tirto.id - Candi Muara Takus terletak di dekat Sungai Kampar, tepatnya di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Asal-usul situs kuno bercorak Hindu-Buddha ini masih menjadi misteri karena belum dapat dipastikan merupakan peninggalan sejarah kerajaan apa.
Situs Muara Takus berupa kompleks candi yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan. Ada perbedaan pendapat terkait asal-usul nama dari bangunan ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa Muara Takus diambil dari nama sebuah anak sungai bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa nama Takus berasal dari bahasa Cina, Ta Ku Se. Ta berarti "besar", Ku berarti "tua", dan Se berarti "candi" atau "kuil". Takus disadur dari tiga kata tersebut memiliki arti candi tua yang besar. Sedangkan Muara mempunyai makna suatu tempat yang berguna sebagai akhir sebuah aliran sungai.
Letak dan Misteri Sejarah Candi Muara Takus
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, Candi Muara Takus terletak di dekat Sungai Kampar, tepatnya di Desa Muara Takus, Kecamatan XII Koto, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Meskipun belum diketahui secara pasti kapan didirikan, Candi Muara Takus diperkirakan dibangun pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara, khususnya di Sumatera.
Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa candi ini sempat digunakan pada akhir masa Kerajaan Sriwijaya yang runtuh pada abad ke-11 Masehi.
Diperkirakan, Kawasan Cagar Budaya Kompleks Percandian Muara Takus adalah kompleks percandian tertua di Sumatera. Kompleks percandian ini terdiri dari beberapa bangunan yang dibuat dari tanah liat, tanah pasir, dan batu bata.
Kemendikbud merangkum beberapa sumber penelitian terkait umur Candi Muara Takus atau kapan kompleks percandian ini dibangun.
Schnitger (1936) menyebut kompleks percandian Muara Takus berasal dari abad ke-11 dan kemudian direkonstruksi kembali pada abad ke-12 M. Berbeda dengan Schnitger, J.L Moens memperkirakan Candi Muara Takus dibangun pada abad ke-7 M.
Apakah Candi Muara Takus Peninggalan Kerajaan Sriwijaya?
Mengenai apakah Candi Muara Takus merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya sudah sedemikian lama menjadi perdebatan di antara para sejarawan. Secara teritori, tidak diragukan lagi Candi Muara Takus termasuk dalam bekas wilayah Kerajaan Sriwijaya yang eksis pada periode abad ke-7 hingga abad ke-12 M.
Berdasarkan Seminar Sejarah Riau yang diabadikan dalam buku Mencari Pusat Kerajaan Sriwijaya, Buya Hamka berpendapat pusat Kerajaan Sriwijaya Berada di Muara Takus. Namun, dari corak arsitekturnya, Candi Muara Takus diduga justru dibangun sebelum masa Sriwijaya.
Pendapat Buya Hamka turut membenarkan teori yang dikemukakan oleh sejarawan Belanda, J.L. Moens (1937). Moens menyebut pada abad ke-7 M, pusat pemerintahan Sriwijaya dipindahkan dari Kelatan ke Muara Takus. Moens menjadi orang pertama yang berspekulasi bahwa ibu kota Kerajaan Sriwijaya berkedudukan di Muara Takus.
Apa yang diungkapkan Moens menjadi bekal Setyawati Suleiman penelitian lanjut terkait situs ini. Namun, upaya-upaya untuk menentukan kejelasan Muara Takus dalam kerangka kekuasaan Sriwijaya belumlah menemui titik terang.
Arsitektur dan Bangunan Candi Muara Takus
Kawasan Candi Muara Takus sedikitnya terdiri dari Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai, Candi Palangka, pagar keliling, dan tanggul kuno.
Candi Tuo merupakan bangunan utama dari kompleks percandian Muara Takus. Candi ini adalah candi dengan bangunan terbesar di antara bangunan yang ada, berukuran 32,80 meter x 21,80 meter.
Pada sisi sebelah timur dan barat Candi Tuo terdapat tangga. Menurut perkiraan, tangga tersebut dihiasi stupa, sedangkan di bagian bawah dihiasi patung singa dalam posisi duduk. Kini, bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang hilang.
Bangunan kedua, yakni Candi Mahligai, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 meter x 10,60 meter. Berdiri di atas pondamen segi delapan (astakoma) yang pada alasnya terdapat teratai berganda. Di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus (yoni), sampai ke puncak setinggi 14,30 meter.
Bangunan ketiga disebut Candi Palangka. Candi Palangka merupakan candi yang terkecil dari kompleks ini dan terletak 3,85 meter di sebelah timur Candi Mahligai. Bangunan ini berbahan batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka berukuran panjang 6,60 meter, lebar 5,85 meter, serta memiliki tinggi 1,45 meter.
Bangunan keempat terletak di sebelah barat Candi Mahligai, yakni Candi Bungsu. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) yang terdapat pada bagian depan, dan pada bagian belakang berbahan batu bata.
Selain bangunan-bangunan tersebut, tepat di depan gerbang Candi Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lubang. Tempat ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran jenazah.
Dilansir arsip Perpusnas, di atas bangunan yang terbuat dari batu pasir (tuff) terdapat sebuah stupa besar, sementara di atas bangunan yang terbuat dari bata merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar.
Candi ini memiliki stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa (Hindu). Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan).
Agak berbeda dengan kebanyakan candi buddha yang ada di Indonesia, candi ini lebih mirip seperti arsitektur candi di Myanmar. Pada 2009, Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Iswara N Raditya