tirto.id - Sepulang dari Dalat, Vietnam, tanggal 13 Agustus 1945, terjadi pertemuan senyap antara wakil Indonesia dengan utusan Malaya yang difasilitasi oleh Jepang. Kesepakatan yang diputuskan dalam mufakat rahasia itu sebenarnya bisa saja mengubah sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sebelumnya, tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yakni Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat dipanggil ke Dalat untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi militer Dai Nippon, Marsekal Hisaichi Terauchi, pada 12 Agustus 1945.
Terauchi atas nama pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun, Jepang baru akan memberikan kemerdekaan pada 24 Agustus 1945 karena dibutuhkan waktu untuk segala persiapannya. Bung Karno dan kawan-kawan pun diminta bersiap-siap.
Temu Rahasia di Malaya
Sukarno, Hatta, dan Radjiman pulang dari Vietnam pada 13 Agustus 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu. Namun, pesawat yang membawa mereka tidak langsung menuju Jakarta, melainkan singgah di Singapura. Jepang rupanya sudah mempersiapkan sesuatu.
Saat Bung Karno dan kawan-kawan bertemu dengan Marsekal Terauchi tanggal 12 Agustus 1945, pada hari yang sama, Jepang menerbangkan dua anggota PPKI lainnya ke Singapura, yakni Mr. Teuku Mohammad Hasan dan Dr. Mohammad Amir.
Teuku Mohammad Hasan adalah seorang pakar hukum sekaligus tokoh Muhammadiyah kelahiran Aceh. Ranah pendidikan menjadi salah satu jalan perjuangannya semasa era pergerakan nasional, termasuk dengan merintis cabang Perguruan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara di Sumatra.
T.M. Hasan merupakan peraih Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda. Dikutip dari Mr. Teoekoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya (1983) tulisan Muhammad Ibrahim, ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) bersama Hatta dan para mahasiswa/pelajar Indonesia di Belanda lainnya.
Setelah Indonesia merdeka, T.M. Hasan menjabat sebagai Gubernur Sumatra, lalu Menteri Pendidikan, serta Menteri Agama. Ia juga merupakan tokoh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di Bukittinggi setelah Yogyakarta diduduki Belanda pada 1948.
Sedangkan Dr. Mohammad Amir adalah dokter lulusan STOVIA (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) dan Universitas Utrecht, Belanda. Pejuang kelahiran Sawahlunto, Sumatra Barat ini nantinya diangkat menjadi Menteri Negara setelah Indonesia merdeka.
Momon Abdul Rahman dalam Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008) mengungkapkan bahwa Amir merupakan salah satu pendiri Jong Sumatranen Bond dan turut ambil bagian dalam Kongres Pemuda Kedua di Betawi yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Satu Asa Indonesia-Malaysia
Di Singapura, Dr. Amir dan T.M. Hasan dipertemukan dengan Sukarno, Hatta, serta Radjiman dalam perjalanan pulang dari Dalat pada 13 Agustus 1945. Dipaparkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2017), dihadirkan pula dua tokoh Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS) yakni Ibrahim Yaakob dan Burhanuddin Al-Hemy.
KRIS dibentuk pada Juli 1945 oleh para pejuang Malaysia dengan tujuan mewujudkan kemerdekaan dari Inggris. Kala itu, Inggris menjadi bagian dari Sekutu dan sedang terlibat bentrok melawan Jepang di Perang Asia Timur Raya atau rangkaian dari Perang Dunia Kedua.
Graham K. Brown dalam tulisannya bertajuk “The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared” (2005) yang dirilis Centre for Research on Inequality, Human Security, and Ethnicity (CRISE) University of Oxford mengungkapkan tokoh-tokoh serumpun itu memang berniat untuk berkongsi.
Sikap bekerja sama ini, tulis Brown, didasari dengan harapan bahwa Hindia Belanda (Indonesia), Malaya (negeri-negeri Melayu yang kini menjadi negara Malaysia, juga Singapura dan Brunei Darussalam), serta Borneo (seluruh bagian Pulau Kalimantan), bakal dipersatukan setelah diberi kemerdekaan oleh Jepang.
Menurut buku Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (2008) suntingan Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, pertemuan ini digelar di Taiping, Perak (kini wilayah Malaysia), berbeda dengan versi Ahmad Mansur Suryanegara yang menyebut Singapura sebagai lokasi perjumpaan antara wakil Indonesia dengan utusan Malaya itu.
Kepada Sukarno dan kawan-kawan, Ibrahim Yaakob menyatakan niatannya untuk menggabungkan Semenanjung Malaya dengan Indonesia. Bahkan, pendiri Kesatuan Melayu Muda (KMM) ini menyebut rakyat di kawasan Semenanjung Malaya sebagai bagian dari Indonesia.
“Marilah kita membentuk satu tanah air untuk seluruh putra-putri Indonesia,” ujar Yaakob saat menjabat tangan Hatta di pertemuan itu, seperti dituliskan kembali oleh Joseph Chinyong Liow dalam The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin, Two Nations (2005).
Kejutan di Tanah Air
Pertemuan senyap di Penang atau Singapura pada 13 Agustus 1945 yang difasilitasi oleh Jepang itu berlangsung singkat. Setelah menyamakan persepsi mengenai penyatuan Semenanjung Malaya dengan Indonesia, forum diakhiri. Sukarno dan kawan-kawan pun bersiap pulang ke tanah air.
Tanggal 14 Agustus 1945, mereka tiba di Jakarta. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (2008) mencatat, Sukarno-Hatta mendapat sambutan megah dari para petinggi Jepang, juga dari jajaran anggota PPKI yang sebagian besar terdiri atas politisi berpengalaman, serta beberapa wakil dari elite pemerintahan tradisional.
Orang-orang ini meyakini bahwa dengan mengikuti saran Jepang terkait pernyataan kemerdekaan, ada jaminan akan terjadi peralihan kekuasaan yang lancar saat merdeka nanti. Pemerintahan yang baru pun akan memperoleh pengakuan nasional dan internasional, sekaligus mendapat simpati dari pemerintah Jepang.
Namun, terjadi kejutan pada hari yang sama dengan kepulangan Sukarno dan kawan-kawan itu. Pada 14 Agustus 1945 itu terdengar kabar Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Asa menanti hadiah kemerdekaan dari Jepang, juga rencana penggabungan Semenanjung Malaya dengan Indonesia menjadi berantakan.
Tersiarnya kabar takluknya Jepang sontak memicu gejolak. Golongan muda dengan dukungan Sutan Sjahrir dan sejumlah tokoh lainnya mendesak kepada Sukarno-Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan, mumpung Jepang sudah tumbang dan Sekutu belum datang.
Namun, golongan tua tetap meyakini janji Jepang seperti yang disampaikan Terauchi di Dalat. Dituliskan oleh Aboe Bakar Lubis dalam Kilas-Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992), Sukarno belum yakin betul bahwa Jepang sudah sepenuhnya menyerah kepada Sekutu.
Perselisihan ini memantik rentetan peristiwa yang kemudian terjadi. Sukarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh golongan muda pada 16 Agustus 1945. Malam harinya, mereka dibawa kembali ke Jakarta dan akhirnya bersedia menyusun teks proklamasi.
Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka, lebih cepat dari yang dibayangkan karena tidak sesuai dengan agenda yang telah direncanakan Jepang sebelumnya dan sudah dimufakati oleh Bung Karno dan kawan-kawan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan