Menuju konten utama

Mobilisasi Massa ala 212: Mungkinkah Terulang Jelang Pilpres 2019?

Datang dengan mobilisasi dan konsolidasi yang kuat untuk menjatuhkan Ahok, gerakan 212 kini malah justru limbung. Bagaimana nasibnya dalam kontestasi Pilpres 2019?

Mobilisasi Massa ala 212: Mungkinkah Terulang Jelang Pilpres 2019?
Umat muslim mengikuti aksi 212 di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/2). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww/17.

tirto.id - Sabtu, 2 Desember 2017, pelataran Monumen Nasional (Monas) dipenuhi ribuan orang berpakaian putih-putih. Tak cuma dari Jakarta, mereka datang dari kota-kota lain untuk merayakan satu tahun Aksi 212.

Namun, reuni aksi yang acapkali diklaim “terbesar sepanjang masa” itu tak luput dari pro dan kontra. Banyak yang memuji, tapi tak sedikit pula yang mengkritik. Misalnya saja Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menuding aksi reuni 212 sarat dengan kepentingan politik.

“Ini juga enggak akan jauh-jauh dari politik, tetapi politik 2018-2019,” kata Tito di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, kala ditanya tentang rencana reuni akbar tersebut, dilansir dari Kompas (30/11/17).

Pernyataan Tito dikonfirmasi oleh sejumlah tokoh 212. Ahmad Dhani, misalnya, musisi yang banting setir jadi politisi dadakan ini terang-terangan menyebut bahwa rentetan agenda aksi bela Islam sejak 2016, baik Aksi 411, 212, 299, sampai Reuni Aksi 212, disusun dengan tujuan politis untuk mengganti pemerintahan yang tengah berkuasa.

“Kalau menurut saya 212 ini bisa dibilang aksi politik. Karena Ahok pun menjadi tidak menang. Ini asumsi awam saya,” kata Dhani kepada Tribunnews pada Sabtu (2/12/2107) di Monas.

Punggawa band Dewa 19 yang juga kader partai Gerindra itu menambahkan, reuni Aksi 212 adalah reaksi politik dari apa yang dialami umat Islam di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). “Umat Islam boleh berpolitik. Wajib. Dan saya rasa ini adalah reaksi dari apa yang dialami umat Islam dua tahun terakhir,” lanjutnya.

Sejumlah tokoh dari ormas-ormas Islam yang hadir dalam acara itu juga mengarahkan agar peserta aksi kelak memilih pemimpin Muslim. Definisi "pemimpin Muslim" sendiri dirumuskan oleh para ulama dan tokoh yang datang dalam kesempatan itu.

Seruan untuk memilih pemimpin Muslim di daerah-daerah pada Pilkada 2018 juga muncul dari Irfianda Abidin, Ketua Umum Komite Penegakan Syariat Islam Sumatera Barat. Saat memberikan orasi di atas panggung, Irfianda mengklaim bahwa kepemimpinan Gubernur baru Jakarta, Anies Baswedan telah mengubah kota tersebut menjadi lebih “aman dan tenang.”

Irfianda pun memuji Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI dan Front Pembela Islam (FPI) atas keberhasilan menumbangkan Ahok dalam Pilkada Jakarta DKI 2017 lalu, dan mengajak para peserta Reuni Aksi 212 melakukan hal serupa di daerah-daerah lain.

“Apa yang sudah dilakukan teman-teman kita di Jakarta, apakah di daerah kita tidak akan mengikutinya? Maka setelah kita pulang saudara, kita akan kembali melaksanakan reuni lagi 2018. Kita akan melaksanakan reuni ketiga 2019. Dan ganti kepala di tempat saudara masing-masing,” serunya sebagaimana dicatat Tirto.

Senada dengan Irfianda, Habib Hamid bin Abdullah Kaff, ulama yang datang dalam aksi reuni tersebut juga menyampaikan seruan serupa. Dalam orasinya, Hamid mengingatkan agar umat Islam tidak memilih non-Muslim, baik pemimpin dan wakilnya dalam Pilkada serentak 2018 maupun Pilpres 2019 mendatang.

Corak Mobilisasi Islam

Hasil riset terbaru yang disusun Burhanudin Muhtadi bersama Marcus Mietzner dan Rizka Halida berjudul “Entrepreneurs of Grievance Drivers and Effects of Indonesia’s Islamist Mobilization,” (2018) mengungkap banyak temuan menarik pasca-mobilisasi 212.

Burhan dkk menggunakan rumusan pakar studi Timur Tengah Quinn Mecham dari Bringham Young University tentang "mobilisasi Islam". Frasa “mobilisasi Islam” sendiri punya dua kata kunci: Islamis dan mobilisasi. Menurut konseptualisasi Mecham, ‘Islamis’ di sini merujuk pada “pemenuhan agenda agama Islam yang melibatkan keterlibatan negara.” Sementara mobilisasi berarti "kegiatan yang berusaha memengaruhi kebijakan negara".

Apabila digabungkan dalam satu konteks, “mobilisasi Islam” didefinisikan Mecham sebagai “upaya untuk menyelaraskan kebijakan negara dengan prinsip-prinsip Islam.” Cakupan mobilisasi Islam meliputi aktivitas pengorganisiran pemilih agar mencoblos partai dan calon yang berorientasi pada Islam serta mengikuti demonstrasi yang mengatasnamakan Islam.

Dalam kasus 212, Burhan dkk mengamati peran sentral mobilisasi massa oleh pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dalam protes anti-Ahok. Rizieq juga melibatkan pihak-pihak lain untuk bergabung dalam aksi tersebut, mulai dari kalangan pebisnis hingga elite politik. Tercatat ada Prabowo Subianto sampai Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut berpartisipasi dengan meminta Ahok mempertanggungjawabkan ucapannya.

Menariknya, yang terjadi di lapangan tak sesederhana tuntutan massa untuk meminta Ahok dipenjara. Agenda politik 212 bahkan melebar; menggunakan protes anti-Ahok untuk menentang pemerintahan Jokowi yang diklaim "kelewat sekuler". Bahkan, dengan beking jaringan pebisnis bermodal besar dan elite oposisi, muncul kepentingan politis untuk mengganti pemerintahan yang kini berkuasa.

Burhan dkk mencatat dua narasi kunci yang dalam aksi 212. Pertama, tentang "penodaan agama" oleh Ahok yang diklaim telah membuat umat Islam di Indonesia tersinggung. Narasi ini menghendaki agar warga non-Muslim tidak lagi diberi panggung politik selepas Ahok didakwa menghina Islam. Sebagai gantinya, gerakan 212 mendorong agar Muslim Indonesia memilih pemimpin seagama.

Adapun narasi kedua menyentuh isu ekonomi. Bagi kelompok Islam yang turun gelanggang dalam aksi tersebut, protes anti-Ahok dimanfaatkan pula untuk mengkritik penguasaan ekonomi oleh kelompok elite yang dipandang telah “merebut lahan pendapatan” umat Islam. Singkatnya: yang Islam makin miskin, yang non-Islam makin kaya raya. Namun, bagi gerakan 212, isu ketimpangan ekonomi diartikulasikan sebagai masalah rasial (alih-alih kelas) dengan menunjuk satu kelompok minoritas: warga keturunan Cina.

Mengubah Banyak Hal

Riset Burhan dkk menggali beberapa temuan penting lainnya terkait basis pendukung dan penentang aksi 212. Peningkatan jumlah Muslim yang menolak peran non-Muslim di ranah politik—terutama yang duduk di jabatan eksekutif—ternyata meningkat. Usai aksi 212, angka penolakan terhadap politisi non-Muslim berada di kisaran 49,6%, atau meningkat sebesar 7,3% dari sebelum mobilisasi 212.

Persentase masyarakat yang meyakini Ahok bersalah dalam kasus "penodaan agama" juga masih berada di angka yang tinggi, terlebih di bulan-bulan di mana demonstrasi besar terjadi. Pada November 2016, jumlahnya mencapai 70%. Sebulan berselang, turun jadi 63%. Sedangkan pada Februari 2017, persentasenya naik satu persen menjadi 64%.

Kendati turun, riset Burhan dkk menegaskan bahwa para pentolan aksi berhasil mempertahankan narasi penodaan agama sebagai metode yang efektif guna mencapai agenda politik mereka. Angka-angka penolakan yang tinggi itulah yang akhirnya turut memuluskan pemenjaraan Ahok, di samping membuka pintu kemenangan bagi Anies Baswedan.

Aksi 212 rupanya juga mampu mengubah persentase dukungan terhadap FPI. Burhan dkk mencatat peningkatan persentase dukungan untuk FPI yang meningkat selama rentang waktu Maret 2016 sampai Agustus 2017. Dari yang semula hanya 15,6% menjadi 23,6%. Rizieq Shihab, selaku pentolan aksi, dianggap sukses menancapkan narasi-narasinya soal Islam yang sektarian; penerapan hukum syariah, kedudukan Muslim dalam politik, serta pandangan akan "kelompok asing" yang dinilainya "merugikan Islam".

Aksi 212 pun turut membelah umat Islam di Indonesia ke dalam dua kubu. Kelompok pertama mendukung pemerintahan Jokowi dan sering dicitrakan sebagai Muslim yang toleran (menerima non-Muslim di ranah politik, menghormati ibadah agama lain), menentang FPI, serta menolak anggapan bahwa perekonomian mereka dirampas oleh kelompok non-Muslim.

Sementara kelompok kedua adalah Muslim yang turut serta dalam aksi 212. Kelompok ini digambarkan pro-Prabowo, menolak pemerintahan Jokowi yang diklaim "sekuler", serta bersikeras bahwa non-Muslim tidak semestinya berpolitik.

Laporan Burhan dkk juga memetakan kelompok mana yang paling tertarik dengan mobilisasi Islamis. Hasilnya, kelompok Muslim dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah punya kemungkinan lebih besar tertarik terhadap pesan-pesan Islamis selama protes, dibandingkan dengan kelompok Muslim dari kelas menengah.

Ihwal ini bisa dilihat dari data berikut yang disodorkan dalam “Entrepreneurs of Grievance Drivers and Effects of Indonesia’s Islamist Mobilization". Pada 2016, hanya ada 39% muslim yang lulusan SD (atau lebih rendah) yang keberatan dengan pemimpin non-Muslim. Satu tahun kemudian, jumlahnya naik jadi 48%. Gambaran sebaliknya terjadi pada kelompok Muslim berpendidikan tinggi. Pada 2016, 44% responden Muslim berpendidikan tinggi menolak pemimpin non-Muslim. Angka itu menurun pada 2017 ke 43%.

Di sisi pendapatan, jumlah Muslim berpenghasilan rendah (di bawah Rp1 juta) yang menolak pemimpin non-Muslim juga melonjak. Pada 2016, hanya ada 41,5% yang anti pemimpin non-Muslim. Pasca-mobilisasi 212, jumlahnya naik jadi 50%. Lonjakan ini jauh di atas kelompok Muslim dengan pendapatan menengah ke atas (di atas Rp2 juta) yang hanya naik 3% dari 2016 sampai 2017.

Dari dua data tersebut, Burhan, dkk menyimpulkan bahwa mobilisasi Islamis bisa berlangsung berkat dorongan Muslim kelas menengah yang menarget kelompok Muslim yang awalnya tak tertarik protes—pekerja, ibu rumah tangga, sampai pemilik warung. Mereka, mengutip Nick Kuipers dalam “Mosque Polling Stations and Voting for Anies” yang dipublikasikan New Mandala, “direkrut” lewat propaganda gencar masjid-masjid lokal yang kira-kira berbunyi "pendukung Ahok tidak bakal masuk surga".

Menariknya, riset Burhan dkk juga memaparkan bahwa mobilisasi besar-besaran 212 tidak mengubah watak moderat warga Muslim tertentu terhadap agama lain dalam kehidupan sehari-hari mereka. Jumlah Muslim yang keberatan dengan ibadah non-Muslim di lingkungan mereka malah menurun, dari 39,6% (2016) jadi 35,6% (2017). Hal yang sama terjadi pada kelompok yang keberatan akan kehadiran tempat ibadah non-Muslim di lingkungan tempat tinggalnya. Pada 2016, angkanya sekitar 52%, tetapi berubah jadi 48,2% pada 2017.

Pertanyaannya: bagaimana bisa?

Burhan, Mietzer, dan Halida berpendapat, kendati mengusung protes anti-Ahok dan sentimen keagamaan, aksi 212 tetap mendorong para pesertanya untuk menjaga nama baik Islam sebagai “agama yang toleran terhadap agama-agama lain.” Dalam orasinya, contohnya, Rizieq menekankan bahwa aksi 212 harus berjalan damai, tidak rasis, serta tetap menjaga kerukunan beragama.

infografik mobilisasi islam

2018: Tahun Sulit untuk Konsolidasi

Setelah Ahok masuk penjara dan Anies jadi gubernur, aksi 212 mengalami mutasi. Sebagian memutuskan untuk membangun bisnis koperasi. Ada pula yang bergerak dalam wajah gerakan sosial-keagamaan seperti Gerakan Sholat Subuh Berjamaah yang masif bermunculan di banyak masjid ibukota.

Di lain sisi, aksi 212 mulai limbung. Konsolidasi lambat laun berubah menjadi perpecahan. Belum lagi soal pertentangan dengan pemerintah pusat kala satu per satu pentolan 212, dari Sekjen FUI, Al Khaththath, sampai Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, ditangkap gara-gara dugaan makar, penodaan agama, serta pornografi. Sejak itu, gerakan 212 pun menuduh pemerintah telah “mengkriminalisasi ulama.”

Tekanan juga datang ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu organisasi yang merintis aksi-aksi penolakan terhadap Ahok, dibubarkan pemerintah dengan alasan tidak Pancasilais. Ormas pro-Khilafah itu pun makin terlihat melempem karena gagal membangun aksi sebesar 212 untuk menolak pembubaran organisasi dan pengesahan Perppu Pembubaran Ormas.

Akibatnya, konsolidasi kian sulit dilakukan. Terlebih lagi Rizieq Shihab, yang perannya tidak bisa dikecilkan dalam gelombang aksi Bela Islam, minggat dari Indonesia setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pornografi.

Yang terbaru, muncul riak-riak kecil antara Prabowo dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) terkait "ijtima ulama" yang merekomendasikan Abdul Somad dan Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf al-Jufri, sebagai cawapres Prabowo.

Pada dasarnya, Prabowo diminta menaati salah satu dari dua hasil ijtima ulama GNPF. Presiden PKS, Shohibul Iman, misalnya, menyatakan bahwa partainya akan tetap menyuarakan nama Abdul Somad atau Salim Assegaf sebagai cawapres Prabowo.

“PKS prinsipnya menerima rekomendasi ijtima ulama. Dan di situ jelas rekomendasi berupa paket, paket Prabowo-Salim, dan dengan Somad,” kata Shohibul, di DPP PKS, Senin (30/7/2018), sebagaimana dikutip Tempo. “Saya kira karena kami menerima rekomendasi ijtima ulama yang dua paket tadi, maka sekalipun bukan ustaz Salim yang diputuskan, kami terima. Asalkan dari dua nama itu.”

Sedangkan Prabowo bersikukuh bahwa memilih cawapres adalah perkara krusial yang tidak bisa diputuskan hanya dengan satu sumber rekomendasi. Menurutnya, yang berhak memutuskan siapa cawapres pendampingnya di Pilpres 2019 adalah partai. Bagi Prabowo, mendengar pandangan partai lebih penting ketimbang memusingkan rekomendasi dari luar partai.

“Kami hargai jajak pendapat dan masukan. Tapi keputusan akhir ada di parpol. Jadi ijtima pun rekomendasi. Ini harus kami perhatikan,” tegas Prabowo.

Segala dinamika pasca-aksi 212 tentu menimbulkan spekulasi: mampukah para eksponen gerakan memobilisasi massa untuk memenangkan Pemilu 2019?

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Politik
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf