Menuju konten utama

Merawat Bakat Seni dalam Militer

Semestinya Koramil Cisewu meneladani SBY. Buah karya SBY: tiga buku puisi, empat album musik, dan tiga manuskrip puisi yang hilang

Merawat Bakat Seni dalam Militer
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono kembali bernyanyi. Antara/Yudhi Mahatma

tirto.id - Suatu hari pada tahun 1961, ketika ia masih bocah, ia dibawa ayahnya ke Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, buat menyaksikan baris-berbaris.

"Ayah saya adalah seorang tentara, jadi dalam rumah sederhana kami, ayah adalah pahlawan," ia menulis dalam salah satu bukunya berpuluh-puluh tahun kemudian.

Setahun setelah pakansi ke Akademi Militer itu, ia lulus dari sekolah rakyat dengan nilai tertinggi. Pada akhir 1969, ia mengikuti tes Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, gerbang tol menuju mimpi kanak-kanaknya.

“Dasar pintar, dia lulus dengan mudah,” tulis Garda Maeswara, pengarang buku biografinya, tentang tes tersebut. Dan dari titik itu, riwayat pendidikan dan kariernya, baik sebagai serdadu maupun politikus, cemerlang belaka.

Apakah ia, tokoh kita itu, bernama Susilo Bambang Yudhoyono? Siapa lagi?

Yang menarik, Susilo tak hanya pintar dan bugar, tetapi juga berkelimpahan bakat seni. Sejak belajar di sekolah menengah, ia telah biasa melukis, main sandiwara (bersama Sanggar Dahlia Pacitan), menulis puisi dan cerita pendek di majalah dinding sekolah, dan membetot bas untuk kelompok musik yang ia dirikan bersama kawan-kawannya.

“Kalau orang bilang saya kutu buku itu salah, karena saya aktif di organisasi, juga senang traveling jalan darat, naik sepeda. Voli, saya main setiap minggu. Musik, saya main setiap minggu. Orang tua saya takut nilai saya terganggu, tapi alhamdulillah semuanya bisa saya jalani,” ujar Susilo dalam satu acara yang ditayangkan Trans TV. Sebentar kemudian, ia membuktikan kecakapan musikalnya dengan cara menyanyikan lagu Koes Plus, “Bis Sekolah.”

Pada 2004, Susilo masuk studio rekaman. Ia menyanyikan lagu “Merajut Damai” ciptaan Siwi Purwono. Dalam klip video lagu itu, Susilo bernyanyi di antara pot-pot anggrek, pohon jambu, dan semak belukar. Ia mengenakan kemeja biru telur asin dan jaket biru laut dan celana bahan, dan menampilkan bahasa tubuh yang serba jatmika.

Tetapi Susilo, sebagaimana semua musikus serius, tak betah menjadi sekadar penyanyi samak. Pada 2007, ia menerbitkan album pertamanya Rinduku Padamu. Selang dua tahun, bersama Yockie Suryoprayogo (God Bless, Giant Step, Swami), ia membentuk kolektif musik dan merilis album Evolusi. Dan pada Januari 2010, The Jakarta Post melaporkan: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menunjukkan komitmen terhadap sisi artistiknya dengan meluncurkan album Ku Yakin Sampai di Sana, yang merangkum sembilan lagu ciptaannya.”

“Di tengah perjuangan saya untuk melayani negara,” tulis Susilo dalam catatan pengiring Ku Yakin Sampai di Sana, “sesekali pada waktu luang, saya menyampaikan perasaan-perasaan saya lewat karya seni.”

Keputusan Susilo untuk menggunakan istilah “karya seni”, bukan “lagu”, dalam catatan itu tentu punya makna. Yang paling terang: Ia tak hanya menerangkan proses kreatifnya selaku musikus, tetapi juga sastrawan. Seperti Leonard Cohen, Susilo adalah musikus sekaligus penyair. Bahkan, jika karier militernya dipertimbangkan, ia patut disandingkan dengan para pahlawan mitik bangsa-bangsa Skandinavia (Egill Skallagrímsson dari Islandia, misalnya), yang piawai mengayunkan pena maupun kapak.

Sebagai penyair, Susilo telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi, yaitu Taman Kehidupan (2004) dan Membasuh Hati (2010). Kemudian, keduanya diterbitkan ulang sebagai satu buku oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul Membasuh Hati di Taman Kehidupan.

Namun, itu belum seluruhnya. Dalam satu video di kanal YouTube resminya, Susilo menjelaskan nasib tiga manuskrip kumpulan puisinya yang lahir lebih dulu: Pesona yang Kudaki (“Menggambarkan keindahan alam Yogyakarta dan Kedu,” katanya kepada Ni Luh Caosa Indryani, pemandu percakapan), Getar-getar Kasih (“Tentang budaya dan masyarakat yang khas”), dan Romantika (“Yang menunjukkan dinamika, bahkan sikap kritis, masyarakat Yogyakarta”).

Sayang sekali, ketiga naskah itu hilang, kata Susilo. Ia menceritakan bagaimana ia mencari anak-anak spiritualnya itu sambil sesekali tertawa pahit. Istrinya, Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono, menanggapi dengan gumaman yang tak kalah pahit. “Padahal sangat berharga, ya,” ujarnya.

Pada abad ke-16, penyair Portugis Luís de Camões berlayar menyusuri pantai Kamboja bersama pacarnya. Malang tak tertolak, di dekat muara Sungai Mekong, kapal yang mereka tumpangi karam. Camões terdesak dan mesti segera membuat prioritas. Maka, ia pun berenang ke tepi dengan hanya menggunakan kedua kaki dan lengan kanan. Apakah ia memeluk pacarnya dengan lengan kiri? Tidak, lengan kiri Camões menjunjung Os Lusíadas, sedangkan pacarnya tenggelam seperti sebongkah batu.

Pesan kisah singkat itu, kalau Anda belum paham: Kehilangan manuskrip merupakan perkara serius bagi para penyair.

Kabar baiknya, Susilo tak mudah putus asa. Nasib buruk boleh saja merampas tiga naskah yang ia cintai, tetapi di kemudian hari ia bangkit dan membalas dengan cara menerbitkan tiga buku puisi utuh, lengkap dengan sampul bergambar tumbuh-tumbuhan yang menenteramkan dan kata pengantar dari sastrawan-sastrawan Indonesia termasyhur, antara lain K.H. Mustofa Bisri dan Putu Wijaya.

Kegiatan Susilo sebagai musikus dan sastrawan jelas punya pengaruh terhadap pekerjaannya di lapangan politik. Pada 2004, dua urusan itu membantunya membangun kesan bahwa ia tak hanya tegas dan pandai (dari latar belakangnya sebagai jenderal perancang strategi) serta korban penguasa lalim (dari konfliknya dengan Megawati), tetapi juga mempunyai empati dan citarasa kebudayaan yang baik.

Kemudian, setelah ia menjabat sebagai Presiden Republik hingga kini, urusan-urusan itu berbalik mencederainya. Tak sedikit rakyat yang menganggap ia kelewat sibuk berkesenian alih-alih mengurusi negara. Namun, ia bergeming dan tetap menyanyi dan mengarang puisi. Di atas semua tekanan itu, Susilo menunjukkan daya tahan yang menakjubkan.

“Saya sebenarnya menyenangi menulis puisi dan bermain musik pada saat remaja,” katanya kepada Caosa sambil menahan senyum. Wajahnya tampak riang dan polos. “Bakat itulah yang terus saya pelihara.”

Macan Tangsi

Beberapa hari belakangan, di media-media sosial, ada banyak pembicaraan tentang patung macan di Komandan Rayon Militer (Koramil) 1123 Cisewu, Garut, Jawa Barat. Warga internet Indonesia kebanyakan menganggap patung itu menggelikan berkat kepalanya yang bengkak dan mencong serta posturnya yang hancur lebur. Koramil 1123 agaknya tidak tahan maskotnya jadi bahan tertawaan; mereka pun buru-buru merobohkan patung itu.

“Patung itu dibuat sekitar enam tahun lalu oleh seorang seniman,” kata Kolonel ARH Desi Arianto, Kapendam III Siliwangi, saat dihubungi Windu Jusuf dari Tirto.

Enam tahun, hujan dan panas dan siang dan malam, dan “macan Cisewu” baik-baik saja. Kemudian, hanya karena orang-orang menggonggong di media sosial, ia dipensiunkan secara tidak hormat. Itu jelas preseden buruk terhadap pengembangan bakat seni di kalangan militer.

“Daya tahan lebih penting ketimbang kekuatan, kesabaran lebih penting ketimbang keindahan,” ujar kritikus seni era Victorian John Ruskin suatu kali. Dan semestinya, para penghuni tangsi tahu kepada siapa mereka harus belajar.

Baca juga artikel terkait MILITERISME atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam