tirto.id - Kota Mosul yang dikuasai ISIS sejak 2014 lalu kini sepenuhnya jatuh kembali ke tangan pemerintah Irak. ISIS diusir dari Kota tua Mosul yang mereka kuasai selama dua bulan lamanya. Area pertempuran di Kota Tua Mosul kini tinggal menyisakan 254 meter persegi lagi. BBC melaporkan sekitar 30 militan ISIS dilaporkan tewas dibunuh ketika berupaya untuk melarikan diri dengan terjun ke dalam Sungai Tigris.
Pemerintah Irak sudah menyatakan "pembebasan" Mosul timur pada awal Januari lalu, tetapi bagian barat kota belum direbut karena sulitnya kondisi kota yang penuh dengan lorong-lorong sempit sehingga menyulitkan. Kesulitan semakin menjadi ketika pertempuran urban combat terjadi di kota Mosul Tua.
Minggu (9/7/2017) Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, tiba di Mosul untuk mengucapkan selamat dan melakukan perayaan atas kemenangan pasukan Irak terhadap milisi ISIS.
- Baca juga: Campur Tangan Erdogan di Mosul
Mosul adalah ibukota ISIS kedua setelah Raqqa di Suriah. Mosul merupakan pusat komando ISIS di Irak. Di kota inilah, Abu Bakar Al-Baghdadi kali pertama muncul dan mendeklarasikan Kekhilafahan Daulah Islamiyah versi dirinya.
Terhitung sejak operasi pembebasan dimulai 17 Oktober 2016 lalu, butuh waktu 265 hari agar Mosul bisa direbut kembali seutuhnya. Sumber daya yang dikerahkan mencapai 110.000 tentara lebih, timpang dengan jumlah militan ISIS yang berjumlah 10.000 hingga 12,000 orang.
Data Kementerian Pertahanan AS menyebut kerugian tempur pasukan Irak di Mosul, baik itu kendaraan tempur, peralatan tempur atau personel tempur mencapai 40 persen. Itu artinya korban jiwa dari pihak pasukan Irak mungkin bisa lebih banyak daripada milisi ISIS yang mempertahankan kota.
Masih dari laporan yang sama, AS diketahui memberikan bantuan sebesar 1,2 miliar dolar AS atau Rp16 triliun kepada pemerintah Irak dalam bentuk senjata, kendaraan tempur, dan pelatihan.
- Baca juga: Mosul Tidak Jatuh dengan Sesumbar Belaka
Mayor Jenderal Rupert Jones, wakil komandan operasi gabungan pasukan koalisi di Irak, pun mengakui bahwa pertempuran di Mosul begitu sulit dan mengerikan. "Ini adalah pertarungan yang sulit. Ini adalah pertempuran perkotaan terberat yang terjadi setelah perang dunia II," katanya kepada BBC.
Badan-badan bantuan memperkirakan sekitar 900.000 penduduk kota sudah mengungsi sejak tahun 2014, yang berupa setengah dari total jumlah penduduk kota itu sebelum perang. Peperangan dan bombardir pasukan koalisi membuat 80 persen kota mengalami kehancuran total. Jebakan ranjau yang ditanam ISIS di antara puing-puing membuat kota tidak sepenuhnya aman, khususnya di Mosul barat.
"Di Mosul barat, apa yang kita lihat adalah kerusakan terburuk dari keseluruhan konflik. Di lingkungan tempat pertempuran tersebut paling sengit, kami melihat tingkat kerusakan yang tidak ada bandingannya dengan hal lain yang telah terjadi di Irak sejauh ini, " ujar Lisa Grande, koordinator kemanusiaan untuk Irak, kepada Reuters pada Rabu lalu.
Sedikitnya enam dari 44 distrik barat Mosul telah diratakan, kata Grande. Serangan udara, pertarungan rumah-ke-rumah yang sengit dan serangan oleh pelaku bom bunuh diri telah menghapus infrastruktur penting seperti jalan, jembatan, saluran pipa air, dan jaring listrik. Rumah, sekolah dan rumah sakit telah hancur.
PBB memperkirakan pembangunan upaya Mosul kembali akan memakan waktu hingga satu tahun, dan membutuhkan lebih dari 1 miliar dolar. Angka ini hanya untuk mengembalikan layanan dasar seperti air, limbah, listrik, sekolah dan fasilitas medis. Pembangunan kembali jangka panjang tentu membutuhkan dana lebih besar.
Tingkat kerusakan cukup parah ini mempersulit kembalinya ratusan ribu warga Mosul yang melarikan diri dari pertempuran. Lebih dari 900.000 orang, sekitar setengah dari populasi kota, sekarang tinggal dengan anggota keluarga atau di kamp pengungsian.
"Bagi keluarga yang berasal dari lingkungan lain yang hancur parah, saya pikir kita bisa berharap banyak dari mereka akan mencoba untuk kembali dan mereka akan melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk membangun kembali," kata Grande.
"Jika tidak ada pembangunan kembali dan orang tidak kembali ke rumah mereka dan mendapatkan kembali barang-barang mereka, apa arti pembebasan?" Tanya Mohammed Haji Ahmed, seorang pria yang telah melarikan diri dari Mosul dan kehilangan rumah, bisnis dan 15 anggota keluarganya sejak ISIS mengambil alih kota tersebut.
Masalah lain adalah meski Mosul sudah direbut kembali bukan jaminan ISIS tidak akan berbuat onar. Daniel Milton dan Muhammad al-Ubaydi dalam makalah Combating Terrorism Center (CTT) berjudul "The Fight Goes On: ISIS Contiuning Military Efforts in Liberated Cities" sudah mewanti-wanti bahwa kans serangan teror ISIS bisa saja terjadi pasca Mosul direbut.
Dari 11 kota yang direbut kembali pemerintah Irak dalam kurun 2016-2017, ISIS melancarkan serangan balik hingga mencapai 1.333 kali. Data ini bisa jadi pengingat bahwa setelah pembebasan Mosul, masalah baru lain akan datang: sel tidur yang bisa aktif kapan saja.
Siapa yang Akan Diserang?
Dalam konteks target dan tipe serangan yang dilakukan para sel tidur ini, tiap kota memiliki karakteristik berbeda.
Serangan ISIS kebanyakan mengarah kepada militer Irak dan milisi Syiah. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena dua elemen ini yang biasanya memimpin tindakan kontra-ofensif merebut kembali teritori ISIS. Mereka tidak tertarik menyerang pasukan peshmerga Kurdi dan Polisi Irak, yang sebetulnya dua elemen ini juga terlibat dalam peperangan.
Di daerah yang didominasi masyarakat Sunni seperti Provinsi Salahuddin dan Anbar, ISIS memainkan narasi sentimen anti-Syiah kepada para penduduk lokal.
Di kota Baiji, Tikrit dan Samara (Provinsi Salahudin) hampir 80 persen serangan mengarah pada milisi Syiah. "Kemungkinan lain karena mereka ingin mendapatkan dukungan dari penduduk lokal dan tampil sebagai pelindung mereka," tulis jurnal CTC.
Narasi sama juga terjadi di Provinsi Anbar. Namun di Anbar, 80 persen target serangan adalah militer Irak. Temuan di lapangan milisi Syiah ada di Anbar dalam jumlah besar. Faktanya meskipun oleh pemerintah Irak para milisi ini dijadikan sebagai pasukan resmi pemerintah, ISIS tetap tidak bisa dikelabui. "ISIS dapat membedakan target yang mereka sasar."
Narasi ini kemungkinan besar akan digunakan kembali oleh ISIS untuk merebut simpati penduduk Mosul. Jadi tugas berat pemerintah Irak untuk mengikis konflik sektarian dengan mengerem dan mengontrol para milisi Syiah di Mosul yang jumlah mencapai belasan ribu untuk tidak berbuat macam-macam.
Seperti Apa Metode Serangannya?
Ada enam kategori serangan yang biasa dilakukan ISIS setelah kota mereka berhasil direbut. Keenam serangan itu adalah bom bunuh diri, inghimashi, serangan bersenjata (tanpa si pelaku berniat mati dalam aksi dalam serangan), IEDs (bom rakitan yang dikendalikan dari jarak jauh), proyektil tidak langsung (seperti mortir), senjata api langsung (seperti tembakan sniper atau RPG).
Sama seperti saat menyasar target, dalam konteks strategi meneror, ISIS punya taktik yang berbeda-beda di tiap kota. Pada kota yang tidak jauh dari garis depan pertempuran, seperti Palmyra di Suriah atau Kirkuk di Irak misalnya, para sel tidur ISIS tidak segan menyerang dengan senjata ringan dan berhadapan langsung dengan pasukan pemerintah. Serangan bersenjata ini biasanya dibarengi dengan aksi inghimashi.
Pola berbeda dilakukan di kota-kota yang jauh dari garis depan pertempuran. CTC menemukan bahwa ISIS akan berupaya menghindari konfrontasi langsung agar tidak menguras sel tidur mereka di area ini. Strategi mereka lebih cenderung memakai aksi bom bunuh diri atau IEDs. Pola ini dilakukan ISIS di Manbij, Suriah dan Falujah, Irak.
Jenis IED ini biasanya dilekatkan pada kendaraan target menggunakan beberapa bentuk perekat. Pola ini amat berbahaya karena melibatkan sel tidur ISIS dan bisa membunuh tokoh kunci di wilayah yang sudah dibebaskan.
Konklusi dari riset CTC menemukan bahwa di beberapa dari 16 kota yang diteliti dalam laporan ini, kekerasan memang telah berkurang secara signifikan sejak pembebasan. ISIS pun tampaknya tidak mampu atau tertarik lagi menghidupkan kembali kegiatan militernya di kota yang telah direbut dalam waktu dekat. Tapi bukan mesti kita abai, pasca perang fisik, maka perang selanjutnya kini telah menanti pemerintah Irak, yakni perang ideologis mengikis pemikiran ISIS di tengah masyarakat Irak yang rentan didera konflik sektarian.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti