tirto.id - “Saya memutuskan pergi ke tempat-tempat di mana pembunuhan tersadis dilakukan dan di mana pemerintah AS menyokong para penjagal … Saya akan pergi ke tempat-tempat itu untuk mengekspos apa yang terjadi, dan berharap bisa menghentikan kekejaman.”
Demikian Allan Nairn dalam satu wawancaranya pada Juli 2014, beberapa hari setelah pemilu presiden. Saat itu ia membicarakan kariernya sebagai jurnalis investigatif-cum-aktivis yang bermula dari keterlibatannya dengan Ralph Nader, aktivis buruh, lingkungan, dan anti-korporasi, yang berkali-kali mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Hijau hingga tahun 2000.
Pada 1980, Nairn terbang ke Guatemala dan menyaksikan pembantaian kediktatoran militer terhadap buruh, petani, mahasiswa, dan intelektual. Dari sana ia menyadari sokongan dana dan senjata dari Washington untuk rezim-rezim brutal di dunia. Pengalaman Guatemala membawanya ke Timor Timur, yang saat itu (masih) diduduki oleh Indonesia sejak 1975.
Pada 21 November 1991, pemuda Sebastião Gomes mati disiksa serdadu Indonesia di Dili. Beberapa hari kemudian, iring-iringan pengantar jenazah Sebastião mengawali sebuah protes kecil yang ditanggapi berondongan peluru oleh aparat. Lebih dari 200 warga sipil tewas. Nairn, yang waktu itu terjepit di antara rombongan pengantar jenazah dan serdadu, mengalami cedera di kepala akibat dipopor bedil.
Sepulangnya dari Timor Timur, Nairn mendirikan ETAN (The East Timor and Indonesia Action Network) bersama Charlie Scheiner dan John Miller. Lembaga itu berperan besar mengampanyekan nasib rakyat Timor Timur di bawah pendudukan. Dua tahun kemudian, lobinya berhasil meyakinkan Kongres AS untuk menekan pemerintahan Clinton untuk memutus bantuan senjata ke Indonesia.
Setelah meletus kekerasan pasca-referendum di Timor Timur pada 1999, Amerika resmi memutus bantuan senjata dan pelatihan militer. Pada tahun-tahun awal transisi demokrasi di Indonesia, Nairn juga menguak peran AS dalam melatih para perwira militer Indonesia yang menculik dan membunuh warga sipil.
Pada 2009, Nairn mengekspos pembunuhan warga sipil di Aceh yang dilakukan oleh serdadu Indonesia. TNI mengancam akan menahan dan menuntutnya di pengadilan. Ancaman itu terbukti kosong belaka.
Lima tahun kemudian, Nairn kembali ke Indonesia, meliput pemilu presiden. Ia membocorkan wawancara off the record dengan Prabowo Subianto yang dilakukannya pada 2001, salah satu pembicaraannya adalah Prabowo menghina Gus Dur dan menyatakan siap dituduh diktator fasis. Pada momentum jelang pemilu itu pula ia membongkar keterkaitan antara Prabowo dan proyek pelatihan militer JCET yang dilakukan Amerika dan Indonesia. Prabowo menyebut dirinya "anak emas Amerika".
Sebaliknya, Nairn juga merilis wawancaranya dengan mantan kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, yang berada dalam satu kubu dengan pemerintahan terpilih Joko Widodo, Pada akhir 2014. Dalam kesempatan itu Hendropriyono mengeluarkan pernyataan mengenai peranannya dalam pembantaian Talangsari (1989) dan rantai komando pembunuhan aktivis HAM terkemuka Munir (2004).
Keterlibatan Nairn dengan Guatemala rupanya membekas. Ia sempat diminta bersaksi tentang kejahatan militer yang dilakukan Jenderal Rios Montt pada pengadilan HAM dua tahun lalu di Guatemala. “Tapi di menit-menit terakhir, saya dihalang-halangi untuk bersaksi akibat tekanan dari presiden Guatemala yang sekarang menjabat, Perez Molina.”
Nairn berkali-kali menantang jenderal-jenderal Indonesia yang hendak memperkarakannya untuk mengundang dirinya bersaksi di pengadilan. Tak ada yang cukup bernyali menyambut tantangan itu.
==========
Baca laporan Allan Nairn, yang diterbitkan oleh The Intercept, dan diringkas oleh redaksi Tirto mengenai persekutuan para jenderal buat mendongkel Jokowi lewat kasus Al-Maidah yang menerpa Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta: Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar.
Editor: Fahri Salam