tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui juru bicaranya Fajar Laksono menilai adanya penolakan terhadap suatu undang-undang adalah perkembangan yang bagus dalam bernegara. Termasuk, ketika masyarakat menolak berlakunya Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Menurut Fajar hal ini berarti ada kesadaran warga negara yang makin meningkat akan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945.
"Manakala ada hak konstitusional terlanggar karena berlakunya suatu UU, maka sontak mereka tergerak," kata Fajar di Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Beberapa waktu yang lalu sejumlah kelompok masyarakat dan aktivis seperti Solidaritas Mahasiswa Sidoarjo (Somasi), Presidium Rakyat, serta Koalisi Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) menyatakan menolak revisi UU MD3 karena dianggap bisa mengancam proses pemberantasan korupsi serta mencederai demokrasi.
Bagi MK, desakan masyarakat yang menolak berlakunya suatu undang-undang adalah hal yang wajar. "Desakan menolak itu wajar, sepanjang ditempuh dengan cara dan di jalur konstitusional," ujar Fajar.
Hasil revisi UU MD3 itu telah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Februari 2018. Saat itu, 8 fraksi menyetujui pengesahan beleid itu. Hanya dua fraksi yang menolak dengan menggelar aksi keluar dari ruang Rapat Paripurna (walk out), yakni Fraksi NasDem dan PPP.
Tercatat ada 3 pasal kontroversial yang mendapat kritik dari banyak pihak di hasil revisi UU MD3 tersebut. Keberadaan tiga pasal itu juga menjadi alasan Presiden Jokowi menolak menandatangani UU itu. Meskipun demikian, sikap Jokowi itu tidak bisa membatalkan pemberlakuan hasil revisi UU MD3 yang sebelumnya sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR.
Poin pertama yang menuai kritik adalah Pasal 73 UU MD3. Pasal ini memberi kewenangan DPR untuk meminta kepolisian memanggil paksa pihak yang mangkir dari panggilan dewan.
Poin kedua ialah pasal 122 huruf (k) UU MD3. Pasal itu menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mendapatkan tugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Sedangan poin ketiga yang dikritik adalah pasal 245 UU MD3. Pasal itu mengatur pemanggilan atau pemeriksaan anggota dewan dalam kasus pidana, selain pidana khusus atau kasus tangkap tangan, memerlukan pertimbangan MKD dan izin presiden. Sebagai catatan, ketentuan soal pertimbangan MKD itu sebenarnya pernah dibatalkan MK.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra