tirto.id - Gelombang privatisasi sektor perumahan menggeliat di Eropa sejak akhir Perang Dingin. Korporasi real estat menjamur di wilayah urban, salah satunya di Berlin, Jerman. Dari 1990 hingga 2012, kota yang sempat terbelah dua karena politik dan ideologi ini kehilangan lebih dari 200 ribu unit rumah milik negara untuk dijual kepada korporasi, investor, dan spekulan.
Transformasi besar terjadi ketika tuan tanah raksasa menguasai ratusan ribu unit hunian. Pencaplokan oleh korporasi berarti juga terikatnya harga hunian dalam aturan main pasar. Hunian tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan dasar melainkan sumber keuntungan. Para spekulan membeli unit hunian untuk sengaja mengosongkannya dalam waktu lama dan baru mau menjual atau menyewakannya saat harga naik.
Sementara hunian semakin terbatas akibat permainan semacam itu, jumlah penduduk terus meningkat sebanyak 20 ribu sampai 60 ribu per tahun. Data dari konsultan properti internasional Knight Frank menunjukkan sejak 2010 hingga 2018 jumlah penghuni Berlin membeludak sebanyak 360 ribu. Dalam rentang waktu yang sama, hanya 86.370 hunian baru yang dibangun.
Implikasinya, harga sewa naik tak teratur, padahal 86% warga tinggal di hunian sewaan. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, harga sewa hunian di Berlin sudah meningkat sebanyak 46%. Bahkan, Berlin yang sempat digelari sebagai kota terbaik bagi milenial pada 2018 lalu berpotensi menjadi kota yang tak bisa memberikan hunian layak dan terjangkau bagi muda-mudinya. Cengkeraman tuan tanah raksasa membuat harga hunian meroket ugal-ugalan dan sulit dikontrol oleh negara.
Akhirnya, warga kota putus asa mencari hunian terjangkau.
Sebenarnya beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Pada tahun lalu, pemerintah Berlin melarang kenaikan harga sewa selama lima tahun. Namun, aturan itu digagalkan. Selain tetap banyak tuan tanah yang mengakali kenaikan harga, misalnya dengan melakukan renovasi yang tak seberapa, aturan itu juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman karena dianggap tidak konstitusional dan melanggar hak kepemilikan pribadi swasta.
Merebut Hak atas Kota
Muak dipermainkan, warga akhirnya bergerak. Pada 2018, mereka berinisiatif membentuk gerakan dengan tujuan ambisius: mengusir korporasi besar dan mengembalikan hunian kepada publik dengan berlandaskan artikel 15 dalam Konstitusi yang mengizinkan sumber daya dan properti dinasionalisasi untuk kepentingan rakyat. Sasaran utama mereka adalah korporasi yang memiliki lebih dari 3.000 unit hunian, salah satunya perusahaan properti besar Deutsche Wohnen.
Gerakan yang dikenal dengan Deutsche Wohnen & Co Enteignen ini menuntut referendum sejak tiga tahun lalu, dan baru terwujud pada pemilihan umum 26 September lalu. Hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 56,4% warga setuju untuk mengusir Deutsche Wohnen dan kawan-kawan dari Berlin. Artinya, unit-unit yang dimiliki korporasi raksasa harus segera dijual kepada publik dengan harga di bawah harga pasar.
Meskipun hasil referendum tidak mengikat secara hukum, tetapi hasil ini tetap memberikan pengaruh dan tekanan pada pejabat kota.
Wali kota terpilih dari Partai Sosial Demokrat Franziska Giffey sudah memberikan pernyataan menghormati dan melanjutkan hasilnya meski tidak setuju dengan gagasan referendum. Jika hasil referendum ini dijalankan, maka sekitar 240 ribu unit hunian (11% dari total unit hunian di Berlin) akan dibeli oleh pemerintah kota untuk kemudian dikelola dan dipergunakan oleh komunitas warga.
Tapi para tuan tanah tidak mengalah begitu saja. Mereka menakut-nakuti bahwa pengambilalihan properti oleh publik hanya akan memperburuk keadaan, bahkan menciptakan krisis lebih parah. Namun, warga Berlin tetap kukuh: hunian tidak seharusnya dijadikan ladang berjudi orang-orang super kaya, tapi pemenuh kebutuhan dasar warga kota.
Krisis Hunian Global
“Saya percaya ada perbedaan besar antara hunian sebagai komoditas dan emas sebagai komoditas. Emas bukan hak asasi manusia, hunian adalah hak asasi manusia,” ujar Leilani Farha, penulis laporan khusus di PBB mengenai keterbatasan hunian global.
Berlin memang hanya potongan mosaik dari persoalan tidak terjangkaunya hunian di berbagai wilayah urban seluruh dunia. Dalam laporan berjudul “Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context” (2017) yang ditulis Leilani Farha untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB, disebutkan bahwa pada 2017 nilai total hunian real estat global mencapai 217 juta dolar AS atau sekitar 60% dari jumlah aset global. Artinya, para investor menggelontorkan uang dalam jumlah luar biasa besar untuk membeli hunian bukan untuk mengaktifkan fungsi sosialnya namun demi menggalang profit dan kekayaan darinya.
Inilah yang disebut sebagai finansialisasi hunian. “Istilah itu mengacu pada cara investasi modal dalam sektor hunian yang semakin memutus rumah dari fungsi sosialnya sebagai penyedia tempat untuk hidup dalam kondisi aman dan bermartabat,” kata Farha. “Karenanya finansialisasi hunian meremehkan perwujudan rumah sebagai hak asasi manusia.”
Orang-orang kaya yang berjudi di sektor hunian membuat kelangkaan seperti di Berlin terjadi di berbagai kota lain. Masih mengutip laporan Farha, 82 ribu unit hunian di Melbourne dibiarkan kosong oleh spekulan. Di distrik-distrik makmur di London, jumlah hunian kosong meningkat sebanyak 40% selama 2013–2014. “Rumah-rumah dibiarkan kosong, sementara jumlah tunawisma menjamur,” kata Farha.
Sama seperti di Berlin, kondisi ini berujung pada tidak terjangkaunya harga hunian oleh sebagian besar warga kota. Survei Lincoln Institute of Land Policy pada 2019 menemukan dari 200 kota yang diteliti, 90% di antaranya tidak menyediakan hunian yang terjangkau. Simpulan itu diperoleh dari perbandingan rata-rata harga hunian dan pendapatan warga.
Finansialisasi hunian juga berujung pada pembentukan area elite. Perusahaan properti banyak mengambil alih area di sekitar pusat kota dan bisnis untuk kemudian dijual kepada kaum kaya dengan profit setinggi-tingginya. Sementara para pekerja yang mestinya diberikan akses menjangkau area pusat justru semakin terpinggirkan ke wilayah periferi. Farha menyebut pola ini tidak hanya terjadi di negara-negara kaya di belahan bumi Utara seperti Amerika Serikat, tapi negara-negara berkembang di Selatan seperti Chili dan Afrika Selatan.
Pola demikian juga jelas tampak di Jakarta. Riset dari Harian Kompas yang diterbitkan pada 1 Oktober lalu memperlihatkan bahwa pekerja usia produktif, terutama generasi milenial yang lahir antara 1980–1995, nyaris mustahil membeli rumah di pusat kota. Simpulan itu diperoleh dari hasil analisis price income ratio (PIR), yaitu perbandingan penghasilan dengan harga rumah.
Harian Kompas menyebut rumah yang dapat dibeli warga Jakarta saat ini berkisar Rp168,8 juta dengan simulasi kredit cicilan maksimal 35 persen dari Rp1,5 juta, selama 15 tahun, dan bunga tetap 8 persen per tahun. Sementara harga rumah tapak tipe 36 di Jakarta saja minimal Rp 556 juta.
Disimpulkan bahwa pekerja milenial akan semakin terpinggirkan ke wilayah perifer dengan radius 30–50 kilometer dari pusat, yang masih menyediakan hunian seharga minimal Rp168,8 juta.
Apa yang terjadi di Jakarta tidak jauh berbeda dengan belahan bumi lain. Hunian dijadikan wahana investasi, ruang-ruang kota dikooptasi pemodal, dan warga yang sudah dijejali cicilan ini itu dipaksa untuk angkat kaki. Sementara semakin banyak real estat dan apartemen mewah dibangun—beberapa dibuat untuk dikosongkan—ribuan orang menggelandang di sudut-sudut jalanan.
Haruskah warga kota berputus asa?
Secercah Harapan dari Berlin
Keberhasilan gerakan akar rumput di Berlin untuk merebut kembali hak atas kota digadang-gadang dapat menjadi momentum bagi upaya serupa di seluruh dunia. Jauh sebelum referendum dijalankan, ahli urban dari King’s College Cambridge Joana Kusiak membayangkan gerakan ini akan membuka kemungkinan untuk mengatasi krisis hunian di banyak wilayah.
Dalam tulisan yang ditayangkan The Conversation pada 2019 lalu, Kusiak berargumen bahwa jika berhasil, gerakan di Berlin akan melahirkan preseden legal baru bagi kota-kota lain untuk menggaungkan nasionalisasi berbasis partisipasi akar rumput sebagai alternatif pemecahan krisis hunian. Kemarahan warga Berlin membuktikan mobilisasi besar-besaran ternyata memiliki kekuatan secara langsung, meskipun dijalankan dalam sistem politik yang terbatas.
“Muak karena krisis hunian, aktivis Berlin tidak hanya mendorong legislator mereka, mereka juga menunjukkan cara alternatif lain lewat pencarian kemungkinan progresif di dalam hukum yang ada, dan melampauinya,” tulis Kusiak.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Alexander Vasudevan, profesor geografi manusia dari University of Oxford. Vasudevan menilai kemenangan gerakan Deutsche Wohnen & Co Enteignen seharusnya bisa menjadi inspirasi. Lewat tulisan yang diterbitkan The Guardian, Vasudevan menyoroti kapasitas massa untuk dapat memengaruhi kebijakan mengenai hunian secara langsung sekaligus memberdayakan komunitas-komunitas urban yang rentan terhadap ancaman kehilangan tempat tinggal.
Ia melihat gerakan akar rumput yang masif, berskala besar, dan kreatif seperti ini efektif untuk merebut kembali hunian dari tangan para spekulan dan tuan tanah raksasa. Mobilisasi massa sebesar inilah yang ia nilai absen dalam berbagai usaha mengentaskan krisis hunian di kota-kota lain.
“Ini juga menunjukkan kepada kita kekuatan aktivisme para penyewa dan pengorganisasian masyarakat akar rumput,” ujar Vasudevan. “Sebagaimana para aktivis Wohnen & Co. Enteignen dengan bangga memproklamirkan: Ini adalah kota kami, ini adalah rumah kami.”
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Rio Apinino