tirto.id - Direktur Pusat Studi Konsitusi (Pusako) cum pakar hukum tata negara Feri Amsari meminta Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya dengan menyatakan kebijakan hukum terbuka atauopen legal policy terhadap satu gugatan perkara di lembaga itu.
Hal itu disampaikan Feri merespons permohonan perkara gugatan usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang dijadwalkan diputus Senin, 16 Oktober 2023.
Menurut Feri, patut dicurigai MK memiliki motif tertentu jika dalam putusan gugatan usia capres dan cawapres tak menyatakan open legal policy dalam perkara ini. Istilah open legal policy ini, menurut MK, dapat diartikan sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (UU).
Hal ini dipraktikkan ketika konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan suatu ketentuan tertentu harus diatur oleh UU.
"Kalau MK ubah-ubah kasus tertentu, tafsir beda-beda, MK patut dicurigai menafsirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya," kata Feri saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Feri mengatakan jika lembaga yang dinahkodai Anwar Usman itu membuat keputusan yang berbeda dalam perkara ini, tentu bertentangan dengan kekuasaan kehakiman. Pasalnya, mereka membuat tafsir hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
"Ini tentu saja tidak boleh dalam konteks kekuasaan kehakiman, tafsir hakim yang ini yang bertentangan dengan konstitusi dan tafsir yang punya motif kepentingan pribadi," ucap Feri.
Dia meminta MK harus konsisten dengan putusan-putusan terdahulu yang kerap menyatakan open legal policy terhadap satu gugatan perkara UU.
"Bukanlah ruang MK untuk memberikan tafsir tetapi harus diserahkan kepada pembentuk UU dalam hal ini DPR dan pemerintah," tutur Feri Amsari.
MK akan memutus gugatan perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pemohon Dedek Prayudi dengan kuasa hukum Michael dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB pada 16 Oktober 2023 mendatang.
Permohonan 29/PUU-XXI/2023 berkaitan uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dedek, dalam permohonannya mendalilkan bahwa kepala daerah maupun menteri muda berpotensial untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Mereka mengacu pada jabatan lain di bawah capres-cawapres yang diisi anak muda dan bisa dikerjakan dengan baik.
Oleh karena itu, pemohon meminta agar batas umur capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
"Menyatakan bahwa materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun',” bunyi permohonan tersebut, dikutip Tirto, Selasa (10/10/2024).
Sidang perkara batas usia capres dan cawapres sudah bergulir sejak 9 Maret 2023 hingga 29 Agustus 2023.
Dalam persidangan terakhir, Mahkamah Konstitusi mendengar keterangan ahli pihak terkait Perludem, Keterangan Pihak Terkait Evi Anggita Rahma, dkk, Keterangan Pihak Terkait Rahyan Fiqi, dkk, Keterangan Pihak Terkait Oktavianus Rasubala, serta Keterangan Pihak Terkait KIPP dan JPPR (VI).
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri