tirto.id - Industri farmasi besar memuat lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan. Ketimpangan gender ini menjadi salah satu penyebab mengapa selama ini tanggung jawab pencegahan kehamilan lebih banyak dibebankan di pundak perempuan sekaligus membikin metode kontrasepsi laki-laki lebih tertinggal. Setidaknya begitulah pemikiran deduktif dari ilmuwan kontrasepsi perempuan bernama Herjan Coelingh Bennink.
Memang, saat ini kontrasepsi yang lebih luas bagi laki-laki tengah hangat dibicarakan. Namun, penelitian belum mampu menghasilkan produk yang cukup aman hingga bisa beredar di pasaran.
Satu contoh adalah pengembangan pil kontrasepsi laki-laki yang ternyata memiliki efek samping hormonal. Sediaan testosteron dalam pil bisa menyebabkan peradangan hati, padahal itu harus dikonsumsi dua kali sehari karena mudah luruh.
Studi lain terbitan Journal ofClinical Endocrinology & Metabolism turut menyebut rentetan efek samping pada kontrasepsi suntik laki-laki. Dari 320 partisipan, setengahnya melaporkan timbul jerawat, kemudian 38 persen mengaku mengalami peningkatan dorongan seksual.
Sekitar seperempatnya mengeluh nyeri di tempat suntikan. Lalu lebih dari 20 persen merasakan gangguan perasaan, 15 persen nyeri otot, dan efek samping lain yang lebih jarang termasuk nyeri testis, berkeringat, serta linglung--efek yang mirip dirasakan perempuan saat menerima kontrasepsi hormonal.
“Risiko bagi peserta penelitian lebih besar daripada manfaat potensialnya,” demikian peneliti menulis pada simpulan studi. Kondisi ini menjadi alasan utama studi kontrasepsi suntik pria dihentikan. Akibat gejala tersebut, sebanyak 20 responden bahkan memutuskan berhenti sebelum uji coba rampung.
Dilihat dari efek samping yang dihasilkan, perempuan juga mengalami gejala serupa saat menggunakan kontrasepsi--dan mereka sudah biasa, atau lebih tepatnya terpaksa menjadi biasa menanggungnya.
IUD (intrauterine device atau KB spiral) berisiko menyebabkan jerawat dan perubahan suasana hati. Proses pemasangannya terkadang juga menyakitkan. Kontrasepsi hormonal seperti pil malah sampai bisa memengaruhi bentuk fisiologis otak, yakni hipotalamus, menjadi lebih kecil enam persen dibanding ukuran normal.
Hipotalamus merupakan area kecil--sebesar kacang almon--di pusat otak yang berfungsi mengatur semua jenis hormon. Kerusakan hipotalamus bisa mengacaukan mekanisme fisiologis, memicu masalah seksual, nafsu makan, dan kekacauan pengaturan gula darah.
Ada pula studi keluaran JAMA Psychiatry (2016) yang mengaitkan peningkatan risiko depresi dengan penggunaan semua jenis kontrasepsi hormonal. Sementara NHS menyebut kontrasepsi suntik memicu osteoporosis, kenaikan berat badan, sakit kepala, perubahan suasana hati, nyeri payudara, dan menstruasi tidak teratur.
Pembelaan Pria dari Sisi Sains
Sebagian orang berpendapat menggunakan efek samping sebagai pijakan penghentian studi kontrasepsi pria--padahal kondisi serupa telah dialami perempuan selama berabad-abad--membikin alasan ini seperti omong kosong belaka. Namun para pria yang terlibat dalam pemutakhiran kontrasepsi memberikan alibi yang tak kalah rasional.
Kata Michael Skinner, ahli biologi reproduksi dari Washington State University, secara sains tanggung jawab pengendalian kehamilan lebih mudah jika diambil alih perempuan.
“Ketika ejakulasi, pria menghasilkan 250 juta sperma. Bahkan jika hanya sepersepuluh sperma yang hidup, kondisi tersebut masih tergolong subur,” katanya. Berdasar statistik itu, mengendalikan sistem kesuburan pria sekaligus menjaga mereka tetap sehat, ujar Skinner, menjadi tantangan yang sulit sekaligus mengerikan. Sebaliknya, perempuan hanya menghasilkan satu atau dua telur selama sebulan.
Alasan lain adalah saat ini kontrasepsi perempuan sudah lebih minim risiko ketimbang saat pertama kali dipasarkan.
Alih-alih empati terhadap gagasan kesetaraan berkontrasepsi, mereka seperti mengesampingkan kerusakan tubuh perempuan akibat beban kontrasepsi masa lalu.
Masalah lain, jika akses tersebut sudah tersedia, bisakah konsensus tentang “siapa yang harus menanggung beban perencanaan reproduksi” diubah?
Pilihan kontrasepsi laki-laki saat ini jauh dari ideal. Hanya ada kondom, vasektomi, dan “cabut” yang tentu tak ampuh. Memakai kondom bagi pria terasa tidak praktis, sementara vasektomi jarang dipilih karena bersifat permanen.
Lebih mudah bagi laki-laki untuk menyerahkan tanggung jawab kontrasepsi kepada pasangan mereka. Buktinya dapat dilihat dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 (hal. 412). Disebutkan bahwa tingkat kepopuleran kondom dan vasektomi berada di urutan dua terbawah. Sterilisasi pria berada di pilihan paling terakhir (0,2 persen) setelah kondom laki-laki, sebesar 1,1 persen. Selebihnya merupakan alat kontrasepsi perempuan.
Kontrasepsi modern yang paling banyak digunakan adalah suntik hormonal 3 bulan (42,4 persen). Urutan kedua terpopuler adalah pil kontrasepsi (8,5 persen) dan IUD/AKDS/Spiral (6,6 persen). Selain ketiga jenis kontrasepsi tersebut, perempuan Indonesia juga lazim menggunakan suntik hormonal 1 bulan (6,1 persen), implan/susuk KB (4,7 persen), dan tubektomi (3,1 persen).
Statistik tersebut seolah menjadi gambaran bahwa meski kemampuan reproduksi dan memilih kontrasepsi dimiliki laki-laki dan perempuan, akan tetapi sangat jarang laki-laki yang mau maju menjadi garda depan perencanaan reproduksi.
Fenomena ini digambarkan dengan baik oleh peneliti kontrasepsi lain, Richard Anderson dari Universitas Edinburgh. Ia mengatakan bahwa, “Banyak pria masih memiliki sikap malas terhadap tanggung jawab kontrasepsi.”
Menuju Era Kesetaraan Berkontrasepsi
Secara umum, cara kerja alat kontrasepsi adalah memblokade sperma agar tidak bertemu dengan sel telur. Kontrasepsi laki-laki diprogram untuk mengurangi jumlah sperma sampai mendekati kondisi azoosperma, atau tidak ada sperma pada cairan ejakulasi selama orgasme.
Selama ini vasektomi terbukti paling ampuh untuk mengendalikan kehamilan. Sebagai gambaran, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat menyatakan kondom pria memiliki tingkat kegagalan 11-16 persen, sementara vasektomi hanya kurang dari 1 persen.
Ketimpangan akses berkontrasepsi sekaligus desakan terhadap kesetaraan berkontrasepsi mendorong pengembangan varian kontrasepsi pria. Gel kontrasepsi bernama Nestorone menjadi uji coba paling progresif karena tengah bersiap memasuki uji coba fase 3.
Nestorone dioles pada lengan dan bahu setiap hari. Gel ini mengandung testosteron dan progestin sintetis untuk menghambat hormon gonadotropin yang menstimulasi produksi testosteron di testis. Pada uji coba sebelumnya, Nestorone terbukti menekan kadar sperma hingga 1 juta per mililiter--jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah kehamilan--dengan sedikit efek samping.
Di urutan kedua ada pil yang telah memasuki uji coba fase 2. Peneliti dari Washington University AS pada konferensi Endocrine Society di Chicago 18 Maret 2018 lalu menyebut pil kontrasepsi ini sebagai dimethandrolone undecanoate (DMAU). DMAU mengandung kombinasi hormon seperti testosteron dan progestin.
Tim peneliti mengklaim telah memodifikasi DMAU agar minim risiko. “Cukup sekali sehari, DMAU sudah efektif," kata Stephanie Page, profesor kedokteran di Washington University, Seattle, sekaligus peneliti senior dalam riset ini.
Lalu suntik KB laki-laki yang meski tengah dihentikan namun bukan tidak mungkin akan kembali dikembangkan di masa depan. Kontrasepsi ini menginjeksi hormon testosteron dan progesteron buatan untuk menghambat produksi sperma.
Terakhir, para ahli di India tengah mengembangkan vasektomi tanpa bedah. Prosedurnya dilakukan dengan menginjeksi gel polimer ke vas deferens untuk memblokir sperma. Vasektomi non bedah ini lebih reversibel dan diklaim 98 persen efektif mencegah kehamilan.
“Vasektomi nonbedah mencegah kehamilan pada pasangan selama 13 tahun setelah tindakan,” klaim Dewan Penelitian Medis India. Sayangnya, lewat pemodelan para peneliti, terlihat hanya 10 persen pria yang antusias menggunakan kontrasepsi anyar.
Jikalau evolusi metode-metode kontrasepsi ini berhasil, kita bisa berharap di masa depan beban pengendalian kehamilan bisa dipikul bersama. Jika kondisi tersebut sudah terwujud, pekerjaan rumah selanjutnya adalah membangun kesadaran berkontrasepsi pada pria yang masih rendah.
Editor: Rio Apinino