tirto.id - “Bisa ke depan? Saya hendak mempertanyakan keobjektivan saksi,” kata Humphrey Djemat kepada K.H. Ma’ruf Amin yang menjadi saksi sidang kasus penistaan agama yang menjadikan Basuki Tjahaja Purnama, Selasa (31/1).
Kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini memaparkan ada bukti kunjungan dari pihak pasangan calon (paslon) nomor satu, Agus Yudhoyono-Sylvi Murni, yang disambut Ma’ruf Amin. Humphrey menganggap punya bukti yang menunjukkan netralitas saksi dipertanyakan.
“Iya, saya lupa,” jawab Ma’ruf Amin singkat.
Tudingan ini tidak berhenti di sana, bahkan dengan cukup berani kuasa hukum Ahok mempertanyakan apakah ada order fatwa dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Ma’ruf Amin sebagai Pemimpin Tertinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait ucapan Ahok tentang Almaidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.
Sekalipun sudah membantah, Ma’ruf Amin terus didesak dengan pertanyaan soal kedekatan dia dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Baik mengenai rekam jejaknya karena pernah jadi Wantimpres SBY maupun bukti pertemuan Ma’ruf Amin dengan paslon Agus-Sylvi (baca: MUI Tegaskan Pandangan Keagamaan Kasus Ahok Tidak Tergesa).
Ahok sendiri sangat serius menanggapi kesaksian Ma’ruf Amin. Ia mengatakan: “Saudara sudah tidak pantas jadi saksi karena tidak objektif dan mengarah pada paslon satu. … Kalau Anda menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan yang Mahakuasa, Maha Esa.”
Dugaan terhadap ulama yang juga menjabat sebagai Rois Aam PBNU ini sah-sah saja. Dalam proses persidangan, sangat biasa pernyataan saksi diuji oleh pihak-pihak di pengadilan, baik hakim, penasehat hukum maupun jaksa. Publik sudah sering melihat, misalnya dalam persidangan Jessica yang disiarkan televisi, bagaimana saksi dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang bahkan bersifat ad hominem atau menyerang latar belakang pribadi.
Bahkan rencana untuk memproses hukum sikap saksi yang dianggap berbohong, dari kacamata hukum, bisa dibenarkan. Saksi di pengadilan yang telah disumpah harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan jika kedapatan memberikan kesaksian palsu bisa dipidana.
Sayangnya, secara politik, pernyataan-pernyataan Ahok dan penasehat hukumnya ini menjadi langkah yang justru menambah persoalan. Dikatakan menambah persoalan karena terbukti memancing keriuhan baru: pernyataan-pernyataan Ahok dan penasehat hukumnya dengan segera dianggap sebagai serangan terhadap ulama dan -- ini yang akhirnya tak terhindarkan-- kepada Nahdlatul Ulama.
Menantang Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di hadapan publik jelas bukan langkah yang bijak. Seharusnya Ahok ingat itu. Sebagai sosok yang dekat beberapa kalangan NU, di antaranya almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur), Ahok mestinya mengerti dalam situasi politik yang sedang tidak menguntungkan menyerang tokoh penting NU akan cenderung lebih menyulitkan ketimbang memudahkan.
Dalam tradisi NU—tidak seperti bentuk organisasi pada umumnya—Rois Aam yang secara bahasa berarti “Ketua Umum” lebih mengarah kepada hal-hal bersifat syuriyah. Sosok Ma’ruf Amir yang -- selain menjadi pemimpin tertinggi MUI -- menjadi Rois Am NU membuatnya menjadi sosok yang paling dituakan, dihormati, dan paling kompeten untuk diminta nasihat-nasihatnya.
Jika Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siradj, lebih kepada tanfidziyah (pelaksana), yang menjadi simbol NU sebagai sebuah struktur keorganisasian, Rois Aam adalah simbol NU secara utuh. Baik NU secara kepengurusan maupun NU sebagai jam’iyah. Mengancam untuk memproses secara hukum kesaksian seorang Rois Aam rentan menyinggung NU, tak hanya secara keorganisasian tapi juga sebagai institusi sosial.
Begitu gencarnya pemberitaan akan masalah ini, kuasa hukum Ahok sampai merasa perlu mengklarifikasi. Tim kuasa hukum Ahok mengklairifkasi bahwa rencana melaporkan saksi itu tidak ditujukan kepada Ma’ruf Amin, tetapi kepada saksi-saksi lain. Tidak hanya mengklarifikasi, mereka juga menduga bahwa dinamika di persidangan kemarin itu kemudian digunakan untuk membenturkan Ahok dengan NU.
Ahok mengirimkan press release terkait klarifikasi pernyataannya. Permintaan maaf Ahok ke Ma'ruf Amin bisa dibaca pada artikel berjudul Ahok Meminta Maaf telah Memojokkan ma'ruf Amin.
Masalahnya, sekalipun Ahok membantah akan ada proses hukum untuk Ma’ruf Amin, tuduhan ini sendiri sudah telanjur membuka front “pertempuran” baru. Medan diskursus terkait isu penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok sebenarnya sedikit mereda tensinya karena tergeser dengan kasus yang sedang menimpa Rizieq Shihab. Agresivitas Ahok dan penasihat hukumnya terhadap Ma’ruf Amin akhirnya mengembalikan diskursus penistaan agama kembali menoleh kepada Ahok.
Klarifikasi yang diberikan oleh tim kuasa hukum Ahok, yang kemudian diikuti permintaan maaf langsung oleh Ahok, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa persoalan baru sudah telanjur muncul. Klarifikasi dan permintaan maaf ini menjadi bukti bahwa realisme politik memang berbeda dengan prosedur hukum yang memungkinkan pernyataan saksi diuji, dicecar bahkan dipersoalkan di muka persidangan.
Situasi yang tidak bisa tidak mengingatkan kepada kicauan Fahri Hamzah di Twitter saat mempertanyakan ide Joko Widodo menjadikan 1 Muharam sebagai hari santri saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Saat itu, Fahri berkicau, “Jokowi janji 1 Muharam hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!”
Akibat kicauan ini tuntutan Fahri Hamzah agar meminta maaf kepada santri dan Jokowi mengemuka. Wakil Ketua DPR yang maju dari Fraksi PKS ini secara tidak langsung dianggap menghina NU karena hampir semua warga NU adalah santri (selengkapnya baca: Hari Santri Nasional Ada Berkat Jasa Fahri Hamzah).
Kicauan Fahri itu terjadi pada 28 Juni 2014, kurang dua pekan dari hari pencoblosan Pilpres 2014 yang berlangsung pada 9 Juli 2014. Saat itu, survei-survei menunjukkan elektabilitas Jokowi dan Prabowo semakin tipis. Kedua kandidat presiden sama-sama berusaha keras merebut suara kalangan Nahdliyin.
Kicauan Fahri ini akhirnya menjadi kontraproduktif dalam usaha Prabowo mendapatkan suara Nahlidyin. Fahri dan partainya, PKS, saat itu mendukung Prabowo. Hanya karena kicauan, dukungan Jokowi dari golongan santri (bisa dikatakan juga warga NU dari golongan yang lebih cair) semakin membesar.
Memang benar, bisa jadi apa yang disampaikan Ahok kepada Ma’ruf Amin adalah bentuk ketidakpercayaan secara personal saja, bukan atas kapasitasnya sebagai Rois Aam PBNU. Sebagaimana kicauan Fahri Hamzah menyasar Jokowi dan bukan menyerang gagasan Hari Santri dan kalangan Nahdliyin. Ini bukan soal salah benar tetapi sedikit banyak pada cara penyampaian keberatan yang bisa saja dianggap kelewatan -- dalam kasus Fahri ia sampai menggunakan diksi “sinting”.
Tidak heran jika kalangan moderat, dan secara umum Nahdliyin sebenarnya moderat, pun bersikap negatif terhadap pernyataan Ahok dan kuasa hukumnya. Misalnya Mahfud M.D., ia juga menyayangkan sikap ini lewat akun Twitter-nya.
“Saya bukan tokoh NU, tapi saya warga jam’iyyah NU sejak bayi. Saya tersinggung atas hardikan Ahok terhadap KH. Ma’ruf Amin. Saya ikut protes sebagai warga NU. Kalau tak percaya kesaksian KH. Ma’ruf Amin, kan, ada tata caranya. Nyatakan itu di kesimpulan atau di pledoi.”
Hal yang sama diungkapkan oleh Helmy Faisal Zaini, Sekretaris Jenderal PBNU. Ia mengatakan dalam tradisi NU ada kewajiban lebih menghormati guru, ulama, atau bahkan orang yang lebih tua, sekalipun itu ada beda pendapat. “Ada caranya kalau mau berbeda pendapat. Tidak seperti itu,” kata Helmy Faisal Zaini.
Lebih-lebih selama proses hukum kasus penistaan agama, NU secara kelembagaan maupun akar rumputnya berada di posisi netral. Bahkan pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, masyarakat NU pun relatif tidak memposisikan diri secara gamblang condong kepada salah satu calon.
Artinya, reaksi keras Ahok kepada Ma’ruf Amir bisa menjadi persoalan yang cukup serius karena menumpahkan bahan bakar yang berpotensi mempersulit langkah Ahok dalam pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Apakah ini menjadi semacam faux pas, sebuah kesalahan langkah, yang dari sana situasi tak bisa ditarik kembali?
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS