tirto.id - Ini cerita tentang hantu. Genderuwo namanya. Ia bermula dari Tegal, tepatnya di GOR Tri Sanja, Slawi, saat Presiden Jokowi berpidato di sesela acara penyerahan 3.000 sertifikat tanah kepada masyarakat.
Jokowi menyindir laku para politikus yang kerap menakut-nakuti rakyat dengan pelbagai isu yang digawat-gawatkan. Padahal, menurutnya, masyarakat senang semua dengan situasi saat ini.
“Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan. Gak bener kan. Sering saya sampaikan, itu namanya politik genderuwo,” ucap Jokowi.
Pelbagai catatan yang mengisahkan hantu dan makhluk halus di Jawa selalu menggambarkan genderuwo sebagai sosok yang senang menakut-nakuti. Oleh karenanya, kata “genderuwo” yang dipakai oleh Jokowi tepat belaka untuk menyindir siapapun yang doyan menakut-nakuti rakyat dengan pelbagai isu yang menyudutkan Jokowi sebagai presiden.
Menurut Guru Besar Antropologi UGM Heddy Shri Ahimsa-Putra, penggunaan kata “genderuwo” oleh Jokowi dilatarbelakangi perhitungan matang. Pertama, karena Jokowi orang Jawa dan ia menggunakan simbol-simbol yang ia kenal. Kedua, karena strategi lawan politiknya kerap menakut-nakuti masyarakat.
Ia menambahkan kritik yang disampaikan Jokowi sebetulnya bukan hanya ditujukan kepada lawan politiknya, tapi juga kepada siapapun yang ikut-ikutan menakut-nakuti rakyat.
“Itu bisa juga ditujukan kepada pihak lain yang kerap menakut-nakuti orang. Politisi genderuwo itu bisa siapapun, tidak harus lawan [politik] Jokowi. Politisi lain atau pengamat politik, kalau menakut-nakuti ya itu genderuwo. Jadi kritiknya untuk semua orang. Bisa ekonom genderuwo, bisa ustaz genderuwo, dan sebagainya,” ucapnya ketika dimintai komentar oleh Tirto.
Kata “genderuwo”, tambah Heddy Shri Ahimsa-Putra, digunakan agar pesan Jokowi lebih mudah diterima masyarakat.
Tafsir Genderuwo
Mitos-mitos seputar makhluk halus di Jawa, khususnya genderuwo, cukup lengkap dicatat oleh Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian di Mojokuto, sebuah kota kecil di Jawa Timur.
Menurutnya Geertz dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2014), secara umum orang Jawa mengenal tiga jenis makhluk halus, yakni memedi, lelembut, dan tuyul.
Lelembut disebut-sebut bisa menyebabkan manusia jatuh sakit dan gila, tuyul disukai manusia karena dapat menyebabkan seseorang menjadi kaya, dan memedi doyan menakut-nakuti manusia.
Memedi, imbuh Geertz, biasanya ditemukan pada malam hari, khususnya di tempat-tempat yang gelap dan sepi. Seringkali mereka mengambil wujud orangtua atau anggota keluarga lainnya, entah yang masih hidup maupun sudah mati, bahkan terkadang menyerupai anak sendiri.
Salah satu memedi yang paling legendaris adalah genderuwo, yang umumnya lebih suka bermain-main dan mengerjai manusia ketimbang menyakiti.
Beberapa ulah genderuwo antara lain menepuk pantat perempuan (terutama saat sedang sembahyang), memindahkan pakaian seseorang dari rumah dan melemparkannya ke kali, melempari atap rumah dengan batu sepanjang malam, melompat dari belakang sebatang pohon di kuburan dengan wujud besar dan hitam, dan lain sebagainya.
Politik Menyeberang dan Berahi Politik
Meski dianggap hanya doyan menakut-nakuti, tapi genderuwo kadang menimbulkan petaka. Dalam alam pikiran orang Jawa, menurut Geertz, genderuwo mampu menculik seseorang sehingga pindah ke alamnya dan tak kembali ke alam manusia.
Dengan menyamar sebagai orang-orang terdekat seperti orangtua, kakek, anak, atau saudara kandung, genderuwo mengajak seseorang untuk ikut dengannya. Jika seseorang menuruti ajakannya, ia akan hilang dari pandangan manusia.
Dalam kondisi seperti ini, keluarganya biasanya akan memukuli pacul, arit, panci, dan sebagainya agar genderuwo merasa terganggu sehingga mau melepaskan korbannya.
Saat mendengar kegaduhan itu, genderuwo akan menawarkan makanan kepada calon korban. Apabila calon korbannya menerima makanan tersebut, maka ia bakal lekas raib. Jika menolak, ia akan kelihatan lagi dan bisa ditemukan oleh keluarganya.
Dalam kasus tertentu, tindakan genderuwo bisa melampaui batas, misalnya menyetubuhi seorang perempuan dengan menyamar sebagai suami si korban. Keturunan hasil dari persetubuhan manusia dan genderuwo biasanya menyerupai raksasa.
Geertz menerangkan, di Mojokuto, tempat ia melakukan penelitian, ada seorang anak yang perawakannya mendekati deskripsi raksasa, yakni berbadan besar, hitam dan bentuknya aneh, yang hidup sampai usia enam belas tahun, lalu meninggal.
Kisah lain tentang mitos genderuwo yang menyetubuhi perempuan bersuami datang dari Gunungkidul. Darmaningtyas dalam Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul (2002) menceritakan, suatu saat di Gunungkidul ada tiga orang perempuan yang melahirkan anak berkepala besar yang meninggal tak lama kemudian.
Salah seorang suami dari tiga perempuan itu adalah seorang yang banyak berguru tentang dunia makhluk halus. Setelah menerawang, ia berhasil menemukan bahwa genderuwo ada di balik kelahiran anak-anak dengan kondisi fisik malang itu. Ia dan istrinya pun bersiasat.
“Caranya adalah ia bersepakat dengan istrinya untuk tidak melakukan senggama dan ia akan menyelinap di senthong. Lalu jika tiba-tiba ada seseorang yang mirip dengannya mengajak bersenggama, maka laki-laki itu harus dicekik lehernya,” tulis Darmaningtyas.
Pada malam yang telah ditentukan, saat istri tidur sendirian di amben, tiba-tiba seseorang dengan wujud mirip sang suami datang menghampiri dan bersiap menyetubuhinya. Sang istri pun bersiaga untuk menyerang laki-laki tersebut. Saat tubuhnya mulai disentuh, sang istri langsung mencekik leher laki-laki itu. Suami jadi-jadian itu pun menghilang.
“Setelah peristiwa tersebut, sang istri tidak pernah digoda lagi, terlebih ketika tempat yang dicurigai sebagai omahe genderuwo (tempat persembunyian genderuwo), yaitu di bawah pohon bambu diberi sesaji lalu dibongkar habis,” imbuh Darmaningtyas.
Jika melihat dua kelakuan genderuwo terakhir, yakni menculik seseorang sehingga bisa menyebabkan orang tersebut berada lama dalam dunia makhlus halus, juga sebagai penyebab lahirnya keturunan campur antara manusia dan genderuwo, maka kata “genderuwo” dalam konteks politik bisa lebih luas dari sekadar menakut-nakuti.
Diculik genderuwo barangkali bisa ditafsirkan juga sebagai komentar atas menyeberangnya politikus dari satu kubu ke kubu lain tanpa motif apapun kecuali kepentingan sesaat. Sementara tindakan menyetubuhi perempuan menunjukkan birahi politik yang tak terkendali, yang tak melahirkan apa-apa kecuali perseteruan dalam masyarakat.
Editor: Windu Jusuf