Menuju konten utama
Desmond J. Mahesa

"Jika Tak Terbukti Makar, Berarti Pemerintah Lemah & Takut"

Desmond J. Mahesa menganggap penangkapan tersangka makar lebih baik dibanding saat ia diculik Soeharto. Namun, jika tak bisa membuktikan tuduhan, pemerintah berarti asal-asalan, lemah, takut dan nakut-nakutin.

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa (kiri) selaku pimpinan rapat memberikan keterangan pers terkait penetapan nama calon Hakim Agung di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/8). Komisi III menetapkan Ibrahim (Perdata), Panji Widagdo (Perdata), dan Edi Riadi (Agama) lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Hakim Agung dari lima nama calon Hakim Agung dan dua calon Hakim Ad Hoc Tipikor yang diserahkan oleh Komisi Yudisial. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/16.

tirto.id - Rachmawati Soekarnopurti, Sri Bintang Pamungkas dan lima aktivis lainnya ditangkap polisi pada Jumat subuh menjelang Aksi 212. Polri menuding mereka melakukan permufakatan jahat melakukan makar. Tudingan ini mengingatkan pada cara rezim Orde Baru dalam membungkam kritik, bahkan sampai menculik para aktivis pro demokrasi 1997-1998 yang dianggap mengganggu jalannya pemerintahan.

Desmond Junaidi Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR, yang pernah menjadi korban penculikan, menuntut agar Polri bisa membuktikan tudingan makar tersebut. “Kalau tuduhan akhirnya tidak terbukti, berarti pemerintahan sekarang ini pemerintahan yang lemah. Pemerintah yang takut dan nakut-nakuti,” katanya kepada Kukuh Bhimo Nugroho dari Tirto.id, pada Minggu (4/12/2016).

Menurut Desmond, apa yang dilakukan para aktivis yang dituding makar, secara substansi sama dengan apa yang dia dulu lakukan terhadap rezim Orde Baru. “Sama dalam konteks menimbulkan ketakutan penguasa akan sesuatu hal,” kata Ketua DPP Partai Gerindra itu.

Mengapa Desmond tak percaya bahwa tujuh orang itu bisa menggerakkan makar? Mengapa dia tak yakin Presiden Jokowi bisa dimakzulkan secara konstitusional? Berikut wawancaranya:

Anda dulu diculik rezim Orba. Sekarang sebelas aktivis ditangkap dengan tudingan makar. Apakah kira-kira sama apa yang Anda dan mereka rasakan saat ditangkap?

Ya jauh beda dong. Kalau yang tangkap saya dulu kan tidak jelas mereka siapa. Saya diculik tanpa surat perintah, mereka ditangkap pakai surat perintah. Jadi kalau tokoh-tokoh itu ditangkap dengan surat perintah, dalam koridor negara hukum, sih, itu penegakan hukum yang biasa-biasa saja. Bukan hal yang luar biasa.

Kenapa?

Lho, karena yang nangkap datang dengan hormat. Misalnya apa yang kita tonton dalam video penangkapan terhadap Sri Bintang Pamungkas. Kan bisa divideokan oleh anak atau mungkin isterinya. Makanya dalam konteks negara hukum sesuatu yang wajar. Malah sesuatu yang bagus. Kenapa saya bilang bagus? Karena penangkapan dilakukan secara terbuka.

Tapi persoalannya ke depan, apakah memang betul tuduhan makar terhadap Sri Bintang Pamungkas itu bisa dibuktikan? Jika tak terbukti makar, berarti pemerintah lemah dan taku.

Sebagai orang yang pernah diculik karena ditakuti pemerintah, bagaimana Anda melihat penangkapan terhadap para aktivis kali ini?

Hal penting buat saya, penangkapan itu harus memiliki dasar yang kuat. Apa yang terjadi pada 212 kemarin itu tuduhannya makar. Jika di kemudian hari tidak terbukti makar, betapa memalukan aparat kepolisian dan pemerintah. Pemerintah sudah tidak menjalankan hukum dengan benar. Artinya ada proses pembungkaman dengan kekuasaan dan bukan lagi proses penegakan hukum. Pembungkaman atas sesuatu perbedaaan. Padahal di alam demokrasi perbedaan itu hal biasa.

Kira-kira apakah yang Anda lakukan dulu sama membahayakannya bagi pemerintah dengan apa yang dilakukan para aktivis kali ini?

Substansinya, sih, sama saja. Sama dalam konteks menimbulkan ketakutan penguasa akan sesuatu hal. Saya ditangkap karena Orba takut Sidang Umum MPR akan terganggu. Para aktivis yang dulu diculik memang pendukung Megawati. Termasuk saya. Jadi kalau mau jujur mengakui, kalau saya dulu tidak diculik, mungkin saya tidak hidup seperti sekarang. Diculik itu membuat nama saya terkenal. Seolah-olah hebat. Saya korban penculikan yang seolah-olah serem. Hahaha...

Maksud Anda, mereka yang kemarin ditangkap tak membahayakan?

Saya bukan tukang ramal. Tapi mereka ini bukan pemegang basis massa. Kan kita bisa pilah satu-satu, siapa yang punya pengikut dan siapa yang tidak. Kalau kita bandingkan Bintang dengan Bu Rachma saja, Bintang siapa sih pengikutnya? Kalau Kivlan dan Bu Rachma ada pengikutnya,

Apalagi saat ini tidak ada simpul perlawanan seperti Megawati dulu jika memang akan memakzulkan pemerintah?

Benar, memang tidak ada ikon untuk perlawanan terhadap pemerintahan sekarang. Pemerintahan sekarang dalam hal kekuasaan, saya pikir jauh lebih kuat dibanding saat Soeharto mau runtuh. Soeharto sudah lemah karena uzur. Banyak orang yang bermimpi menggantikan Soeharto. Maka terjadilah proses reformasi.

Kalau pemerintahan Jokowi sekarang, ya kita biarin sajalah. Kan tinggal tiga tahun berkuasa. Nanti selesai juga. Ya kalau dia terpilih lagi melalui proses demokrasi yang sehat, tambah lima tahun lagi juga tidak apa-apa. Kita tunggu lagi presiden selanjutnya.

INFOGRAFIK HL MAKAR Mereka yang mau makar

Apakah Anda melihat ada potensi makar di dalam diri para aktivis ini?

Begini lho, di masa Orde Baru saat berjuang menurunkan Soeharto, apakah tujuh orang ini terlibat? Nggak juga tuh. Bintang saat itu sudah tidak aktif. Rachma muncul sesudah reformasi. Kalau Kivlan, kan, bagian dari pemerintah Soeharto, ingat Pam Swakarsa. Jadi kalau mereka ditangkap, ya saya pikir mungkin ada kesalahan informasi.

Ada yang bilang pemerintahan sekarang mengulang cara-cara Orba?

Ya anatomi politiknya sih sama.

Polisi beralasan, para aktivis itu punya agenda memobilisir massa Aksi 212 ke DPR. Apakah Anda percaya?

Saya tidak mengecilkan tokoh-tokoh ini. Tapi saya pikir, mereka tidak segitunya. Ini bahasa lembut. Kita ini, kan, aktivis yang memahami dinamika. Kalau saya bilang ketakutan yang berlebihan, kan, artinya kurang menghormati Bu Rachma dan lain-lain. Saya tidak mau ngomong yang kesannya tidak menghormati orang tua.

Bintang mengajukan surat ke DPR untuk meminta Sidang Istimewa menurunkan presiden?

Benar itu. Tapi ingat, pelanggaran-pelanggaran sumpah jabatan dan kriteria yang memungkinkan impeachment atau pemakzulan dalam amandemen konstitusi dan proses di MK-nya, jelas mengatur harus ada pembuktian-pembuktian yang cukup. Dan kodisi politik hari ini, saya pikir, hal-hal yang dinyatakan Bu Rachma atau Bintang soal pemakzulan itu tidak masuk akal.

Artinya proses pemakzulan melalui DPR saja tak mudah?

Lho, bukankah DPR sudah dikuasai oleh pemerintah? Mana mungkin ada pemakzulan? Mana mungkin ada impeachment yang berkaitan dengan pemerintah sekarang?

Artinya alasan membelokkan massa ke DPR untuk menuntut impeachment mengada-ada?

Ya menurut saya rasionalnya tidak masuk. Misalnya bagi Gerindra saja, lebih baik menunggu proses demokrasi yang benar. Toh Jokowi tinggal 3 tahun lagi bekuasa. Nanti kita beradu lagi secara poliik. Itu jauh lebih sehat.

Apa yang penting dari munculnya tudingan makar?

Seharusnya sekarang pemerintah introspeksi. Kenapa persoalan-persoalan pembungkaman kepada orang yang suka mengritik seperti dulu muncul lagi? Padahal mungkin apa yang mereka sampaikan mewakili apa yang dirasakan sebagian rakyat Indonesia.

Lihat saja hari Minggu ini (4/12/2016) ada proses yang aneh di masyarakat. Aksi kelompok berbaju putih dan bersorban yang mengawal fatwa MUI (Aksi 212) ditakuti, tapi pawai hari ini yang judulnya “Kita Indonesia” tidak ditakuti.

Ada apa pula dengan “Kita Indonesia”? Kalau yang mereka maksud di luar kita adalah kelompok Islam, itu penyimpangan terhadap sejarah. Sejak dicoretnya kalimat “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dari Piagam Jakarta, saya pikir Islam sudah Indonesia. Itu pengakuan kaum muslim bahwa kita di Indonesia, bukan di negara Islam. Jadi kalau hari ini ada yang bilang “Kita Indonesia”, memang baru sadar kalau kita Indonesia? Kalau bahasa anak jalanan,”Eloo aja kali..., gua sudah Indonesia koq”.

Bagaimana Anda melihat Aksi 212?

Mereka, kan, persoalkan ketidakadilan, bukan bicara tentang kekuasaan eksekutif. Kalau bicara soal penumpangan, kemarin buktinya damai-damai saja. Juga tidak ada sampah di jalanan seperti yang dipertontonkan hari ini. Siapa yang benar dan siapa yang salah di republik ini menjadi susah. Apakah karena pemerintahan sekarang memilih jalan yang salah, kita sebagai warga bangsa juga tidak paham.

Apa yang akan dilakukan oleh Komisi III terkait makar?

Besok kita rapat dengan Kapolri jam 10. Kita juga banyak yang akan ditanyakan.

Saran Anda buat pemerintah dan Polri?

Saya pikir hal-hal yang blunder atau salah hari ini diperbaiki agar tidak bermasalah di masa depan. Karena apapun, presiden dan pemerintahan yang ada sekarang sah. Jangan sampai sejarah republik di bawah Jokowi paling jelek di antara presiden-presiden yang ada. Kan kasihan anak-cucu Jokowi juga. Jangan sampai Jokowi meninggalkan sejarah yang cacat bagi republik ini. Sementara buat Polri, di dalam negara hukum tudingan makar harus dibuktikan. Ini bukan lawakan. Lelucon yang tidak lucu.

Baca juga artikel terkait MAKAR atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Zen RS