tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan dari PT Gema Kreasi Perdana, yang meminta kawasan pesisir boleh dijadikan wilayah tambang. Sidang putusan perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 itu dilaksanakan pada Kamis (21/3/2024).
Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) memandang putusan MK merupakan langkah konstitusional yang progresif demi melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman industri ekstraktif yang masif, yang berlangsung selama ini di Indonesia.
KORAL merupakan gabungan dari sembilan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada advokasi dan kampanye di sektor kelautan, perikanan, dan pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sejak 2020.
Sembilan organisasi masyarakat sipil itu adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Yayasan EcoNusa, Pandu Laut Nusantara, Greenpeace Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Yayasan Terangi, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Koordinator Sekretariat KORAL, Mida Saragih, mengatakan putusan MK tersebut adalah kemenangan bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini mempertahankan ruang hidupnya dari upaya perampasan oleh pertambangan mineral.
“Selamat kepada masyarakat pulau-pulau kecil, khususnya Wawonii, Sangihe, dan pulau-pulau kecil lainnya yang terancam oleh pertambangan saat ini. Semoga kemenangan ini tidak hanya kemenangan di atas kertas, tapi juga terwujud dalam berbagai rencana perlindungan dan pembangunan pulau kecil di masa mendatang,” kata Mida kepada Tirto, Kamis petang.
Mida berterima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat memperjuangkan kelestarian lingkungan pesisir lewat proses judicial review, khususnya kepada seluruh anggota KORAL.
Sementara itu, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, menilai putusan MK memiliki kualitas yang baik dan bisa dijadikan pijakan untuk gerakan masyarakat sipil mengadvokasi kasus di sektor lingkungan pesisir dan pulau-pulau di masa mendatang.
“Putusan ini juga bisa dijadikan contoh baik bagaimana Mahkamah Konstitusi ketika berhadapan dengan gugatan yang diajukan oleh korporasi atau perusahaan untuk UU yang berdampak bagi kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak. Karena hampir semua kasus pelaku yang merusak lingkungan justru dari korporasi itu sendiri,” kata Afdillah.
Semula, permohonan judicial review Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) Nomor 27 tahun 2007 jo Nomor 1 Tahun 2014, diajukan oleh Rasnius Pasaribu, Direktur Utama PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
PT GKP adalah perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Pulau Wawonii, wilayah Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut berada di bawah Harita Group yang mulai melantai di Bursa Efek Indonesia tahun lalu.
Pokok permohonan dalam pengujian materiilnya adalah Pasal 23 Ayat 2 yang tegas menyebut “pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan/atau peternakan.”
Tak hanya itu, Rasnius ingin MK menghapus Pasal 35 huruf (k) yang berbunyi: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.”
Dalam putusan yang dibacakan oleh hakim Enny Nurbaningsih, MK menilai Pasal 35 huruf k dalam UU yang diuji oleh PT. Gema Kreasi Perdana sebagai pemohon, masih harus dipertahankan agar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan selama berbasis berkelanjutan, menghargai hak masyarakat adat lokal, serta mengeliminasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan alam.
MK menilai tidak ada relevansinya dalil pemohon yang mengasumsikan ketentuan Pasal a quo mengurangi hak konstitusional warga negara, termasuk pemohon. Terlebih, Pemohon kemudian mengaitkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dengan tindakan diskriminasi.
“Setelah Mahkamah mencermati secara saksama Pasal 35 huruf k UU 27/2007, pasal a quo tidak mengandung unsur adanya tindakan diskriminasi. Mahkamah menegaskan UU PWP3K dibentuk untuk melindungi keberlanjutan dan kelestarian kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam NKRI,” kata Enny.
Dalam pasal lainnya yang diuji, Pasal 23, Enny juga menyebut bahwa pasal tersebut memiliki diksi 'diprioritaskan' yang artinya pasal tersebut harus diutamakan atau didahulukan untuk kepentingan prioritas daripada kepentingan lainnya. Pasal tersebut, menurut Enny, ada untuk melindungi sistem ekologis di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 23 ayat (2) tidak memberikan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum," tutup Enny.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi