tirto.id - Moeldoko semakin jarang tampil di hadapan publik setelah Konferensi Luar Biasa (KLB) Deli Serdang Partai Demokrat, yang menetapkan dirinya sebagai ketua umum, tidak diakui pemerintah. Namun, di balik kesunyian tersebut, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) ini bergerilya mempromosikan Ivermectin sebagai obat penyembuh Covid-19.
Ivermectin baru diizinkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diuji klinis sebagai obat Covid-19 pada 28 Juni. Sebelumnya, izin edar bagi Ivermectin adalah obat strongyloidiasis usus karena parasit nematoda stronglyoides stercoralis atau cacing gelang, serta untuk pengobatan onchocerciasis akibat nematoda parasit onchocerciasis volvulus. Mudahnya, sebagai obat cacing.
BPOM tidak berani mengklaim Ivermectin sebagai obat Covid-19 melainkan salah satu pilihan terapi yang bisa digunakan dokter untuk pasien jika memang sudah teruji.
Tapi toh Moeldoko telah getol membagikannya sejak bulan lalu. Dan yang dia jadikan 'mesin' adalah kelompok tani.
Cerita bagaimana Moeldoko dapat memobilisasi kelompok tani dapat dirunut sejak 10 tahun lalu, ketika terjadi perpecahan di tubuh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di sebuah hotel kawasan Sanur, Denpasar, Bali.
Musyawarah Nasional VII HKTI tidak mencapai kata sepakat. Versi pertama menetapkan Prabowo Subianto sebagai ketua umum periode 2010-2015. Keesokan harinya, versi tandingan memunculkan nama Oesman Sapta Odang (OSO) dengan posisi yang sama. Pada 2015, Prabowo digantikan oleh Fadli Zon yang juga kader Partai Gerindra. HKTI versi Fadli sudah mendapat pengakuan dari Mahkamah Agung, sedangkan HKTI versi OSO diteruskan oleh Mahyuddin.
Pemerintah condong memihak HKTI versi OSO yang juga Ketua Partai Hanura, bagian koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal ini terlihat dari kedatangan Jokowi di Munas VIII HKTI versi OSO di Asrama Haji Pondok Gede. Pemerintah melalui Kemenkumham juga mengeluarkan surat keputusan yang mengakui kepemimpinan HKTI versi OSO.
Pada 2017, Mahyuddin mengundurkan diri. Kepemimpinan HKTI versi OSO diteruskan oleh Moeldoko sampai 2020, lalu terpilih lagi untuk memimpin sampai 2025. Moeldoko juga ditunjuk sebagai KSP pada 2018.
Dualisme ini hanya bertahan sampai 2020, setelah setahun sebelumnya Partai Gerindra akhirnya bergabung ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Baik Fadli dan Moeldoko mengatakan kesejahteraan petanilah yang harus diutamakan, dan dualisme menyulitkan tujuan tersebut. “Sudah waktunya HKTI bersatu kembali untuk memikirkan masa depan petani dan pertanian,” kata Moeldoko 28 Mei 2020.
Tapi Moeldoko tetap punya 'kaki' di HKTI. Pada September 2020, ia masih menandatangani surat keputusan tentang susunan pengurus pusat HKTI 2015-2020. Di sana masih tertera jelas bahwa ia adalah Ketua Umum DPP HKTI. Januari 2021, Moeldoko juga melantik DPP HKTI 2020-2025 secara virtual.
Dalam konteks inilah dia masih bisa mengatasnamakan HKTI untuk mendistribusikan Ivermectin.
PT Harsen Laboratories, peracik Ivermectin, bahkan menyebut Moeldoko sebagai orang yang memelopori distribusi. Moeldoko pula yang mendorong agar Ivermectin segera diproduksi secara masif.
Distribusi mulai tercatat pada awal Juni. Moeldoko membagikannya di Semarang dan Kudus secara gratis.
Pada akhir Juni, dalam sebuah webinar, Moeldoko mengklaim Ivermectin manjur mengobati pasien Covid-19 “di Kota Tangerang, Jakarta Timur, Depok, Bekasi.” Sejauh ini Moeldoko mengaku sudah menyalurkan ribuan obat tersebut ke berbagai daerah.
Ketika BUMN melalui Menteri Erick Thohir juga mempromosikan Ivermectin, Moeldoko semakin yakin apa yang dia lakukan sudah benar. Dia menilai omongan Erick “langkah yang tepat.” “Masyarakat sekarang bisa lebih memahami mengapa saya atas nama Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia tiga pekan lalu bertindak cepat kirim Ivermectin untuk masyarakat di Kudus (Jateng),” kata Moeldoko dalam keterangan tertulis.
Sekitar seminggu setelahnya, PT Harsen Laboratories dianggap melanggar beberapa aturan dan pabriknya dikabarkan ditutup sementara.
Selain itu, fakta bahwa Ivermectin belum mendapatkan persetujuan dari BPOM, juga dikritisi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), membuat tindakan Moeldoko dikritik. Tapi ia punya pembelaan dengan mengibaratkan pandemi seperti perang.
“Melihat situasi dalam negeri, melihat apa yang dilakukan negara-negara lain di dunia, saya selaku Ketum HKTI dan juga mantan Jenderal TNI, tentu berpikir sedikit berbeda di dalam melihat situasi ini,” kata dia masih dalam diskusi daring Frontline Covid-19 Critical Care Alliance Indonesia.
Jokowi Pakai TNI
Jika Moeldoko lebih punya kesempatan menggerakkan petani, Jokowi, bos Moeldoko, lebih mengandalkan militer untuk melawan pandemi, kebiasaan yang sebetulnya telah dia yakini untuk banyak kebijakan lain.
Jokowi memakai militer untuk menegaskan kebijakan jaga jarak dan penerapan protokol kesehatan pada masa awal pandemi. Dua figur militer, Terawan Agus Putranto dan Doni Monardo, memimpin institusi yang sangat berpengaruh dalam penanganan pandemi, Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Pada hari-hari berikutnya, Jokowi juga menunjuk Kepala Staf Angkatan Darat Andika Perkasa sebagai Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pada September 2020, Jokowi juga meminta agar pasukan militer yang diperbantukan untuk mengawasi protokol kesehatan ditambah. Setidaknya sudah ada 340 ribu personel TNI yang diperbantukan demi penerapan protokol kesehatan.
“Bagaimanapun peran militer lebih intensif dalam beberapa bulan belakangan,” catat Natalie Sambhi.
Sedangkan Greg Frealy dari Universitas Nasional Australia berpandangan Jokowi terutama mengandalkan militer dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menangani pandemi. Pernyataan Frealy mengacu pada situasi tahun lalu, ketika pemerintah membiarkan TNI bersama BIN dan Universitas Airlangga mengembangkan obat Covid-19 yang minim dasar ilmiahnya.
Selain itu, pemerintah juga dianggap memperluas kewenangan TNI dengan dapat menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Tidak adanya aturan lengkap dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 jadi salah satu celah penindakan itu.
“Jokowi percaya TNI jauh lebih efektif daripada polisi dan pejabat publik dalam mendorong upaya penerapan protokol kesehatan. Kepatuhan publik adalah mitigasi yang dianggap Jokowi sukses untuk membuka kembali perekonomian tanpa menaikkan tingkat penyebaran Covid-19,” catat Frealy dalam “Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State” (2020).
Berbahaya
Pengamat politik menduga apa yang dilakukan Moeldoko sekadar manuver politik, atau lebih tepatnya demi Pilpres 2024. Moeldoko tengah mencari panggung, dan yang paling mungkin dia pakai adalah HKTI yang masih melekat padanya. Motif ini pula yang menjelaskan mengapa dia bisa tiba-tiba menjadi Ketua Umum Partai Demokrat--meski pada akhirnya tak diakui.
Kalaupun benar, cara ini sebenarnya tak berpengaruh besar--jika merujuk pada Pilpres 2019. Ketika itu suara petani terpecah. Meski sebagian besar condong kepada Jokowi, jumlahnya tidak terlalu signifikan. Lembaga survei Indo Barometer mencatat perbedaannya hanya sekitar 10 persen.
Apa pun alasannya, apa yang dilakukan Moeldoko dianggap telah mengancam keselamatan publik. Moeldoko membagikan Ivermectin secara cuma-cuma tanpa kewaspadaan; seakan itu adalah permen biasa. Seorang epidemiolog mengatakan klaim-klaim Moeldoko terkait Ivermectin “sudah melampaui batas.”
Kendati demikian, Moeldoko yang lagi-lagi mengambil langkah sendiri masih dipertahankan Jokowi hingga kini.
Editor: Rio Apinino