Menuju konten utama

Menutup Lubang Pertanyaan di Balik Pelarangan Ekspor Bauksit

Keputusan pemerintah menghentikan ekspor bauksit bagai pisau bermata dua

Menutup Lubang Pertanyaan di Balik Pelarangan Ekspor Bauksit
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

tirto.id - Pemerintah Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit mulai tahun depan. Sebelum bicara mengenai manfaat kebijakan ini terhadap nilai tambah bagi perekonomian, ada lubang besar pertanyaan yang mesti ditutup terlebih dahulu.

“Saya ulangi, mulai Juni 2023 pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” ungkap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, dilansir dari siaran pers.

Keputusan tersebut diambil untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang nasional melalui program hilirisasi industri mineral, sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor dan menghasilkan penerimaan devisa yang lebih besar.

Presiden Jokowi menjelaskan bahwa industrialisasi bauksit di dalam negeri akan mendongkrak pendapatan negara dari yang sebelumnya di kisaran Rp21 triliun, menjadi Rp62 triliun.

Optimisme terbangun tak muncul dari ruang hampa, melainkan mengacu pada kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020. Setelah diberlakukan pelarangan, nilai ekspor bijih nikel meroket 19 kali lipat, dari hanya Rp17 triliun di akhir tahun 2014 menjadi Rp325 triliun pada tahun 2021.

Perlu diketahui, dalam 10 bulan pertama tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perolehan nilai ekspor bauksit sebesar US$547,59 juta atau setara Rp8,49 triliun (asumsi kurs Rp15.500/US$) dengan total volume ekspor 15,93 juta ton, menurut Data Indonesia.

Nilai ekspor bauksit hingga Oktober 2022 setara dengan 87,2% dari perolehan ekspor bauksit sepanjang tahun lalu. Hal ini berarti, jumlah ekspor per akhir tahun 2022 diperkirakan akan naik dibandingkan dengan tahun 2021.

Dari angka tersebut terlihat bahwa capaian ekspor bauksit Indonesia perlahan mulai pulih setelah sempat terjun bebas di tahun 2014 akibat pelarangan ekspor mineral mentah yang diberlakukan sementara.

Anjloknya nilai ekspor ini pun diprediksi kembali tercatat per Juni 2023, ketika pemerintah resmi melarang ekspor bijih bauksit. Atau dengan kata lain, tahun depan Indonesia akan kehilangan sekitar US$500 juta-US$600 juta pendapatan negara.

Indonesia Rugi, Negara Lain Panen

Bijih bauksit adalah bahan baku utama untuk membuat aluminium. Sesuai dengan hukum pasar, suplai bauksit yang turun di pasar global akibat pelarangan tersebut akan mengerek harga karena permintaan relatif tetap, setidaknya dalam jangka pendek.

Namun demikian, pakar justru berpendapat sebaliknya. Keputusan larangan ekspor ini dinilai tidak akan berdampak pada rantai pasokan global dan harga jual aluminium.

Merujuk data Trading Economics, saat Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah dari 2014 hingga awal 2017, harga aluminium tidak berubah signifikan, bahkan cenderung menurun.

Kenaikan harga yang fantastis justru tercatat pada Maret tahun ini yang hampir menyentuh level US$4.000/ton, dipicu kekhawatiran gangguan pasokan akibat situasi geopolitik di Eropa menyusul perang Ukraina-Rusia.

Bill Sullivan, Konsultan Pertambangan Christian Tea & Partners menjelaskan bahwa para pembeli bauksit di Asia Tenggara kemungkinan besar telah mengantisipasi larangan tersebut dan mulai mencari alternatif pemasok bijih bauksit, dilansir SCMP.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga berpendapat sama. Menurut dia, pelarangan ekspor bauksit tidak mungkin menganggu rantai pasokan global, dengan produsen China dan Australia akan menutup gap di pasar.

Australia dan China memang menjadi pemasok utama bauksit di dunia. Berdasarkan data US Geological Survei (USGS) pada tahun 2021, Australia memproduksi setidaknya 110 juta metrik ton (mt) bauksit, sementara China menghasilkan sekitar 86 juta mt.

Sementara itu, Indonesia tercatat memproduksi sekitar 18 juta mt di tahun 2021, atau hanya setara dengan 4,6% total produksi bauksit di seluruh dunia.

Selain itu, China yang merupakan pengimpor utama bauksit Indonesia juga diprediksi tidak terancam. China yang terpukul kebijakan larangan ekspor bauksit pada 2014, kini kalis karena tak lagi bergantung pada pasokan Indonesia.

Mantan pejabat di Asosiasi Industri Logal Nonferuss asal China, Wen Xianjuan menegaskan bahwa China telah meningkatkan upaya mengeksplorasi sumber alternatif di Afrika semenjak larangan ekspor tahun 2014.

“Dibandingkan dulu, impor bauksit China sekarang lebih beragam,” tutur Wen seperti

dikutip The Asian Affairs.

Reportase The Asian Affairs menyebutkan Negeri Tiongkok membeli 17,8 juta ton bauksit Indonesia atau hampir setara dengan 90% volume ekspor 2021. Di 11 bulan pertama tahun ini, China membeli 17,98 juta mt bauksit Indonesia, atau 15,6% dari total impor.

Merujuk penjabaran tersebut, kurang lebih seperlima kuota impor bauksit Negeri Tirai Bambu akan digantikan oleh negara lain, di mana kandidat terbesar saat ini adalah Guinea dan Australia.

Laporan Alcircle mengungkapkan bahwa Guinea, Australia, hingga Jamaika diproyeksi mencatatkan peningkatan produksi seiring dengan perpanjangan kontrak tambang dan peningkatan investasi di Industri tersebut.

Terlebih lagi, total cadangan bauksit Australia dan Guinea jauh melebihi Indonesia. Data USGS mencatat data cadangan bauksit di Tanah Air sebanyak 1,2 miliar mt, sedangkan cadangan Guinea dan Australia berturut-turut sebesar 7,4 miliar dan 5,3 miliar mt.

Mempertimbangkan kondisi tersebut, Indonesia harus siap kehilangan pasar bauksit mentah. Sebaliknya, pelarangan ekspor bauksit akan menjadi peluang emas bagi negara-negara tersebut untuk mengambil pangsa pasar Indonesia di dunia.

Olahan Bauksit Lebih Menggiurkan?

Kepada pers, Airlangga menjelaskan alasan utama larangan ekspor biji bauksit adalah untuk mendorong industrialisasi agar tercipta produk bernilai tambah, yakni aluminium. Pemerintah berharap industri lokal dapat memenuhi kebutuhan aluminium yang kini masih impor senilai US$2 miliar.

Alhasil, meskipun Indonesia akan kehilangan ekspor US$600 juta karena pelarangan ekspor bauksit, tapi dapat menghemat devisa impor sebanyak US$2 miliar. Dengan hitung-hitungan sederhana, masih ada penghematan devisa sebesar US$1,4 miliar.

Infografik Ekspor Bauksit

Infografik Ekspor Bauksit. tirto.id/Ecun

Namun untuk menuju ke sana, kita harus menjawab pertanyaan ini: kapan industri aluminium lokal terbangun? Jika investasi pengolahan bauksit (menjadi aluminium) berlarut-larut, maka potential gain di atas akan berubah menjadi potential loss: impor aluminium jalan terus sementara ekspor bauksit terhenti.

Studi Index Box menyebutkan pangsa pasar global bauksit diprediksi menembus US$37,7 miliar atau Rp584,35 triliun pada 2030. Pasar bauksit dunia diproyeksi bertambah dengan pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) di kisaran 5,5% hingga tahun 2030.

Lebih lanjut dalam laporannya, IndexBox juga menyebutkan katalis utama yang menopang pertumbuhan pangsa pasar bauksit yakni peningkatan produksi aluminium yang signifikan dalam beberapa tahun ke depan.

Produksi aluminium global terus naik mengikuti pertumbuhan konstruksi, transportasi dan kemasan. Perlu diketahui, sebagian besar olahan aluminium dipakai untuk industri semen, barang elektronik (termasuk baterai mobil listrik), dan kemasan pangan.

Keputusan pemerintah menghentikan ekspor bauksit bagai pisau bermata dua. Jika hilirisasi tak berjalan sesuai rencana dan lambat, bukan manfaat ekonomi yang didapat, melainkan kerugian ganda bernilai miliaran dolar atau triliunan rupiah per tahun.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono