Menuju konten utama

Menyoal Urgensi Rekrutmen 24.000 Tamtama: Benarkah Negara Butuh?

Penambahan puluhan ribu prajurit baru juga berkonsekuensi menambah beban anggaran. Apa dampak lainnya?

Menyoal Urgensi Rekrutmen 24.000 Tamtama: Benarkah Negara Butuh?
Prajurit TNI AD mematahkan kayu balok menggunakan kepala ketika atraksi bela diri Yongmoodo, di Makodam I/Bukit Barisan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/3). Bela diri yang memadukan pukulan, tendangan, bantingan dan kuncian tersebut merupakan bela diri wajib bagi prajurit TNI AD. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/ama/17

tirto.id - Rencana Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) membuka rekrutmen 24.000 Tamtama mengisi Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) pada tahun ini, memanen banyak masukan dan kritik. Dinas Penerangan TNI AD menjelaskan batalion khusus ini akan punya tugas pada sektor selain pertahanan, meliputi pertanian, peternakan, sampai kesehatan.

Namun, beberapa pihak khawatir rekrutmen puluhan ribu prajurit yang berfokus pada sektor di luar pertahanan dapat menggerus profesionalisme TNI. Terlebih, tugas pokok dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan menjaga keutuhan NKRI merupakan mandat yang diatur konstitusi secara tegas.

Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai bahwa UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang diperbarui lewat UU TNI Nomor 3/2025, secara jelas memandatkan tupoksi TNI sebagai alat pertahanan negara. UU TNI dengan tegas menyebutkan bahwa TNI adalah alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Fungsi TNI mencakup penangkal ancaman militer dan bersenjata, baik dari dalam maupun luar negeri; sebagai penindak terhadap ancaman tersebut; serta pemulih kondisi keamanan negara akibat kekacauan keamanan.

“Artinya, TNI dimandatkan sebagai komponen utama dalam pertahanan negara. Hal ini menunjukkan bahwa tugas utama TNI berfokus pada aspek pertahanan dalam melindungi kedaulatan negara dari ancaman seperti agresi, invasi, dan lain-lain,” kata Beni kepada wartawan Tirto, Jumat (13/6/2025).

Kesiapan pengamanan World Water Forum Kodam IX/Udayana

Prajurit TNI AD mengikuti apel gelar pasukan dalam rangka kesiapan pengamanan KTT World Water Forum ke-10 di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Senin (13/5/2024). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.

Dengan begitu, Beni memandang, meskipun pembentukan batalion teritorial memperkuat keberadaan TNI di daerah-daerah, pembentukan batalion dengan fungsi yang tak langsung terkait tugas pertahanan atau non pertahanan, menimbulkan pertanyaan. Terutama tentang rencana yang sejalan atau justru berlawanan dengan tupoksi TNI.

Padahal, peran TNI di luar tugas pertahanan termasuk dalam kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP), sudah diatur di dalam Pasal 7 UU TNI. Namun perlu dicatat bahwa OMSP seharusnya bersifat perbantuan dan tidak mengesampingkan tugas utama TNI.

“Sebaiknya dibentuk batalion tempur seperti infanteri, kavaleri serta tambahan seperti zeni tempur dan lainnya agar dapat memperkuat kemampuan pertahanan negara,” terang Beni.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melihat rencana rekrutmen 24 ribu Tamtama untuk Batalyon Teritorial Pembangunan memunculkan kekhawatiran sekaligus pertanyaan serius. Terutama, soal apakah TNI mulai bergeser dari tupoksinya sebagai militer sejati untuk alat pertahanan negara, menjadi militerisasi urusan sipil yang bukan menjadi ranah TNI.

Menurut Usman, rencana ini menyalahi mandat konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan UU TNI. Kedua, aturan itu memandatkan TNI berperan di bidang pertahanan dan bukan pelaksana program pembangunan sipil.

Rekrutmen baru seharusnya tetap berfokus pada aspek pertahanan. TNI sejatinya dibentuk, dididik, dan dilatih untuk berperang, menjaga kedaulatan, serta melindungi keutuhan wilayah dari ancaman pasukan asing.

“Jadi pelibatan personel TNI dalam sektor pertanian, peternakan, dan pelayanan kesehatan bukan saja tidak sesuai dengan doktrin dasar pertahanan, tetapi juga berisiko mencederai profesionalisme TNI itu sendiri,” kata Usman kepada wartawan Tirto, Jumat (13/6/2025).

PANEN DI BEKAS LAHAN GANJA

Prajurit TNI Kodim 0101/BS Kodam Iskandar Muda bersama petani binaan melakukan panen perdana tanaman padi ladang atau padi gogo di lahan bekas tanaman ganja, kawasan Gunung Seulawah, Desa Lambada, Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (2/4). Pemerintah melalui program ketahanan pangan nasional yang melibatkan TNI bersama petani, membuka puluhan hektare lahan baru dengan memanfaatkan lahan bekas tanaman ganja ditanami padi gogo dan palawija. ANTARA FOTO/Ampelsa/nz/17

Ia menambahkan, ketika prajurit disiapkan bukan untuk bertempur, melainkan bertani atau beternak, jelas terdapat pembelokan fungsi yang fatal. Apalagi, fungsi itu sejatinya menjadi tugas kementerian dan lembaga sipil yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Hal ini perlu menjadi perhatian serius di tengah meningkatnya kompleksitas ancaman militer modern. Dengan begitu, TNI perlu fokus memperkuat kapasitas teknologi dan meningkatkan keahlian tempur prajurit, bukan justru ikut urusan non pertahanan.

Pemerintah juga tidak boleh tinggal diam dengan rencana rekrutmen prajurit untuk berfokus pada bidang selain pertahanan. Seakan, ungkap Usman, Indonesia kekurangan sarjana dan tenaga profesional di bidang peternakan, pertanian, kesehatan, dan pembangunan sampai perlu melibatkan militer.

“Presiden sebagai panglima tertinggi dan DPR sebagai pengawas kebijakan pertahanan harus segera mengevaluasi, bahkan bila perlu membatalkan rencana rekrutmen ini. TNI harus dikembalikan ke jati dirinya,” ujar Usman.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, tidak menampik rencana rekrutmen prajurit Tamtama sebanyak 24.000 orang pada tahun ini. Jumlah itu, disebut tidak muncul secara tiba-tiba. Sebabnya, memang terjadi peningkatan minat generasi muda yang diiringi kebutuhan kesatuan TNI AD menambah pasukan.

“Hal ini tercermin dari data pendaftaran calon Tamtama TNI AD 2025 yang mencapai 107.366 orang, dengan jumlah calon tervalidasi sebanyak 38.835 orang,” kata Wahyu.

Ia menjelaskan, sudah lima tahun terakhir, capaian penerimaan TNI AD selalu lebih dari 100 persen. Bahkan, sempat menyentuh 114,4 persen pada tahun 2023. Rekrutmen itu juga diklaim sejalan dengan arah kebijakan pertahanan negara yang dimuat Doktrin Pertahanan Negara Tahun 2023 dalam membangun sistem pertahanan yang mandiri, kuat, dan berbasis kewilayahan.

Menurut Wahyu, TNI AD berencana membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan di seluruh Indonesia untuk mendukung stabilitas dan pembangunan pada 514 kabupaten/kota. Setiap batalion berdiri di lahan seluas 30 hektar, dan memiliki kompi-kompi yang secara langsung menjawab kebutuhan masyarakat.

Sedikitnya terdapat empat kompi yang rencananya akan dibentuk: meliputi kompi pertanian, kompi peternakan, kompi medis, dan kompi zeni. Wahyu menambahkan, prajurit TNI tidak melulu dituntut untuk siap tempur. Namun, mereka dapat menjadi kekuatan pembangunan yang hadir dan bermanfaat langsung bagi masyarakat.

“Tentunya akan membutuhkan banyak personel prajurit baru melalui rekrutmen prajurit, khususnya tamtama,” ujar Wahyu.

Jangan Abaikan Profesionalisme

Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai bahwa istilah non-pertahanan dalam konteks rencana rekrutmen 24.000 prajurit TNI AD ini perlu diluruskan. Menurut Fahmi, keberadaan kompi seperti kesehatan, zeni, pertanian, dan peternakan memang bersentuhan dengan sektor pembangunan.

Tetapi pembentukannya dalam struktur Batalyon Teritorial Pembangunan dilakukan dalam kerangka strategi pertahanan non-tradisional dan ketahanan nasional.

“Artinya, meskipun tugasnya tidak bersifat tempur, mereka tetap berada dalam kerangka tugas militer, khususnya dalam bentuk kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat,” ungkap Fahmi kepada wartawan Tirto, Jumat (13/6/2025).

Secara regulatif, kata Fahmi, selama batalion ini tidak diarahkan dalam pelibatan ke ruang sipil–misalnya menjadi unit teknis di kementerian–maka tetap berada dalam koridor Pasal 7 UU TNI. Pasal itu membagi dua tugas pokok TNI, yakni Operasi Militer perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Fahmi memandang batalion yang akan dibentuk saat ini menjadi satuan organik baru. Dasar hukumnya perlu mengacu pada ketentuan mengenai pembentukan organisasi dan proyeksi kekuatan TNI yang sah. Setelah terbentuk, tugas pokok batalion ini tetap tak boleh bergeser dari OMP dan OMSP.

“Semua prajurit yang masuk tetap menjalani pendidikan militer dan memiliki kemampuan tempur dasar yang sama dengan prajurit lain. Hanya saja, setelah dididik sebagai militer, mereka kemudian disiapkan dan diarahkan untuk bertugas dalam satuan tematik,” ujar dia.

Satuan tematik disebut Fahmi bukan sesuatu yang benar-benar baru. Batalion kesehatan dan batalion zeni sudah ada sejak lama dalam jumlah terbatas. Yang baru hanyalah satuan tematik yang berperan menyiapkan cadangan logistik (pertanian dan peternakan).

PROGRAM NASIONAL PENGGEMUKAN SAPI

Prajurit TNI Kodam Iskandar Muda membantu peternak memberi pakan sapi lokal dan brahman di pusat penggemukan sapi Aceh Besar, Aceh, Sabtu (15/7). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Menurutnya, jika satuan-satuan ini terbentuk, maka satuan tempur reguler tidak lagi harus disibukkan dengan tugas-tugas sipil, seperti membangun jalan desa untuk akses daerah 3T. Selama ini, kata Fahmi, tugas-tugas semacam itu sering membebani satuan tempur yang semestinya fokus pada latihan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan penguasaan medan.

“Jadi menurut saya, justru ini bukan pelemahan lini pertahanan, tetapi bentuk penataan peran. Selama penugasan dan struktur komandonya dijaga sesuai fungsi militer, tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal profesionalitas,” tutur Fahmi.

Namun perlu diperhatikan, kompi-kompi dalam batalion ini wajib berada di bawah komando militer dengan doktrin militer, dan tidak boleh berubah menjadi unit pelaksana teknis yang menggantikan peran sipil. Selain itu, Pemerintah dan TNI perlu menjelaskan secara terbuka bahwa rencana ini bagian dari upaya meningkatkan kekuatan pertahanan semesta dan kesiapsiagaan nasional. Bukan dirancang untuk perluasan peran atau kontrol militer terhadap ruang sipil.

“Pengawasan dari otoritas sipil tetap penting. DPR dan institusi pengawas lainnya harus selalu memastikan bahwa satuan-satuan baru ini tidak bergerak ke luar batas,” terang Fahmi.

Di sisi lain, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan secara nyata mendistorsi fungsi pertahanan yang diamanatkan konstitusi kepada TNI lewat dalih stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurutnya, pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan ini menjadi potret baru dari militerisme gaya lama berupa ekspansi militer dalam ruang sipil dengan “bungkus” agenda pembangunan. Padahal, retorika pembangunan tak dapat menyembunyikan realitas bahwa militer sedang memperluas peran dan pengaruhnya ke ranah yang bukan wewenangnya.

Penambahan puluhan ribu prajurit baru juga berkonsekuensi menambah beban anggaran. Terutama untuk gaji, infrastruktur, dan pembinaan. Mengingat terdapat urgensi penguatan alutsista dan kesejahteraan prajurit, menurut Ikhsan fokus anggaran bisa diarahkan kepada aspek-aspek penting tersebut lebih dahulu.

Rekrutmen ini, kata Ikhsan, memperlihatkan orientasi pertahanan yang membelakangi laut dan udara. Alih‑alih memperkuat matra laut dan udara yang semakin krusial dalam lanskap geopolitik kawasan, rencana ini justru memperbesar ketimpangan personel antarmatra yang dominasi TNI AD.

“Pembentukan Batalyon Pembangunan ini mengakibatkan distorsi fungsi pertahanan. Ketika dunia tengah memperkuat postur militer berbasis teknologi, kapasitas dan kualitas prajurit, alutsista, hingga kesejahteraan prajurit untuk menghadapi dinamika ancaman, TNI justru gagal fokus,” terang Ikhsan kepada wartawan Tirto.

Baca juga artikel terkait REKRUTMEN TNI AD atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang