tirto.id - Kepolisian memastikan penyebab ledakan di lokasi konser Ariana Grande, Manchester, Inggris akibat serangan teroris. Aksi teror ini menewaskan 22 orang serta melukai 59 orang sisanya. Polisi mengkonfirmasi pelaku teror melancarkan serangan dengan cara aksi bunuh diri. "Kami meyakini pelaku membawa bom rakitan yang diledakkan untuk mengakibatkan kekejaman ini."
Pelaku yang ditengarai seorang pria, tewas langsung di lokasi kejadian. "Pada tahap ini, kami yakin pelaku adalah seorang pria. Pelaku membawa bom rakitan yang diledakkan untuk mengakibatkan kekejaman ini," ucap Kepala Kepolisian Manchester Ian Hopkins dikutip dari SkyNews, Selasa (23/5/2017).
Sampai tulisan ini diturunkan, pihak Kepolisian Inggris masih menyelidiki siapa dalang di balik aksi teror ini. Di sisi lain, kelompok yang kerap meneror Eropa yakni ISIS masih bungkam enggan mengklaim aksi didalangi oleh mereka. "Prioritas kami adalah memastikan apakah dia beraksi sendiri atau bagian dari sebuah jaringan," ucap Ian.
Richard Fenning, CEO global di Political Consultancy Control Risk kepada CNBC menyebut sangat kecil kemungkinan aksi di Manchester dilakukan secara teroganisir seperti serangan ISIS di negara Eropa lain. "Sangat tidak mungkin bahwa ini adalah bagian dari beberapa serangan terkoordinasi yang dikontrol dari luar Inggris," katanya. Richard lebih menilai aksi ini dilakukan secara lone-wolf.
Pernyataan berbeda diungkap Fred Burton, peneliti keamanan Stratfor yang ahli di bidang kontra terorisme Amerika Serikat. Kata Fred, tingkat perencanaan strategis yang dilakukan pelaku sangat mengesankan. Bagaimana mungkin si pelaku berhasil menyelinap ke dalam salah satu stadion indoor terbesar di Eropa di tengah konser musik artis ternama yang tentunya akan dijaga dengan pengamanan ekstra ketat.
"Mereka sukses menempatkan peledak di dalam area konser yang padat, ini adalah rencana yang dipikirkan dengan baik. Terlepas dari siapapun pelakunya, ini tentu operasi yang sangat sukses," katanya.
Polisi memang belum mengkonfirmasi dalang di balik aksi ini, tapi pola serangan yang sama dengan aksi-aksi teror di Eropa lainnya membikin tuduhan terdekat diarahkan pada mereka yang terafiliasi dengan ISIS. Meski belum dirilis secara resmi oleh polisi dalam rilis yang dikeluarkan oleh Amaq, ISIS mengklaim aksi di Manchester adalah ulah dari mereka.
Tudingan kepada ISIS ini sudah diprediksi sebelumnya. Hasil penelusuran SITE Intelligence Group dari sosial media menemukan bahwa para pendukung ISIS bertempik sorak merayakan serangan di Manchester yang mereka sebut sebagai pembalasan atas perilaku RAF (AU Inggris) membombardir saudara mereka di Mosul dan Raqqa.
Serangan teror yang diakhiri dengan aksi bunuh diri lazim dilakukan ISIS di luar Irak dan Suriah. Para pendukung ISIS mempunyai istilah baru untuk aksi ini, mereka menyebutnya Inghimasi. Serangan Bataclan dan Charlie Hebdo di Perancis, serangan di hotel Port El Kantaoui, Tunisia, serangan di Bandara Attaturk Turki dan serangan bom Tamrin di Jakarta adalah bagian dari inghimasi, ketika nasib semua pelaku diakhiri dengan bunuh diri.
Inghimasi berasal dari kata kerja bahasa Arab Inghamasa (انغمس) yang berarti "mencemplungkan" atau "menjadi tenggelam", Pelaku inghimasi setuju mereka bahwa akan mati dalam operasi. Inghimasi dipopulerkan oleh Al-Qaeda, mulai populer di media sosial tahun 2011, dan muncul di media-media Arab tahun 2013.
Meski sama-sama berujung pada aksi bunuh diri, inghimasi berbeda dengan Isyhtishadi (pelaku bom bunuh diri). Pelaku inghimasi sering beroperasi dalam kelompok dan biasanya berjalan kaki, dipersenjatai dengan senjata ringan, granat, dan bom yang dilekatkan dalam rompi atau dimasukkan dalam tas.
Sementara isytishadiun pada masa sekarang biasanya selalu dilekatkan pada aksi-aksi bom bunuh diri secara sendirian dengan kendaraan yang dilengkapi dengan puluhan kilo bahan peledak menerobos pertahanan musuh.
Jika isytishadi lebih cenderung frontal, maka inghimasi lebih cenderung soft: mereka akan menyamar, menyusup dan sebisa mungkin masuk ke dalam titik kerumunan massa untuk menimbulkan efek yang lebih besar.
Kita belum bisa memastikan pada aksi serangan di Manchester apakah masuk dalam kategori inghimasi atau isyhtishadi. Kabar sang pelaku bom bunuh diri yang membawa senjata masih simpang siur. Polisi pun masih bungkam perihal laporan seorang pelaku lain yang diketahui sempat terlihat membawa senjata di sekitar Royal Oldham Hospital.
Yang pasti serangan dengan gaya inghimasi kini semakin populer di Eropa dan Amerika Utara. Hal ini terjadi lantaran mendapatkan senjata dan membuat rompi ledak lebih mudah ketimbang membikin bom dengan daya ledak tinggi.
Dalam konteks serangan di Manchester, bom yang dipakai adalah bom paku. Meski berdaya ledak rendah, posisi bom yang ditempatkan di tengah kerumunan massa membuat wajar jika korban tewas cukup banyak. Dangan daya ledak rendah sudah cukup membuat paku, baut dan serpihan besi untuk masuk dan merobek daging orang yang berdiri di sekitarnya.
Cameron Colquhoun Managing Director Neon Century - sebuah perusahaan konsultan intelijen yang berbasis di London mengatakan pelopor masuknya inghimasi ke Eropa adalah sekelompok pejuang Libya yang berbasis di Suriah yang dikenal sebagai Katibat al-Battar.
Kelompok ini banyak disusupi oleh para milisi yang berasal dari Perancis dan Belgia. Dari sinilah konsep mulai dipakai meneror Afrika Utara dan Eropa. Inghimasi pertama mencapai Eropa, dalam bentuk serangan teroris di Paris, pada bulan November 2015. Berbagai serangan - penembakan, rompi bunuh diri, dan penyanderaan, menunjukkan kemajuan dalam perencanaan dan taktik ISIS.
Di teater Bataclan , Sami Amimour, Omar Ismail Mustefai dan Fouad Mohamed Aggad melakukan operasi bergaya Inghimasi, menembak sandera mereka sebelum meledakkan diri. Di Indonesia, pola ini juga ditiru ketika M Ali dan Afif meledakkan diri di depan Kafe Starbuck setelah sebelumnya menembak polisi lalu lintas.
Cameron menyebut ada tiga alasan kenapa ISIS begitu menggemari serangan teror dengan pola inghimasi ini. Kata Cameron, efek dampak serangan bom bunuh diri hanya memiliki rentan waktu yang instan secara pemberitaan: serangan terjadi dan media akan terfokus pada akibatnya.
Ini tentu berbeda dengan operasi inghimasi yang di mana ada adegan tembak-tembakan, penyanderaan dan diakhiri dengan tindakan "heroik" meledakkan diri. Drama ini tentu akan dengan mudah menyebar di era digital yang begitu masif seperti sekarang. Kata Cameron, operasi inghimasi bagus secara promosi untuk mendoktrin bibit simpatisan ISIS baru. ISIS memang begitu getol memaksimalkan sosial media dalam setiap operasi inghimasi. Saat serangan ke kantor Charlie Hebdo, salah satu penyerang menyiarkan serangannya itu secara langsung di Facebook Live.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti