tirto.id - Direktur Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Menurut Syahrul, dalam putusan itu, majelis hakim MK hanya berfokus pada perkara formil seperti kedudukan hukum (legal standing) pihak yang mengajukan gugatan uji materi. Padahal, kata dia, persoalan itu seharusnya cukup dibahas di awal sidang dan bukan pada saat tahap pembahasan pokok perkara.
"Sayangnya keputusan itu jadi dilihat cuma formil saja, seharusnya sudah dipertimbangkan sejak awal," kata Syahrul kepada wartawan usai pembacaan putusan di gedung MK pada Selasa (21/5/2019).
MK menolak uji materi UU TPPU karena menilai legal standing pemohon tak memenuhi ketentuan. Sementara pemohon dalam uji materi ini adalah Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari dan seorang Dosen Fakultas Hukum UGM.
Hakim menilai dua perwakilan yang berasal dari yayasan hanya bisa bertindak atas nama pribadi. Menurut hakim, bila mengacu pada UU no 16 tahun 2001 tentang Yayasan maka mereka yang ingin bertindak atas nama yayasan hanya ketua umum atau pengurusnya.
Sementara status tiga pemohon lainnya yang menggugat sebagai warga negara juga ditolak oleh hakim. Hakim berpandangan posisi sebagai pembayar pajak tidak bisa dijadikan dasar hukum. Disamping itu, ketiga pemohon juga dianggap bukan pihak yang terdampak langsung perkara pencucian uang.
Dalam uji materi ini, pemohon menuntut agar kasus pencucian uang bisa ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dengan begitu, KLHK tidak perlu melimpahkan kasus ke kepolisian jika mengusut kasus pencucian uang.
Syahrul mengatakan persoalan legal standing memang pernah disoroti oleh majelis hakim MK pada awal sidang. Namun, ia mengaku telah membereskan revisi yang diinginkan hakim, termasuk soal informasi mengenai siapa saja yang dapat mewakili organisasi berikut lampiran AD/ART untuk memberi pemahaman mengenai struktur dan kewenangan.
Namun, pada saat sidang, hakim masih mempersoalkan kewenangan perwakilan Auriga yang tidak bisa bertindak atas nama yayasan.
Syahrul pun mempertanyakan pertimbangan hakim yang menyebut perwakilan Auriga pada posisi badan pekerja karena baik AD/ART maupun akta yayasan itu tak mengandung informasi tersebut.
"Sudah ada perbaikan. Kami sudah melakukan perbaikan. tidak ada soal badan pekerja di Auriga. Yang ada pengurus pembina dan pengawas," ucap Syahrul.
Dia menambahkan, pada 2014, status yayasannya sebagai pemohon uji materi UU Pencegahan Kerusakan Hutan justru diterima oleh MK. Tiga dosen hukum yang berstatus sebagai pemohon di perkara ini, kata dia, juga pernah lolos meski dengan model permohonan yang tidak jauh berbeda.
Seharusnya, kata dia, majelis hakim berfokus memperhatikan persoalan kesesuaian antara latar belakang pemohon dengan substansi yang dimohonkan.
Mengenai langkah selanjutnya, Auriga kata Syahrul akan segera mengajukan gugatan berikutnya. Sebab, pokok perkara yang mereka sampaikan belum masuk dalam pertimbangan putusan MK.
"Kami ingin ajukan lagi. Belum dipertimbangkan kan pokok perkaranya. Jadi masih bisa diajukan dengan melengkapi semua nama pengurusnya," ucap Syahrul.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom