru justru tambah liar. Rasa-rasanya keren betul menyantap sambal dari daun terlarang ini dengan sembunyi-sembunyi. Namun demikian, baru pada Jumat (26/04) saya berkesempatan menjajal langsung kenikmatan gulai kepala ikan kakap dan sambal ganja di restoran Medan Baru yang berada di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Dan, Anda tahu, itu adalah pengalaman orgasmik lidah paling dahsyat yang pernah saya rasakan.

Gulai kepala ikan di Medan Baru direndam dalam kuah santan kental berwarna kuning pekat. Ikannya pun memakai kakap putih, bukan kakap merah sebagaimana lazimnya rumah makan lain. Selain bahan utamanya, sepintas tak ada yang berbeda dari gulai tersebut. Tampilannya, aromanya, cara penyajiannya—ditaruh di atas piring oval berbahan stainless steel—sama belaka dengan restoran Minang kebanyakan.

Setelah selesai mencuci tangan di kobokan, saya tidak segera menyantap gulai kepala ikan tersebut dengan nasi, melainkan mencuil sedikit dagingnya dan merendamnya kembali di kuah agar rasanya lebih kuat. Detik pertama makanan itu masuk ke mulut, saya lupa segala cicilan yang harus dilunasi tiap bulan. Saya bahagia sekali.

Tekstur daging kepala kakap putih di Medan Baru terasa sangat pas di mulut. Tidak kelewat lembut atau padat. Sebab itu, jika disantap dengan nasi sekaligus, daging ikan tadi seolah bisa menemukan celah tersendiri di rongga mulut hingga masih utuh rasanya. Jikapun ada yang mesti disayangkan dari gulai ikan kakap ini: porsi dagingnya terlalu sedikit untuk rasanya yang surgawi. Selain itu, harganya juga cukup mahal meski yang saya pesan hanyalah porsi sedang.

Setelah dua-tiga suapan, saya kemudian mencoba menyantap suiran daging kepala ikan tersebut dengan sambal ganja tanpa nasi. Lalu dengan nasi. Lalu sambalnya saja. Lalu saya terdiam sepersekian detik sambil senyum-senyum sendiri: “Subhanallah, betul belaka desas-desus yang mengatakan ganja dapat menambah kelezatan masakan.”

Sayangnya, saya salah. Ya, sambal ganja tidaklah menggunakan ganja sama sekali. Setidaknya begitulah keterangan yang saya dapatkan dari salah seorang pramusaji di restoran Medan Baru yang enggan disebutkan namanya itu.

“Pakai macam-macam, Pak. Tapi nggak ada ganjanya,” ujar pria yang saya taksir berusia 20an tahun itu sembari tersenyum ramah.

Rasa sambal ganja ini cenderung pedas-asam, namun tidak ada yang dominan satu sama lain. Saya sempat mengorek-orek sambal tersebut, dan tampak udang kecil, cabai rawit, bawang merah. Tomat hijau dan (sepertinya) belimbing wuluh juga ada sebagai pemberi rasa asam. Kesemua bahan tersebut dilumat dan, voila, jadilah sambal ganja.

Pertanyaannya kemudian: jika tidak menggunakan ganja, mengapa kemudian penyebutannya menjadi sambal ganja? Dugaan saya, mungkin karena sambal ini begitu lezat, sehingga menyebabkan pelanggan menjadi ketagihan--sebagaimana salah satu fungsi ganja sebagai penyedap makanan. Saking enaknya sambal ini, saya jadi ingat judul buku seorang kawan, Dea Anugrah, yang belum lama ini terbit: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya.

Saya kira, seandainya Dea mengalami apa yang saya rasakan sore itu di Medan Baru, ia mungkin akan mengganti judul bukunya jadi: ‘Hidup Begitu Indah dan Hanya Sambal Ganja yang Kita Punya’.

Rumah Makan Padang Diboikot? Tenang, Masih Ada Nasi Kapau

Dalam beberapa minggu terakhir, sempat ramai di media sosial seruan boikot RM Padang dari pendukung kubu 01, Joko Widodo-Ma’Ruf Amin. Alasannya: pasangan tersebut kalah suara di Sumatera Barat.

Tentu saja seruan tersebut selain menggelikan, juga tidak tepat sasaran. Ada ratusan juta orang di Indonesia yang mencintai nasi Padang. Ini belum ditambah para pejalan dunia yang turut mempopulerkan rendang hingga sempat terpilih beberapa kali sebagai makanan terlezat di dunia. Pun begitu, sekalipun RM Padang diboikot, perut kita sekalian masih bisa diselamatkan warung nasi Kapau.

Banyak yang mengira bahwa nasi Kapau tak ada bedanya dengan nasi Padang, pandangan tersebut sejatinya salah kaprah. Nasi Kapau adalah nasi ramas (rames dalam bahasa Jawa) khas Nagari Kapau, Sumatera Barat. Kendati sama-sama berasal dari Sumbar, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Mulai dari cara meracik bumbu, cara memasak, dan cara penyajian.

Infografik Rumah Makan Padang

undefined

Dalam setiap masakan Kapau, penggunaan kelapa lebih dominan ketimbang masakan Padang biasa. Itu dilakukan demi menambah rasa gurih dalam masakan. Perbedaan lain, setiap daging dalam Nasi Kapau biasanya harus dibakar terlebih dahulu agar aromanya lebih kuat. Termasuk jika dagingnya hendak dimasak dengan kuah. Perbedaan selanjutnya cenderung lebih spesifik, yakni dalam cara memasak rendang.

Rendang dalam sajian Kapau biasanya dimasak dengan kentang berukuran mini-bulat. Sementara masakan Padang lain, ukuran kentang atau tanpa kentang sekalipun, tidak terlalu berpengaruh. Otentisitas rasa menjadi tolak ukur perbedaan yang paling kentara dalam dua jenis aliran masakan ini. Selain itu dalam penyajian pun keduanya memiliki perbedaan.

Meski sama-sama menata makanan seperti anak tangga—sebagaimana di Warung Tegal (Warteg)—tapi display makanan di warung Nasi Kapau jauh lebih brutal menggugah selera, karena terlihat lebih segar, lebih banyak, dan banyak pula sajian yang berbeda dari restoran Padang. Untuk ukuran porsi, jika sama-sama makan di tempat, nasi Kapau juga jauh lebih banyak. Sedangkan porsi nasi Padang lebih banyak justru kalau dibungkus.

Di Jakarta, sudah banyak orang tahu bahwa di sepanjang jalan Kramat Raya, tak jauh dari Stasiun Pasar Senen dan perempatan Kwitang, adalah pusatnya penjual nasi Kapau. Tidak ada ukuran pasti mana yang terenak, tapi ada beberapa warung yang memang terkenal sejak dulu: Nasi Kapau Sabana Bana, Nasi Kapau Haji Nazir dan Nasi Kapau Sabana Asli.

Jika Anda ingin merasakan kelezatan paripurna nasi Kapau, silakan hadir ketika warung mereka baru buka sekitar pukul lima sore. Setibanya di sana, pandangi betul-betul berbagai lauk yang dipamerkan di meja-meja mereka: ikan balado, ayam bakar, gulai kikil, gulai tunjang, bebek goreng cabai hijau, hingga gulai tambusu--gulai berkuah kental dari usus sapi yang diisi kocokan telur berbumbu.

Suap saja barang satu kali kepalan tangan untuk merasakan sendiri betapa dahsyat menu gulai tambusu tersebut. Jangankan utang, selepas menyantapnya, Anda bahkan bisa lupa tengah berada di bumi atau di surga. Yang jelas, Anda tak akan pernah ingat pernah ada segerombolan orang yang berencana melakukan pekerjaan sia-sia: memboikot nasi Padang.

Baca juga artikel terkait KULINER NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono