Menuju konten utama
2 Desember 2016

Peringatan Setahun 212 dan Tantangan Menghimpun Lagi Gerakan

Ombak bergulung.
Hanya jadi buih di
tepi lautan.

Peringatan Setahun 212 dan Tantangan Menghimpun Lagi Gerakan
Ilustrasi aksi 212. tirto.id/Gery

tirto.id - Malam menjelang Aksi Bela Islam 212 ribuan orang sudah berkumpul di sejumlah masjid di Jakarta. Masjid Istiqlal yang paling dekat dengan Monas, tempat aksi akan digelar, sudah penuh dengan umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia. Tujuan mereka: menuntut agar Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dipenjara.

Ahok kala itu jadi musuh bersama. Penyebabnya adalah pidato Ahok di pulau Pramuka yang menyinggung surat Al-Maidah 51 pada 27 September 2016 dianggap menistakan agama Islam. Sontak gelombang demonstrasi nyaris tak surut di Ibukota. Aksi-aksi dengan "tanggal cantik" terus bergulir sampai akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka.

Kelompok Islam memanfaatkan isu ini untuk menggalang kekuatan dan konsolidasi akbar. Aksi 212 itu pun menorehkan sejarah baru sebagai demonstrasi terbesar pasca-1998. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang menjadi motor gerakan itu mengklaim ada tujuh juta umat Islam yang ikut serta. Sampai saat ini, tidak ada hitungan yang jelas soal jumlah peserta aksi.

Meski demikian, hari itu Monas dan jalan-jalan protokol di sekitarnya menjadi lautan manusia. Massa aksi yang mengenakan pakaian serba putih seolah mengubah jalanan dan monas menjadi lautan susu. Teriakan takbir tak pernah lepas dikumandangkan.

Aksi 212 dimulai sekitar pukul sebelas siang. Demonstrasi diawali orasi dan ceramah sejumlah tokoh Islam di antaranya Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir dan Rizieq Shihab. Di tengah guyuran hujan, massa melakukan salat Jumat bersama di lapangan Monas.

Usai salat, Presiden Joko Widodo didampingi sejumlah menteri hadir menemui massa aksi, meski cuma sebentar. Kedatangan Jokowi langsung disambut teriakan, “Tangkap Ahok, tangkap Ahok!”

Jokowi segera naik panggung dan menyapa massa. “Saya ingin berikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena seluruh jemaah yang hadir tertib dalam ketertiban sehingga acara bisa berjalan baik,” kata Jokowi. Selepas sambutan singkat itu, ia langsung turun panggung dan meninggalkan Monas.

Kepentingan Lain di 212

Sementara massa aksi fokus pada isu penistaan agama, ada kelompok lain yang diduga oleh pihak kepolisian mencoba menggunakan aksi 212 untuk menumbangkan kepemimpinan Joko Widodo. Dua hari sebelum aksi, Rachmawati, putri proklamator Sukarno, menggelar rapat tertutup di kampus Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta Pusat. Beberapa tokoh yang hadir dalam rapat itu di antaranya Sri Bintang Pamungkas, Firza Husein, Ahmad Dhani, Kivlan Zen, dan Al Khaththath.

Pertemuan itu membahas rencana menduduki gedung DPR/MPR RI setelah aksi 212 di Monas selesai digelar. Rachma mengajak para ulama dan massa aksi untuk bersama-sama menggunakan kesempatan itu untuk menuntut kembalinya UUD 45 tanpa amandemen.

“Setelah selesai acara itu (Aksi 212 di Monas), kami akan kumpul ke MPR. Saya bersama-sama ke MPR untuk meminta, menuntut kembalinya UUD 45. Saya juga meminta kepada para habib mengikuti serta ke MPR,” kata Rachma.

Baca juga:

Pagi-pagi buta sebelum aksi 212, polisi menciduk orang-orang yang terlibat dalam rapat di UBK. Polisi beralasan, Rachmawati dan rekan-rekannya itu akan menunggangi aksi 212 untuk melakukan makar.

Rencana menggulingkan Jokowi tersebut coba diungkap jurnalis Amerika Allan Nairn. Dalam laporan investigasinya, Allan menceritakan adanya rencana menggunakan isu penistaan agama yang dilakukan Ahok untuk menciptakan gelombang aksi yang tujuannya menggulingkan Jokowi. Tak tanggung-tanggung, Allan menyebut rencana penggulingan Jokowi itu sudah mendapat restu dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Baca juga:

Redup Begitu Cepat

Euforia gerakan 212 itu dengan cepat bertransformasi dalam bentuk komunitas-komunitas. Salah satunya konsolidasi pengusaha muslim yang berwujud lini bisnis koperasi dengan nama Koperasi Syariah 212. Koperasi ini membuka beberapa gerai 212Mart dengan konsep belanja di toko saudara sesama Muslim. Sampai sekarang gerai-gerai tersebut masih eksis.

Komunitas yang muncul belakangan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari semangat 212 adalah Gerakan Sholat Subuh Berjamaah. Secara sporadis gerakan ini muncul di banyak masjid di Ibukota dan daerah lain. Dalam perjalanannya, gerakan ini diresmikan dengan nama Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) dan baru dideklarasikan pada September 2017 di sejumlah kota.

Ketika konsolidasi itu berlangsung, pada saat bersamaan terjadi ketegangan antara pemerintah dengan kelompok yang terlibat dalam aksi tersebut.

Setelah aksi 212 terjadi, sejumlah tokoh penggerak aksi mulai dipreteli polisi. Sekjen FUI Al Khaththath ditangkap lantaran terlibat rapat yang disebut merencanakan makar di UBK. Sementara Rizieq Shihab terjerat sejumlah kasus penistaan agama dan pornografi. Ia lantas kabur dan hingga sekarang tidak diketahui di mana rimbanya.

Vonis bersalah untuk Ahok yang dijatuhkan pengadilan membuat gerakan menghadapi tantangan baru: isu yang bisa menjadi pemersatu. Ahok, sosok yang diyakini oleh massa gerakan itu sebagai "Sang Penista Agama", telah dipenjara sesuai harapan. Beberapa isu mencuat, di antaranya: hukuman Ahok dituduh terlalu rendah hingga Jokowi diklaim mengkriminalisasi ulama (sebelumnya diyakini oleh mereka sebagai "melindungi Ahok").

Pada saat yang hampir bersamaan dengan vonis kepada Ahok, Anies Baswedan, yang saat maju sebagai gubernur dijadikan poros kompromi kelompok ini, sudah mendapatkan kemenangan di Pilkada. Kampanye "menolak pemimpin yang menistakan agama", atau bahkan "pemimpin kafir", diakui atau tidak, telah berhasil.

Baca juga: Ahok Mustahil Menjabat Presiden, Menteri, bahkan Anggota DPR

Akibatnya, konsolidasi gerakan menjadi lebih sulit dilakukan. Apalagi Imam Besar FPI Rizieq Shihab, yang perannya tidak bisa dikecilkan dalam gelombang aksi Bela Islam, juga pergi meninggalkan Indonesia setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dalam kasus dugaan pornografi.

Bisa dimengerti jika sejumlah aksi bernomor cantik setelah 212 tidak semeriah sebelumnya. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengobarkan kembali semangat aksi 212. Para peserta aksi juga mulai melabeli diri sebagai "Alumni 212" sebagai tanda pernah ikut berjuang, sekaligus akan selalu berjuang.

Bahkan beberapa komponen aksi mendirikan Partai Syariah 212 pada 17 Juli 2017. Namun usaha itu pun sia-sia. Belum seminggu dibentuk sudah terjadi perpecahan di tubuh partai. Salah seorang pendiri, Ma'ruf Halimuddin, menyatakan mundur dari partai tersebut.

infografik mozaik 212

Tekanan datang lagi karena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu organisasi yang memulai aksi-aksi penolakan terhadap Ahok, dibubarkan pemerintah dengan tudingan tidak sesuai ideologi Pancasila. Melempemnya gerakan semakin terlihat ketika HTI bisa dibilang tidak mampu membangun gerakan sebesar 212 untuk menolak pembubaran tersebut dan menentang Perppu Pembubaran Ormas yang dibuat Joko Widodo.

Baca juga: "Perppu Ormas Tak Sejalan dengan Negara Hukum"

Tidak tampak aksi berskala besar untuk memperjuangkan HTI. Begitu pula terhadap orang-orang yang gigih dalam menggelorakan isu penistaan agama seperti Jonru Ginting dan Buni Yani. Sejauh ini belum terlihat juga ada kekuatan besar yang menyokong keduanya.

Upaya mengkonsolidasi ulang kekuatan 212 pun dilakukan dengan menyelenggarakan acara reuni alumni 212. Reuni digelar hari ini, tepat setahun setelah aksi terjadi. Konsolidasi tersebut tentunya membutuhkan energi yang besar, sebab sudah tidak ada lagi musuh bersama yang bisa menyatukan mereka. Terlebih lagi, tokoh-tokoh penting 212 masih terganjal kasus. Sementara belum ada tokoh baru yang bisa menghimpun kembali gerakan ini.

Jika pun Aksi Bela Islam 212 dalam bentuk reuni hari ini tidak semasif tahun lalu, aksi itu akan diingat sebagai salah satu gerakan yang -- walau pun diklaim tidak memuat agenda politik -- berdampak sangat signifikan secara politik.

Baca juga artikel terkait AKSI 212 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Ivan Aulia Ahsan