tirto.id - Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa mengklaim kandidat obat COVID-19 yang dibuat Universitas Airlangga (Unair) dan didukung TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) telah melalui uji klinis fase tiga. Selanjutnya, obat ini tinggal diregistrasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum siap produksi massal dan diedarkan ke masyarakat.
“Berdasarkan penjelasan dari ketua tim pelaksana research tadi, semua sudah memenuhi science,” kata Kasad, yang juga Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Sabtu (15/8/2020) lalu.
Klaim ini diragukan ahli lain, salah satunya karena nihilnya akuntabilitas.
Pengajar di Departemen Biostatistik, Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengatakan dalam proses uji klinis peneliti harus memenuhi prinsip Good Clinical Practice (GCP) atau Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), yang salah satunya menekankan pada pendokumentasian penelitian--aspek yang tidak terlihat dalam penelitian ini.
“Ini yang sepertinya tidak tampak. ‘Se-njlimet’ dan ‘se-terdokumentasi’ apa proses uji klinis itu. Kan tiba-tiba muncul begitu. Meskipun mereka bilang menggunakan randomize controlled trial (uji acak terkendali), dan lain-lain, tapi yang penting bagaimana mereka comply dengan GCP-nya dan bagaimana dokumentasi itu menunjukkan mereka memang comply. Kunci pentingnya di situ,” kata Riris kepada reporter Tirto, Senin (19/8/2020).
Dokumentasi uji klinis mereka memang tidak dapat ditemukan. Satu-satunya keterangan soal obat ini datang lewat keterangan pers pada Minggu (16/8/2020) yang dilakukan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Unair Purwati. Ia menuturkan obat ini adalah gabungan dari Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Ia mengatakan uji klinis dilakukan terhadap pasien gejala ringan, sedang, dan berat yang dirawat tanpa menggunakan ventilator. Jumlahnya mencapai 754 subjek--melebihi target BPOM yakni 696. Di antaranya berasal dari Sekolah Calon Perwira TNI AD. Hasilnya, subjek penelitian diklaim menunjukkan perbaikan klinis sebesar 90 persen dalam kurun waktu 1-3 hari. Selain itu, obat gabungan ini memiliki efek samping yang lebih kecil dibanding dengan obat tunggal.
Riris menjelaskan, dalam pengujian obat-obatan dengan uji acak terkendali, peneliti mendistribusikan berbagai macam karakteristik, mulai dari usia, beratnya gejala, dan lain lain ke dalam masing-masing kelompok. Yang membedakan hanya perlakuannya, satu kelompok diberikan obat yang diuji dan kelompok lainnya ditangani biasa. Metode itu dilakukan untuk menghindari bias atau kausalitas palsu sehingga jika terjadi perbedaan hasil di antara kelompok yang diuji maka bisa dipastikan itu dipengaruhi oleh obat tersebut.
Persebaran partisipan itu tidak terlihat dalam obat ini--yang Rektor Unair sebut sebagai "obat antiviral yang secara spesifik untuk SARS-CoV-2 pertama di dunia."
Selain itu, Riris juga melihat ada konflik kepentingan di sini karena keterlibatan institusi negara. Pemerintah melalui TNI dan BIN yang turut dalam penelitian membuat mereka punya kepentingan agar obat COVID-19 bisa diklaim ditemukan secepatnya, terlepas dari seberapa pun buruknya tahapan menuju itu.
Karenanya, urgensi untuk membuka hasil uji klinis fase tiga semakin besar sehingga fungsi kontrol itu juga bisa dijalankan oleh publik.
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menjelaskan lebih jauh soal obat yang dipakai sebagai kombinasi serta manfaatnya. Dalam kasus HIV, Lopinavir-Ritonavir memang terbukti mampu mencegah terbentuknya virus-virus HIV secara sempurna sehingga menghambat AIDS atau komplikasi akibat infeksi HIV. Demikian pun Hydrochloroquine mampu menurunkan kadar basa dalam endorsom sehingga merusak virus malaria sebelum melepaskan konten genetiknya.
“Prinsipnya semua virus [termasuk SARS COV-2] itu perlu dirakit, tapi apakah menggunakan protease yang sama?” kata dia.
Dalam penelitian in vitro terhadap hydrochloroquine, sempat ditemukan bahwa zat ini mampu menolong sel vero, yakni jalur sel yang berasal dari ginjal monyet hijau Afrika, dari SARS CoV-2. Namun ketika diuji coba ke sel manusia, rupanya tidak berhasil.
Uji klinis yang dilakukan Team Recovery dari Universitas Oxford pun tidak menemukan adanya pengaruh Hydrochloroquine terhadap kesembuhan pasien COVID-19. WHO pun telah menghentikan uji klinis terhadap obat ini.
“Dari Team Recovery itu, pemberian Hydroxychloroquine justru memperlama perawatan di rumah sakit; proporsi pasien yang memburuk lebih tinggi,” kata Ahmad.
Sementara dalam penelitian yang dipublikasikan di The New England Journal of Medicine terhadap 199 pasien COVID-19, ditemukan pengobatan dengan Lopinavir-Ritonavir tidak berpengaruh terhadap kesembuhan. Setelah 28 hari diteliti, tingkat kematian di antara kelompok yang diberi Lopinavir-Ritonavir dan yang ditangani dengan cara biasa cenderung mirip, 19,2 persen berbanding 25,0 persen.
Namun, Ahmad juga mengingatkan bahwa penelitian itu dilakukan untuk penggunaan secara tunggal, sementara obat bikinan Unair, AD, dan BIN adalah gabungan dari komponen-komponen tersebut sehingga ada kemungkinan hasilnya berbeda.
Persis karena inilah keterbukaan semakin penting.
“Makanya kami juga perlu tahu hasilnya seperti apa ketika diberikan kombinasi. Yang banyak rekan-rekan ilmuwan juga ingin tahu terkait komposisi pasien yang diuji klinis, dari 700an itu, berapa sih proporsi yang [gejala] sedang dan berat,” kata dia.
Dalam artikel yang tayang di Jawapos, Rektor Unair Mohammad Nasih mengatakan obat mereka pasti memicu pro dan kontra. “Itu pasti, sudah sunatullah,” tulisnya.
Meski mewajarkan, ia mengatakan respons yang “lambat dan cenderung menghalang-halangi dengan alasan etis maupun birokrasi dan administrasi merupakan bukti bahwa ada konspirasi.”
Ia lantas menutup tulisannya dengan mengkritik balik. “Bagaimana orang merespons hasil penelitian ini menunjukkan dengan sangat nyata di mana yang bersangkutan memilih posisi dan ke mana berpihak,” katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino