Menuju konten utama

Menuntut PSSI Serius dan Polisi Proaktif Soal Mafia Sepak Bola

PSSI semestinya menjadikan kasus pengaturan skor yang melibatkan anggota Komite Eksekutif sebagai momentum membongkar mafia sepak bola.

Menuntut PSSI Serius dan Polisi Proaktif Soal Mafia Sepak Bola
Seorang petugas sedang membersihkan kantor PSSI di Kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 19 April 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Terbongkarnya skandal pengaturan skor yang dilakukan anggota Komite Eksekutif PSSI Hidayat seharusnya dijadikan momentum baik untuk membongkar mafia sepak bola Indonesia. Apalagi, Komite Disiplin PSSI secara resmi telah memutuskan Hidayat bersalah.

Namun, pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai PSSI tidak menjadikan kasus itu sebagai pintu masuk untuk membongkar mafia sepak bola yang selama ini terjadi.

“Paling enggak ada dua indikasi yang saya baca,” kata pria yang juga inisiator petisi Edy Rahmayadi harus mundur dari Ketua Umum PSSI saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/12/2018).

Indikasi pertama, kata Emerson, dalam kasus dugaan pengaturan skor ini, PSSI hanya berhenti di Hidayat. Padahal, Emerson menilai, duit yang digunakan Hidayat untuk mengatur skor pasti berasal dari pihak lain.

“Kemudian, apakah bicara hal ini hanya bicara bandar judi saja? Apa klub enggak terlibat? Kalau bicara pengaturan skor, kan, yang bermain ada pemain, pelatih, wasit, manajer, bandar judi,” kata Emerson.

Indikasi kedua, kata Emerson, hukuman terhadap Hidayat dinilainya terlalu ringan. Dalam kasus ini, Komite Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi berupa larangan berkecimpung di dunia sepak bola selama 2 tahun dan denda Rp150 juta.

Selain itu, kata Emerson, hingga saat ini pun tidak ada gelagat PSSI akan membawa perkara ini ke kepolisian. Padahal perkara pengaturan skor ini, kata Emerson, masuk ranah pidana.

Peneliti hukum olahraga di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Eko Noer Kristiyanto menjelaskan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Menariknya, kata Eko, regulasi itu berbeda dengan aturan suap dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Menurut dia, undang-undang tersebut tidak membatasi diri hanya pada penyelenggara negara.

Selain itu, kata Eko, UU Nomor 11/1980 itu juga mengandung pasal yang menjerat penerima suap.

“Itu sangat relevan diterapkan di suap-suap yang konteksnya di swasta termasuk di sepak bola seperti ini,” kata Eko di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/12/2018).

Polisi Harus Proaktif

Melihat aturan yang tersedia, Emerson menilai, polisi semestinya berperan proaktif dalam mengusut perkara mafia bola. Terlebih, undang-undang tindak pidana suap tersebut merupakan delik biasa, artinya polisi tidak perlu aduan untuk mengusut perkara ini.

“Kalau kepolisian tidak terlalu yakin dengan menjerat pelaku dengan UU Nomor 11 tahun 1980, kan, polisi bisa panggil ahli apakah ini relevan atau tidak," kata Emerson.

Ia mencontohkan kejadian pada 2015 di Singapura. Kala itu, kata Emerson, komisi antikorupsi Singapura (CPIB) turun tangan dalam menangani perkara pengaturan skor pertandingan sepak bola antara Malaysia vs Timor Leste di Sea Games 2015.

Dalam perkara itu, CPIB berhasil menyeret 3 pelaku ke meja hijau, salah satunya adalah Nasiruddin, warga negara Indonesia.

Kendati demikian, Eko menganggap aparat kepolisian masih belum memiliki pemahaman yang merata mengenai tindak pidana dalam pengaturan skor. Ia mencontohkan kasus dugaan pengaturan skor yang dilakukan mantan pesepakbola Johan Ibo.

Pada 2015, Johan Ibo diketahui mendekati sejumlah pemain Pusamania Borneo dan meminta mereka mengalah dalam pertandingan kontra Persebaya pada lanjutan Liga Indonesia 2015. Johan pun menjanjikan sejumlah uang untuk itu.

Namun, pemain menolak dan menghubungi pihak manajemen Pusamania. Pihak Pusamania kemudian bersiasat menjebak Ibo di sebuah restoran cepat saji, dan menangkapnya serta menyeretnya ke Polrestabes Surabaya.

Sayangnya, beberapa hari berselang Johan dibebaskan pihak kepolisian. Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Takdir Mattanette saat itu mengatakan tidak menemukan bukti yang cukup atas kejahatan Johan Ibe.

“Sejaub ini belum ada pemberian sejumlah uang, kemudian tidak ada pejabat yang disuap dan berefek untuk kepentingan publik,” kata dia seperti dikutip Republika, pada 9 April 2015.

Eko menilai, aparat kepolisian masih menganggap suap selalu berkaitan dengan penyelenggara negara sebagaimana diatur UU Tipikor. “Itu sangat keliru tentu saja, karena ini bukan suap pejabat negara tentu saja,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PENGATURAN SKOR atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Olahraga
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz