tirto.id - Feniks atau Phoenix (Latin) atau Feng Huang (Mandarin) adalah burung istimewa. Dalam mitologi Yunani, ia kekal. Setelah hidup sekitar 500 tahun, ia membakar diri. Melalui abunya, Feniks terlahir kembali, mengulangi hidupnya. Di dunia teknologi, kisah serupa terjadi. Motorola Razr yang dijuluki “Rolex-nya ponsel” lahir kembali tahun ini.
Lenovo Group Inc, perusahaan asal Cina yang membeli Motorola Mobility dari Google pada tahun 2014, merilis ulang Razr yang pertama kali lahir pada 2004. Kala itu, karena zaman smartphone belum muncul, Razr merupakan feature phone alias ponsel bodoh.
Menurut laporan The Wall Street Journal, versi orisinal Razr atau Razr V3 terjual lebih dari 130 juta unit di seluruh dunia. Kini, bekerjasama dengan Verizon, Razr hadir kembali sebagai smartphone yang dihargai $1.500 per unit.
Razr versi baru mengusung desain yang sama dengan pendahulunya: flip-phone atau ponsel lipat dengan memanfaatkan P-OLED alias "Plastic-OLED". Mirip seperti Samsung Galaxy Fold, ponsel layar lipat dari Samsung.
Alih-alih mengubah ponsel jadi tablet, Razr memilih bertransformasi menjadi ponsel kecil yang muat di kantong kemeja. Ketika dilipat, ukuran Razr berada di angka 94 x 72 x 14 mm, dan tatkala lipatan dibuka ukurannya menjadi 172 x 72 x 6.9 mm.
Chaim Gartenberg dalam ulasannya di The Verge menyebut bahwa desain lipat Razr “Memecahkan banyak masalah yang ada di sebagian besar ponsel pintar saat ini. Pikirkan telepon terlalu besar? Razr terlipat agar pas di hampir semua saku. Khawatir layar Anda tergores? Razr dilindungi setiap saat. Notifikasi terlalu mengganggu? Atasi notifikasi di layar depan yang lebih terbatas.”
“Razr sangat berbeda secara fundamental,” tegas Gartenberg.
Untuk meredam kekhawatiran layar lipat Razr cepat rusak, Motorola mengklaim bahwa Razr “akan bertahan selama rata-rata umur sebuah smartphone.”
Menurut David Goldman dari CNN, meskipun Razr “superdupercrazy expensive”, akan tetapi ponsel ini “sangat keren dan mekanisme lipatan Razr adalah rekayasa teknis yang jenius, yang memecahkan masalah ponsel pintar yang tidak pernah ada orang lain yang mencoba untuk memecahkannya.”
Sempat Sukses dan Dijegal iPhone
Razr atau “razor” pada mulanya merupakan feature phone berukuran 98 x 53 x 13.9 mm yang diluncurkan Motorola pada Juli 2004. V3, varian paling awal Razr bukan ponsel yang umum dipakai seperti sekarang. Ponsel tersebut hanya dapat digunakan untuk telepon, SMS, EMS, MMS, Email, dan Instant Messaging yang terbatas. Untuk berselancar di dunia maya, Razr hanya mengusung WAP 2.0/xHTML.
Namun, menurut CHIPdalam salah satu ulasannya, Razr V3 merupakan ponsel “sekelas Rolex” yang dibuat dengan desain yang ringkas, tipis, dan menggunakan material berkelas.
Sebagaimana diwartakan The Economist, kesuksesan Razr tercipta karena Motorola tidak pernah ragu mengucurkan dana untuk penelitian dan pengembangan. Pada 2004, tahun ketika Razr lahir, Motorola memiliki 4.600 teknisi IT yang dilengkapi dengan dana penelitian sebesar $3,7 miliar. Dukungan dana besar itu menurut Padmasree Warrior--pernah menjabat Chief Technology Motorola--perusahaan sukses "menyederhanakan sesuatu yang kompleks".
Razr, menurut The Economist, adalah "kemenangan dari dunia teknis". Kemenangan yang membuat Motorola untung karena 130 juta unit Razr terjual.
Sayangnya, Razr tak berumur panjang. Pada 2007, yakni bertepatan dengan kemunculan iPhone, ponsel ini perlahan menghilang. Sebagaimana diwartakan The New York Times, penjualan Razr kian melorot hingga perusahaan terkena imbasnya. Kala itu, Motorola bahkan harus merumahkan 7.500 pekerja dan memotong anggaran belanja sebesar $1 miliar.
Kini, 15 tahun setelah versi original lahir, Razr kembali mencoba mengadu peruntungan.
Menjual Nostalgia
Razr versi 2019 mungkin menghadirkan desain teknis yang gemilang. Namun, jika ditelaah lebih jauh, Motorola sesungguhnya sedang menciptakan sensasi nostalgia pada konsumen yang dulu pernah merasakan Razr versi original.
Pemasaran nostalgia merupakan sebuah teknik dengan memanfaatkan aspek-aspek masa lalu. Hal ini bisa memberikan aspek hubungan antara masa lalu dan masa kini. Pasar yang disasar memang memiliki ingatan tertentu tentang suatu produk di masa lalu dan lantas dihadirkan di masa kini.
Mengutip Forbes, perasaan nostalgia dipicu oleh beragam jenis sensoris seperti emosi negatif, kesepian, kesedihan, hingga stres. Aspek-aspek negatif ini berkolerasi dengan pendefinisian awal soal nostalgia. Johannes Hoffer, seorang dokter asal Swiss mendeskripsikan nostalgia sebagai “penyakit neurologis.”
Meski pemicu tersebut terasa negatif, tapi perasaan nostalgia yang kemudian muncul dapat meningkatkan suasana hati dan kenaikan harga diri. Soal emosi negatif ini, Profesor Constantine Sedikides dari School of Psychology, University of Southampton mengatakan pada The New York Times bahwa nostalgia “membuat kita terasa lebih jadi manusia.”
Mayoritas orang akan mengalami rasa nostalgia rata-rata sekali dalam seminggu. Bahkan pada beberapa kasus, orang akan mengalami rasa nostalgia sebanyak tiga atau empat kali seminggu. Rasa nostalgia yang muncul itu dapat menangkal berbagai perasaan seperti bosan dan gelisah. Dengan berbagai manfaat itu, nostalgia terasa penting bagi setiap individu.
Hal ini menjadi peluang dihadirkannya produk-produk retro di masa kini. Seseorang yang berhubungan kembali dengan masa lalunya melalui sebuah produk, mungkin akan merasa bahagia. Dalam sebuah riset tahun 2014 yang dipublikasikan The University of Chicago, seseorang kemungkinan besar akan rela mengeluarkan uang saat rasa nostalgia bisa dihadirkan.
"Kami bertanya-tanya mengapa [perasaan] nostalgia sangat sering digunakan dalam pemasaran. Salah satu alasannya adalah perasaan nostalgia dapat melemahkan hasrat seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang sangat mungkin membeli sesuatu jika mereka [memperoleh] perasaan nostalgia," kata Jannie D. Lasaleta, Constantine Sedikides, and Kathleen D. Vohs dari Grenoble Ecole de Management, dalam laporan mereka yang berjudul “Nostalgia Weakens the Desire for Money.”
Langkah Motorola menghadirkan kembali Razr, mirip seperti yang dilakukan oleh HMD Global yang melahirkan ulang Nokia 3310 dan Nokia 8110. Juga seperti Polaroid dengan OneStep. Atau Leica, Olympus, Fujifilm, dan Nikon yang masing-masing melahirkan ulang desain kamera lawas dalam kerangka mirrorless.
Editor: Irfan Teguh