tirto.id - Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi kembali jadi sorotan. Pada Kamis (21/11/2018), ketika ditanya wartawan tentang apakah PSSI hendak melakukan evaluasi menyusul hasil buruk timnas di Piala AFF, dia langsung menukas, “Wartawannya harus baik. Kalau wartawannya baik. Timnasnya juga baik.”
Jawaban itu memicu keramaian di jagat maya. Netizen dan para penggemar sepakbola di Indonesia ramai-ramai mengomentarinya.
Sebelumnya, Edy juga beberapa kali mengeluarkan pernyataan dan melakukan tindakan kontroversial. Tirto pernah menurunkan laporan tentang hal itu. Hampir semua pernyataan dan tindakan kontroversial Edy merupakan bentuk pengelakan tanggung jawab sebagai Ketua Umum PSSI. Kesan berikutnya yang muncul: ia adalah seorang otoriter.
Edy adalah salah satu fenomena sepakbola Indonesia hari ini. Beberapa puluh tahun lalu, PSSI juga pernah dipimpin ketua umum yang watak otoriternya hampir sama dengan Edy. Namanya Bardosono.
Di era Bardosono jadi Ketua Umum PSSI, perilakunya sebelas-dua belas dengan Edy Rahmayadi. Mereka berdua sama-sama rangkap jabatan di pemerintahan. Dan seperti Edy, Bardosono juga serdadu.
Konco Lawas Soeharto
Bardosono tentara sejak muda. Dia adalah didikan fasis Jepang. Jebolan SMA kolonial ini sudah jadi komandan peleton Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Yogyakarta pada akhir masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, seperti kebanyakan mantan PETA, dia juga ikut Republik Indonesia. Jadilah dia anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Jawa Tengah.
Pernah juga dia ikut operasi militer melawan KNIL di Makassar pada 1950 dan menulis buku Peristiwa Sulawesi Selatan (1950). Pangkatnya mayor kala itu. Buku Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD? (1989: 79) menyebut dirinya pernah menjadi dosen Seskoad dari 1960 hingga 1968.
Dari sana, orang yang pernah dinas bersama Soeharto di Brigade Mataram ini kemudian ditarik ke kantor presiden sebagai Wakil Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan pada 1968. Dua tahun kemudian, ia dijadikan Sekretaris Sektor O pada Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Sejak 1973 dia telah menjadi Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sekdalopbang). Kantornya di Bina Graha, tidak jauh dari ruang kerja Presiden Soeharto.
Terkait jabatannya selaku Sekdalopbang, pendahulu Bardosono, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawira Negara, dalam autobiografinya, Perjalanan hidup seorang anak yatim piatu (1995: 2008), menyebut, “Ia [Bardosono] kurang memiliki cukup pengaruh untuk mengkoordinirkan program-program pembangunan di departemen maupun di semua provinsi. Sehingga wewenang Sekdalopbang yang strategis diambil-alih Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).”
Rupanya, Sekdalopbang bukan satu-satunya jabatan yang diampu Bardosono dalam kurun waktu 1974 hingga 1977. Bardosono juga menjadi Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di tahun-tahun tersebut.
Restu Presiden
Ketika dirinya maju menjadi calon ketua PSSI, seperti dikutip dari Tempo (15/11/1975), dia mengaku “mendapat restu Presiden.” Dalam Kongres ke-25 di Yogyakarta pada 14 Agustus 1974, Bardosono pun terpilih menjadi Ketua PSSI.
Belum lama menjabat, pada bulan kesepuluh, tiga pengurus penting PSSI, yang lebih berpengalaman, mengajukan pengunduran diri. Mereka adalah Ketua I Sutjipto Danukusumo, Ketua II Kamaruddin Panggabean, dan Sekretaris Jenderal Hans Pandelaki.
Bardosono, seorang lulusan Algemene Middelbare School (AMS), juga percaya klenik. Dirinya bercerita, seperti dimuat Tempo (19/3/1977), dia menemukan patung Buddha tergeletak di dekat tiang gawang PSSI selepas Indonesia keok 4-1 melawan Hongkong. Patung itu kemudian dibawa ke Indonesia untuk dihilangkan kekuatan jahatnya.
Setelah kekalahan itu, muncul isu bahwa Iswadi, salah satu pemain timnas, menerima suap yang membuat Indonesia kalah. Karena isu ini, ibunda Iswadi masuk rumah sakit dan istrinya pun harus menanggapi berondongan pertanyaan soal kebenaran tuduhan itu. Banyak yang tidak yakin atas tuduhan itu, termasuk salah satu tokoh PSSI, yang belakangan jadi ketua umum, Ali Sadikin. Kepada Tempo, Ali mengatakan, “[...] saya tidak yakin Iswadi melakukan itu. Ketua KONI Soeprajogi juga tidak percaya."
Menurut Maulwi Saelan, seperti dikutip Tempo (19/3/1977), stamina pemain menurun, pelatih yang salah perhitungan, dan gonta-ganti pelatih dalam waktu yang cepat adalah biang kerok kalahnya Indonesia. Soal gonta-ganti pelatih tentu urusan pengurus PSSI yang dipimpin Bardosono. Kala itu ada pergantian pelatih dari Wiel Coerver ke Tony Pogacnik.
Recok dan Otoriter
Brigadir Jenderal Bardosono adalah orang yang masih "hijau" dalam bidang sepakbola. Tapi, sebagai Ketua Umum PSSI, dia merecoki penempatan pemain. Bagi Bardosono, seperti dikutip Tempo (15/11/1975), "yang punya wewenang mutlak [menentukan pemain] adalah Ketua Umum".
Masalah penempatan pemain itu menjadi pangkal kekecewaan Wiel Coerver, yang sempat diberi janji kuasa penuh untuk memilih pemain. Pada kamis 6 November 1975 malam, ketika Pimpinan Komwil II PSSI Erwin Baharuddin melongok ke dalam ruangan pelatih dan pemain, Coerver menyuruhnya keluar.
“Silakan anda ke luar. Ini urusan kami”, kata pelatih asal Belanda itu sambil mendorong Erwin.
Erwin sempat bilang “Nee, nee” (tidak, tidak) sebelum marah dan banting pintu. Lalu muncul aparat dan Bardosono menyusul bersama beberapa pembesar PSSI.
“Sekarang, saya akan menanyakan kepada Bardosono, apakah saya akan diberi wewenang penuh untuk memilih dan menyusun team atau tidak,” tanya Coerver terkait permasalahan di antara mereka. “Kalau tidak, saya akan mengepak barang-barang saya, dan kembali ke Nederland.”
Pelatih dengan kontrak 400.000 gulden selama dua tahun itu lalu bicara dengan Bardosono. Lewat penerjemah dijelaskan posisi Bardosono sebagai pengawas alias kontrolir. Coerver bereaksi, “saya tidak butuh kontrolir, yang saya butuhkan seorang pembantu yang memahami sepakbola. Kalau saya diawasi, maka kontrolir itu harus seorang yang lebih tahu mengenai sepakbola daripada saya.”
Setelah itu, kontrak Coerver tidak diperpanjang lagi.
Sebagai Ketua Umum PSSI, Bardosono dianggap otoriter. Seperti diakui mantan Ketua Umum PSSI sebelum Bardosono dan menjadi Ketua Kehormatan di era Bardosono, Kosasih Poerwanegara, "Tindakannya otoriter. Bahkan Bardosono sebagai ketua sering menganggap dirinya pejabat tinggi, sehingga rapat sering diadakan di Bina Graha."
Selain otoriter, Bardosono dicap diktator pula. Tentu saja Bardosono mengelak tuduhan itu. Kepada Tempo (15/11/1975), Bardosono bilang, ”Itu tidak betul. Kalau saya diktator, saya tidak perlu menggunakan nasehat dari Dewan Penasehat, Dewan Pendapat, atau anggota Pengurus lainnya. Jika saya membuat keputusan sendiri, itu baru diktator.”
Bardosono mengaku berpegang kepada Buku Hijau (Garis Besar Haluan Sepakbola) dan AD/ART PSSI. Dia juga rutin melapor kepada presiden soal apa yang terjadi di PSSI.
Editor: Ivan Aulia Ahsan