Menuju konten utama

Merayakan Kekalahan di Museum Kegagalan

Bosan dengan cerita sukses? Cobalah kisah kegagalan

Museum of Failures. FOTO/Penguin Vision Photography

tirto.id - Kegagalan memang punya pesona sendiri, apalagi jika Anda muak dengan segala jenis buku, siaran televisi, dan seminar tentang kisah sukses berikut ribuan template-nya. Tapi siapkah Anda berbagi kisah-kisah kegagalan pribadi?

Di dunia film, sutradara Inggris Terry Gilliam nyaris membuat film tentang Don Quixote, tetapi gagal di tengah jalan. Kemalangan itu justru diapresiasi oleh Keith Fulton, yang selanjutnya menyutradari Lost in La Mancha (2002), sebuah dokumenter tentang kegagalan Gilliam mengadaptasi Don Quixote ke layar lebar.

Pada 2003, Tommy Wiseau merilis film berjudul The Room yang disebut-sebut kritikus sebagai film terburuk abad ini. Namun, cerita dan karakter yang tak jelas, latar dan properti yang dibikin asal-asalan, kelak membuat film ini terus ditonton oleh orang banyak dan dikagumi karena kebodohan-kebodohannya. Pada 2017, aktor James Franco membikin Disaster Artist, sebuah film tentang proses produksi The Room, yang tentu saja lebih baik dari film terjelek sepanjang abad 21 itu. Sampai hari ini Wiseau masih memproduksi film-film yang tak kalah buruk dari mahakaryanya itu.

Alih-alih menuturkan kegagalan orang lain, Samuel West justru mendorong kita semua untuk curhat soal kegagalan pribadi.

Pasalnya, psikolog asal Amerika kesal tiap kali membaca kisah sukses para pengusaha. Semuanya serupa dan minim pengalaman pahit. Padahal, pelajaran berharga umumnya didapat dari kegagalan, bukan keberhasilan. “Banyak buku mengajarkan bahwa 80%-90% inovasi mengalami kegagalan, tapi kita tidak pernah mendengarnya,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan National Geographic.

Pada suatu hari West berkunjung ke Museum of Broken Relationships di Zagreb, Kroasia. Museum itu mengoleksi benda-benda kenangan dari hubungan romantis yang kandas. Independent melaporkan bahwa benda-benda koleksi museum distok oleh para mantan seluruh dunia.

Museum of Broken Relationships didirikan oleh Olinka Vištica dan Dražen Grubišić pada 2010. Dua orang seniman itu dulu berpacaran selama empat tahun. Setelah hubungan mereka kandas, Vištica dan Grubišića sepakat membangun museum. Di antara barang-barang yang dipamerka adalah G-string milik perempuan yang diputus pacarnya via email, alat bantu seks, hingga botol anggur yang sedianya akan dibuka dua orang pasangan selingkuh jika mereka sudah meninggalkan pasangan masing-masing. Tahun lalu, museum yang sama dibuka di Los Angeles.

“Saya suka cara mereka memakai konsep hubungan yang kandas dan menggunakan barang-barang fisik untuk mewakili hubungan itu,” ujar West.

Akhirnya West pun terdorong memamerkan barang-barang yang merepresentasikan kegagalan-kegagalan dalam hidupnya. Ia mengumpulkan benda-benda tersebut sejak 2015 dan menerima kiriman koleksi dari luar.

Pada 2017, ia mendirikan Museum of Failure atau Museum Kegagalan di Helsingborg, Swedia. Sebanyak 100 lebih produk gagal dipamerkan agar dapat dihayati pengunjung. Produk-produk gagal dari beberapa perusahaan ternama turut dipajang di museum yang tahun ini dibuka cabangnya di Hollywood, Los Angeles.

Di hadapan hadirin Tedx Talk, West mengisahkan bahwa ia mendirikan museum untuk mengajak pengunjung belajar dari kegagalan meski rasa sakit dan malu mendera. “Saya ingin membicarakan kegagalan, entah itu kegagalan perusahaan atau perorangan, sehingga kita bisa belajar,” katanya pada para hadirin.

Makna penting museum itu ia ilustrasikan dengan mengutip kisah beberapa tamu asal Afrika yang singgah. "Kita butuh museum seperti ini," ujar West menirukan ucapan tamunya. West tak menyebutkan Afrika bagian mana yang dimaksud.

“Di kampung halaman asal tamu saya itu, kalau kamu gagal maka tidak akan ditanggung sendiri tapi juga anak dan cucumu,” ujar West di Tedx Talk. Mereka, tutur West, butuh membangun Museum Kegagalan agar orang paham betapa terobosan baru di bidang sosial atau teknologi membutuhkan kegagalan.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/20/pamer-kegagalan--mild--nadya1.jpg" width="860" alt="Infografik Pamer Kegagalan" /

Produk Gagal Perusahaan Ternama

Dari 100 lebih barang yang dipamerkan di Museum Kegagalan, beberapa di antaranya dihasilkan perusahaan terkenal seperti Google, Apple, Coca Cola, Colgate, Sony, dan Kodak.

Produk Apple yang jadi koleksi Museum Kegagalan adalah Apple Newton yang diproduksi tahun 1993. Dilansir Pulse, Apple Newton merupakan satu dari sejumlah produk gagal Apple, selain printer Apple, Apple scanner, Apple QuickTake Camera, dan lain-lain.

Newton merupakan sistem operasi asisten pribadi pertama yang dibuat Apple untuk tablet MessagePad. Perangkat genggam berbekal stylus ini turut dilengkapi dengan aplikasi Notes, Names, dan Dates.

Menurut Fred Vogelstein dalam Apple vs Google (2015), sistem operasi asisten pribadi pertama Apple Newton menjadi sebuah terobosan kala itu. Namun, gawai ini tak laku di pasaran. Masalahnya bukan harganya yang mencapai seribu dollar. alih-alih bobot yang terlalu berat untuk gawai portabel seukuran saku serta baterai yang cepat habis. Ditambah lagi, piranti lunak Apple tak mampu mengenali tulisan tangan dengan baik. Padahal fitur inilah yang digadang-gadang sebagai unggulan Newton.

Newton merupakan satu dari sekian banyak produk gagal keluaran Apple ketika perusahaan itu dikelola oleh John Sculley, Michael Spindler, dan Gil Amelio. Waktu itu Steve Jobs sudah menyatakan keluar. Ketika Jobs kembali ke Apple pada 1997, ia langsung menutup proyek Newton.

Langkah Jobs masuk akal sebab Newton sejak awal kalah saing dengan laptop dan agenda elektronik semacam PalmPilot yang ukurannya kecil, harganya terjangkau, dan punya baterai yang tahan lama. Meski begitu, Newton menjadi cikal bakal iPad dan iPhone yang saat ini jadi mesin uang Apple.

Kegagalan tidak hanya terjadi di inovasi teknologi ala Apple. Coca Cola pun pernah gagal total dengan sangat memalukan.

Coca-Cola pernah memproduksi Coca Cola BlāK. Minuman ringan bercita rasa kopi yang pertama kali dikenalkan di Perancis pada 2006 itu kemudian dijual di Amerika Serikat dan Eropa. Versi Amerika dari Coca Cola BlāK Blak mengandung 46 miligram kafein per kemasan 240 mililiter. Jumlah kafein tersebut dua kali lipat banyaknya dibandingkan kafein Cola klasik.

Produk ini bernasib tragis. Usianya hanya dua tahun di pasaran. Pihak Coca-Cola berdalih bahwa Coca Cola BlāK yang harganya lebih mahal itu memang “tidak untuk semua orang”.

Pihak Coca Cola kembali mengakui kegagalannya ketika New York Times meminta komentar atas produknya yang dipamerkan di museum buatan West. Coca Cola mengatakan bahwa perusahaannya selalu berusaha mencari terobosan baru berdasarkan preferensi konsumen yang berubah-ubah. Coca Cola BlāK, menurut Coca Cola, adalah contoh terobosan yang tidak menuai hasil seperti yang diharapkan, sehingga akhirnya ditarik.

Meski demikian, perusahaan ini tetap melirik pasar kopi sebab minuman satu ini lekat dengan kehidupan banyak orang. Coca Cola pun meluncurkan Coca-Cola Coffee Plus, minuman dengan 50 persen kafein, pada September tahun 2017. Produk ini dijual terbatas di Jepang.

Dilansir dari Independent, Coca Cola juga memproduksi Coca-Cola Coffeee Plus No Sugar, kola rasa kopi tanpa gula. Lagi-lagi, produk ini hanya dijual terbatas di Australia ketika musim panas.

"Orang Australia punya kecintaan besar pada kopi, jadi kami berpikir kenapa tidak memenuhi keinginan mereka?" ujar juru bicara Coca-Cola Australia Lisa Winn kepada Independent.

Baca juga artikel terkait MUSEUM atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf